Sudah bukan rahasia kalau negara kita terkenal dengan horror story Indonesia-nya, kan? Dari misteri rumah tua sampai kisah horor perjalanan. Dari perjalanan malam jalan kaki dekat kuburan sampai perjalanan naik pesawat terbang. Bahkan kisah horor begini banyak diungkap oleh para saksi matanya sendiri. Ih, serem!
Horror
story Indonesia ternyata bisa terjadi juga di negeri
jiran, lho. Ini terjadi ketika kami melakukan perjalanan malam naik bus keTerengganu, Malaysia. Penasaran? Silahkan lanjut membaca kisah ini, tapi
kalau nyali sedikit ciut itu artinya kisah ini nggak cocok untuk kamu.
![]() |
Horror Story Indonesia [Photo: Pexels] |
Bermula dari Perjadin Backpacker
Horror
story Indonesia kami bermula dari perjadin backpacker
yang kami lalui di medio Mei 2025. Tepatnya di hari ulang tahun saya yang
angkanya sudah banyak dan lilinnya membutuhkan tiga lusin. Tentu saja, di hari
ini meski lelah dan dalam kondisi tidak fit saya tetap bahagia.
Seperti
yang pernah saya tuliskan di tulisan sebelumnya, perjalanan ini sangat sat set
tanpa persiapan matang. Diajak, minta izin, tanpa mikir, beli tiket, dan gas
terbang ke Malaysia. Perjalanan lantas dilanjutkan dengan naik bus.
Awalnya
kami diberitahukan oleh ketua tim akan berangkat ke Terengganu dengan jemputan yang
diutus oleh seorang dosen dari Universiti Sultan Zainal Abidin, Terengganu,
Malaysia. Itu sebabnya kami menyiasati bawaan koper untuk kabin meski
tersedia bagasi 20 kilogram dari maskapai Superjet Air. Alasannya agar kami
tidak berlama-lama di bandara karena sudah ada yang menunggu.
Tiba
di bandara kami mendapatkan informasi baru bahwa kami tidak jadi dijemput. Di
kampus ada acara, jadi yang akan menjemput tidak bisa meluangkan waktu ke Kuala
Lumpur. By the way perjalanan dari Terengganu ke Kuala Lumpur memakan
waktu delapan jam dengan menggunakan bus. Kami tidak membeli tiket penerbangan
domestik untuk ke Terengganu. Hanya bermodal 50 RM untuk tiket bus.
Karena
informasi ini, kami tidak membebani diri dengan tentengan banyak ke kabin.
Akhirnya saya dan teman-teman memilih memanfaatkan fasilitas bagasi yang
diberikan oleh maskapai. Semua koper mungil kami masuk ke bagasi. Resikonya
memang kami lebih lama di bandara untuk menunggu klaim bagasi.
Usai
klaim bagasi, kami langsung cari money changer untuk menukar uang
rupiah. Kurs lagi mahal, sejuta rupiah cuma dapat 206 RM saja. Kami memutuskan
untuk cari kurs yang lebih mahal sedikit lagi. Setidaknya dapat 260 RM lah.
Akhirnya kami putuskan ke Terminal Bersepadu Selatan (TBS) di Kuala Lumpur.
Beli tiket bus juga statusnya meminjam uang dari teman seperjalanan. Bahkan
untuk beli sebotol air mineral seharga 2 RM.
Saat
itu saya menyesal sekali sudah menjual seluruh uang ringgit saya dua tahun
lalu. Waktu itu saya punya sekitar 500 RM lebih. Ya, sisa dari perjalanan
beberapa tahun sebelumnya yang rutin saya lakukan saat transit. Saat
menjualnya, saya pikir saya tidak akan punya kesempatan lagi untuk ke Malaysia.
Pun bisa jadi uang yang saya punya itu sudah nggak laku karena stok lama.
Terjebak di Terminal Bersepadu Selatan (TBS)
Bermodal
uang salah satu rekan seperjalanan, kami membeli tiket sebesar 13 RM perorang
untuk perjalanan dari KLIA 1 ke TBS. Ternyata dari waktu kami membeli tiket
hingga keberangkatan, kami punya sisa waktu sekitar satu jam setengah. Waktu
satu jam setengah kami gunakan untuk istirahat, shalat, dan mengobrol
membincangkan strategi perjalanan.
Sesekali
saya mengirimkan pesan ke tanah air karena sudah punya paket internet roaming.
Nggak tanggung, saya membeli paket roaming 7 hari seharga Rp 150
ribu. Kirain bisa tathering, ternyata nggak bisa. Akhirnya paket
internetnya terbuang percuma.
Kami
tiba di TBS menjelang pukul enam. Money changer sudah tutup. Saya
memutuskan untuk menarik via ATM saja. Terpenting ada dulu uangnya. Entahlah,
saya paling nggak bisa di perjalanan tanpa uang.
![]() |
Nasi Kandar di TBS Kuala Lumpur [Photo: Ulfa Khairina] |
Kami
makan di Teratai Foodcourt dengan pilihan menu beragam. Sementara dua rekan
seperjalanan membeli tiket bus ke Terengganu. Saat kembali, dia mengatakan
kalau bus paling cepat akan berangkat pada pukul 9.30 malam waktu Kuala Lumpur.
Akhirnya kami menunggu dengan sambil istirahat.
Perut
saya mules, badan juga nggak nyaman. Selain karena batuk pilek panas, saya
merasa badan seperti terlalu lelah. Bahkan saat saya masuk ke kamar kecil pun,
uap lembab di kamar mandi seperti menarik untuk rebahan di dekat keran.
Pukul
sembilan malam kami langsung menunggu di ruang tunggu. Sambil menunggu bus
tiba, kami bercerita banyak hal. Sampai akhirnya bus tiba dan kami masuk ke buslantai dua.
Aura Kegelapan
Lampu
bus remang-remang. Ditambah pula kami duduk di lantai dua bus. Saat kaki
menginjak ke dalam bus, bulu kuduk saya meremang. Seperti ada yang membuat saya
nggak nyaman dengan bus ini. Saya menepis perasaan ganjil yang menyapa.
Perasaan ini saya simpan sendiri, sedikit pun nggak saya ceritakan pada
teman-teman.
Anehnya,
saya merasa ragu melangkah ke bagian belakang. Kaki seperti tertahan, tapi
bangku kami memang agak ke belakang. Hawa dingin menusuk-nusuk dan di bagian
belakang seperti ada aura kegelapan. Saya abaikan perasaan itu, lalu memilih
menikmati citylight Kuala Lumpur begitu bus bergerak meninggalkan TBS.
Saya
menyukai citylight, tapi malam itu seperti sulit menikmatinya. Cahaya
kota dan gedung yang menjulang seperti mengurung kami dalam kegelapan malam.
Tidak, bukan kegelapan malam saja. Akan tetapi, kami seperti berada di dalam
kotak panjang sempit yang pengap.
Aroma
lembab berpadu dingin sangat menusuk. Saya merapatkan jaket, tapi tidak banyak
menolong. Belum lagi kondisi badan yang tidak enak sekali.
Bangku Kosong
Katanya
bangku di belakang kosong, akan ada yang mengisi pada halte selanjutnya. Namun
saya sempat melirik ke belakang. Bangku kosong yang berjajar seperti ada yang
mengisi. Bayangan hitam dalam siluet orang dewasa sepertinya memang ada di
sana.
Saya
tetap tenang. Kalaupun itu benar penumpang ‘lain’, bukankah saya sudah sering
mengalami hal ganjil seperti ini? Sekilas saya melirik ke belakang, tepat pada
dua rekan seperjalanan saya yang sudah menemukan tempat ngecas hape. Saya juga
merebahkan bangku untuk rebahan yang lebih nyaman.
Saat
itu saya melihat seseorang di deretan bangku paling belakang duduk dengan
kepala tertutup. Etapi, kok aneh? Meski kepalanya tertutup seperti kain atau
jaket, tapi wajahnya gelap. Seperti kosong, bukan terhalang cahaya. Bulu kuduk
saya meremang, lantas memilih memejamkan mata.
Bisikan Tengah Malam
Saya
terbangun ketika mendengar suara berisik bisik-bisik di belakang. Saya
menajamkan telinga. Rekan perjalanan di bangku belakang sedang berbincang.
Mereka membahas sesuatu yang sensitif untuk obrolan antar sesama wanita. Meski
tahu apa yang mereka bahas, tapi sepertinya bukan ini yang membangunkan saya.
Telinga
saya pertajam lagi. Sepertinya telinga mulai bindeng, antara berdengung dan
tidak bisa mendengat apa-apa. Bisikan semakin berisik dan jelas. Bukan suara
mereka berdua, tapi ada suara lain yang lebih mengganggu. Saya seperti ditarik
ke sebuah keramaian yang aneh.
Lucunya
sepanjang perjalanan panjang itu orang-orang yang duduk di sana seperti manikin
yang didudukkan di bangku bus. Saat bus berhenti dan saya memutuskan ke kamar
mandi di tengah malam, teman-teman seperti tak bernyawa meski mata mereka
terbuka.
“Yuk,
ke kamar mandi,” saya mengajak teman di bangku belakang. Tatapan mereka kosong.
Matanya terbuka lebar. Seolah saya nggak ngajak mereka. Sudahlah, karena sudah
terlalu kebelet saya ke kamar mandi dengan tergesa.
Saat kembali ke bus, saya melihat teman-teman seperti sudah kembali ke wujud semula. Bahkan ada yang menanyakan berapa yang saya bayar untuk menggunakan toilet umum. Saya membayar satu ringgit Malaysia. Terlalu mahal untuk sekedar buang air kecil.
![]() |
Citylight Kuala Lumpur [Photo: Pexels] |
Menyimpan Cerita Untuk Diri Sendiri
Tiba
di Terengganu, saya penasaran dengan kisah semalam. Apakah hanya saya yang
merasakannya atau mereka juga merasakan hal yang sama. Saya ingin bertanya,
tapi saya urungkan. Mungkin saja saya terlalu halu karena sedang demam.
Biasanya kalau orang dalam keadaan demam memang suka berhalusinasi. Jadi, saya
menyimpan cerita untuk diri sendiri tanpa berbagi dengan mereka.
Setiap
berdua dengan roommate saya, ada pertanyaan yang muncul di kepala. Ingin
sekali bertanya apakah dia juga merasakan hal aneh selama di bus atau tidak.
Akhirnya saya putuskan untuk tidak bertanya.
Seminggu kemudian, salah satu rekan perjalanan yang duduk di bangku belakang saya mengirimkan foto ke grup yang isinya hanya kami berempat. Bukan grup besar yang diisi oleh tujuh orang anggota ke Terangganu. Dia mengatakan ada yang aneh dari foto itu.
Hari itu, semakin jelas pula perasaan malam itu. Apa yang saya rasakan dan semua keanehan itu nyata. Bukan halusinasi karena demam. Meskipun begitu, saya masih berharap jika ini halusinasi. Tidak nyata. Perasaan tidak nyaman karena demam saja.
8 Komentar
Dunia horror tidak hanya milik Indonesia aja ternyata, ya. Di negeri jiran seperti Malaysia pun ada juga ternyata.
BalasHapusIni kalau difilmkan bisa banget tuh, kebayang horrornya dalam perjalanan di atas bus dengan segala kejadian janggalnya
Perjalanan 8 jam bisa dijadikan film 2 jam ya, Pak.
Hapushuuaaa serem banget mbak, siapa yang 3 orang lainnya itu, langsung begidik rasanya membaca ini, untung saya ga baca malam hari ya
BalasHapusAda 3 lain teman saya dan 3 makhluk jejadian. HAhaha
Hapussy bacanya antara penasaran dan terasa lelahnya mbak Ulfa diperjalanan. mungkin kalau aku diposisi mbak Ulfa, mulutku komat Kamit baca surat² dan jedag jedug di bus. tapi, jadi berkesan ya mbak
BalasHapusIya, Mbak. Waktu itu saya nggak mau ambil pusing aja. BAdan udah lelah banget soalnya.
HapusSaya paling gak bisa nonton film horor sendiriaan...hahahaaha takut soalnya. Harus ditemenin, biasanya nobar aja sama anak saya. Takut tapi penasaran jadinya gimana coba bingung deeh😃
BalasHapusKalau ngalamin langsung lebih horor, Mbak. Hehehe
Hapus