Ramadan dan Komunikasi Lintas Budaya dan Agama

 Assalamualaikum sahabat study and travel!

Belakangan media sosial diramaikan dengan postingan yang bikin ngakak sekaligus adem, ya. Kalau biasanya ngomongin antar agama selalu terselip hujatan kebencian dan provokasi oleh orang-orang tidak bertanggung jawab, di bulan Ramadan bahasannya seru banget. Rebutan takjil dengan nonmuslim dan postingan sejenis yang membuat ngakak.

Seketika saya jadi ingat momen-momen puasa yang tak terlupakan ketika menjalani puasa di Beijing. Kenapa harus di Beijing, memangnya di Aceh nggak ada? Ya, di Aceh sebagian besar penganut agamanya Islam. Teman-teman saya juga bisa hitungan jari yang non muslim. Hampir dikatakan tidak ada.

[Photo: Pexels]

Di Beijing saya termasuk golongan minoritas. Sebagian besar teman-teman saya adalah non muslim. Bahkan di kelompok mahasiswa Indonesia kampus saja, saya satu-satunya yang beragama Islam. Bisa dipastikan susah senangnya bagaimana. Kalau makan bareng, saya harus menyesuaikan dengan selera mereka. Untungnya banyak resto muslim di Beijing yang teman-teman saya juga suka. Selain itu, untuk hal ibadah, karena mereka besar di negara yang mayoritas muslim, tentu toleransinya juga tinggi.

Seperti postingan yang sedang viral itu, teman-teman non muslim banyak yang hapal doa-doa yang banyak juga umat muslim sendiri nggak hapal. Saya punya teman asal Jakarta. Dia cerita selalu menantikan bulan Ramadan karena kemeriahannya dan suasana sakral yang begitu menenangkan. Apalagi kalau sore hari, dia akan ikut berburu takjil dan menunggu azan maghrib untuk menikmati hidangannya.

“Kenapa nggak langsung dimakan, sih?” saya bertanya penasaran.

“Kita juga mau ngerasain gimana rasanya buka puasa. Takjil itu memang dibuat untuk berbuka puasa, kalau makannya sebelum azan maghrib rasanya beda. Kurang nikmat,” jawabnya.

Waktu itu saya ngakak so hard. Ada-ada saja kawan saya itu. Teman saya juga cerita, bahkan mereka juga membuat buka puasa bersama dengan teman-teman sesama non muslim. Dia dan teman-temannya akan ikutan merempongkan diri reservasi tempat, memilih paket menu berbuka, dan datang dengan kegembiraan seperti orang yang berpuasa. Mereka akan berbahagia begitu azan maghrib berkumandang dan ikut menyantap bersama orang-orang berbuka lainnya.

Dalam hati saya (dulu), mereka ini sungguh anak muda yang nggak ada kerjaan. Kalau mau makan, makan saja tanpa harus menunggu azan. Saat saya berkomentar, “kalian itu mempersulit hidup diri kalian sendiri.”

Si teman menjawab, “kita nggak merasa sulit. Lo pernah ngerasa nggak kalau keramaian bulan puasa kayak di Indo Cuma ada di Indo doang. Jalanan penuh, macet, dan ribet gegara pedagang dadakan. Belum lagi jajanannya itu, lho. Sebagian cuma ada pas bulan puasa aja. Mau dibuat atau beli di restoran sekalipun, rasanya beda banget sama jajanan pinggir jalan pas bulan puasa.”

Dalam hati saya membenarkan. Iya juga. Rasanya beda, kemeriahannya beda, dan suasananya juga beda. Sampai akhirnya saya melewati puasa Ramadan di Beijing. lama berpuasa 21 jam karena jatuh di musim panas. Tidak ada penjaja makanan musiman yang memenuhi trotoar. Tidak ada pula menu segar khas Ramadan.

Seringkali saya berbuka puasa hanya dengan menu seadanya yang dijual di supermarket. Terkadang potongan buah segar yang harganya lebih murah daripada di Indonesia. Teh dingin, nasi putih dan lauk pauknya, roti dan es krim, atau Cuma air putih saja. Berbuka juga di kamar sendiri.

[Photo: Pexels]


Tahun kedua saya lebih beruntung karena punya teman sekelas muslim. Kami sering berbuka puasa bareng. Kadang saya memasak, kadang dia memasak. Kami berbagi makanan untuk berbuka. Kami juga tarawih bareng di salah satu ruangan kosong yang dibuka oleh pihak asrama untuk dijadikan mushalla.

Sahurnya? Salah satu dapur dibuka oleh pengurus asrama khusus untuk umat muslim yang menyiapkan menu sahur. Meski begitu, saya lebih memilih sahur di kamar dengan menupraktis tanpa harus ke dapur. Kalaupun ingin makan nasi, saya menggunakan rice cooker di kamar asrama.

Godaan terberat adalah saat tengah hari setelah Zuhur. Musim panas yang membakar dan minuman segar tertenteng di tangan-tangan teman saya. Saat itu pula saya merasakan apa yang diceritakan oleh para muslim yang merantau untuk kuliah di negeri minoritas muslim.

Saya ditawari minum. Ada yang membeli minuman segar dan memasukkan ke dalam tas saya. Dia khawatir saya kehausan dan mati kekurangan cairan di musim panas. Ada pula dengan tampang mengasihani bertanya, “Olivia, can you cheat a bit? Just drink this water a sip. Nobody see you.”

My God is watching me,” kata saya dengan miris. Air segar itu sungguh menggoda. Godaan dari rasa kasihan orang lain justru lebih berat dari godaan makanan yang dijual. Apalagi minumannya.

Di bulan Ramadan, saya lebih memilih menghabiskan waktu di perpustakaan atau kamar. Selain lebih adem, saya juga menghindari ajakan orang-orang untuk makan di kantin, nongkrong di cafe, atau mewarkan air putih karena kasihan.

Momen yang paling tak terlupakan adalah saat saya berhasil menjelaskan hikmah puasa dan tujuan berpuasa kepada dua bestie saya yang non muslim. Bestie asal Kamboja beragama Buddha dan bestie dari Thailand beragama Kristen. Bestie dari Kamboja sampai menangis saat tahu saya tidak makan dan minum selama dua puluh satu jam. Apalagi setelah seminggu berpuasa berat badan saya menurun drastis. Penurunan yang saya inginkan.

Pada minggu ketiga, dia mulai penasaran bagaimana saya bisa melewati puasa selama itu dan tidak menyerah. Apalagi saya selalu mengajak mereka untuk menemani berbuka pada pukul sembilan malam di salah satu warung muslim. Setelah makanan terhidang pun, saya tidak langsung makan. Akan tetapi, menunggu sampai azan maghrib berkumandang.

Kedua teman saya kaget saat melihat laoban (bos pemilik warung) juga melakukan hal yang sama. Dia juga baru makan saat azan maghrib. Saya malah sering diberi satu porsi makanan gratis untuk berbuka.

Keduanya mulai ikut menahan diri tidak makan dan minum setelah pukul enam sore. Mereka makan dengan lahap seperti tidak makan berhari-hari begitu azan maghrib tiba.

“Nikmatnya sangat berbeda, padahal kita selalu memesan menu yang sama setiap datang kemari,” kata bestie saya asal Thailand. Dia tahu banyak soal ibadah dalam agama Islam. Kebanyakan temannya juga beragama Islam di Bangkok, tapi baru ini mencoba melakukan seperti yang umat Islam lakukan.

Berbeda dengan teman saya yang Buddha, ini memang pengalaman pertamanya menahan lapar selama tiga jam. Dia juga menemukan rasa yang sama. Akhirnya mereka mencoba berpuasa selama tiga hari selama tiga belas jam saja. mereka tidak bisa keluar kamar karena lemas.

Momen ini sungguh tidak terlupakan. Di bulan Ramadan, saya melihat adanya toleransi yang begitu besar antar pemeluk agama. Bahkan mereka merobek batasan tabu dan mencoba melebur dengan sesuatu yang dianggap budaya dan tradisi dalam masyarakat muslim.

Ada komunikasi yang efektif dalam sepiring hidangan berbuka. Ada keberkahan persahabatan dalam setiap nilai yang terbagi. Hidup ini terlalu indah untuk dikotori dengan debat tentang perbedaan.

Posting Komentar

0 Komentar