Semester Delapan Ala Mahasiswa Barat: No Stress, No Cry

 Di Indonesia dan Aceh khususnya, mahasiswa dengan tingkat stres tinggi kerap terjadi pada mahasiswa semester delapan. Tidak jarang mereka menyerah di penghujung perjuangan karena merasa tidak mampu menghadapi beban kuliah. Padahal semester delapan bukanlah semester yang perlu didramatisir sedemikian rupa. Kalau dipikir-pikir lagi, semester delapan kan hanya tersisa dua mata kuliah lagi yaitu KKN dan skripsi. Itu juga kalau mulus tanpa ada mata kuliah pengulangan semester genap.

Kebanyakan mahasiswa merasa stres dan tertekan dengan skripsi. Alasannya beragam pula, mulai dari dosen pembimbing susah ditemui atau banyak coretan di skripsi. Padahal skripsi nggak semenyeramkan itu, kok. Mengerjakan skripsi itu slow but sure saja. Jangan dikejar tayang, karena jika memang sudah saatnya boleh lulus akan menuju ke meja hijau. Kalau tidak silahkan tambah semester. Tidak ada dosen yang berniat menghambat mahasiswa bimbingannya. Mahasiswa saja yang sering menganggap dosen itu sebagai penghambat masa depannya. Kelulusan mahasiswa tepat waktu adalah track record-nya dosen. Kualitas skripsi mahasiswa juga harga mati keilmuan dosen. Bukan mengharap sempurna, tapi layak sidang.


[Photo: Pexels]

Lantas, pernah seorang eks mahasiswa di kampus saya mengajar mengatakan kalau mahasiswa di kampus luar negeri nggak begitu. Dosennya baik-baik.

Saya tanya, "kamu sudah pernah kuliah di luar negeri?"

Jawabannya, "nggak, Bu, tapi memang begitu di luar negeri sana."

Saya sampai menahan tawa mendengar jawaban tidak berdasar mahasiswa ini. Bagaimana tidak? Saya tiga tahun kuliah di kuliah di luar negeri dan bertemu dengan mahasiswa dari berbagai negara. Memang benar mereka nggak stres, tapi bukan karena nggak ada skripsi. Mahasiswa semester delapan di negara lain tahu cara mengelola stres dan sudah mempersiapkan semester mereka jauh-jauh hari.

Menurut cerita mereka yang saya himpun melalui ngobrol santai, tidak semua kampus di luar negeri menetapkan skripsi sebagai syarat kelulusan. Ada juga yang menggantikan tugas skripsi dengan proyek akhir. Kalau dipikir secara logika, harusnya proyek akhir ini lebih bikin stres dibandingkan skripsi. Skripsi bisa dicicil, kalau proyek? Wah, apalagi kalau team work. Apa nggak berantem melulu tuh karena dampak stres.

Mahasiswa yang harus mendapat tugas menyelesaikan skripsi, mereka memang tidak mengalami stress selama menulis. Tentu saja ada sebabnya. Berikut bocoran mahasiswa semester delapan bisa melewati semester krisis ini dengan eksis.

Memilih Topik Hits

Menurut mereka, memilih topik yang lagi hits memang momen paling menyenangkan dalam pengumpulan data. Data yang dibutuhkan banyak, update informasi cepat, dan referensi juga menyenangkan untuk dikulik. Itu sebabnya mahasiswa di luar sana suka sekali menulis topik yang sedang hits.


[Photo: Pexels]

Berbeda dengan mahasiswa di sekitar saya. Mereka memilih topik yang hits agar terlihat keren, padahal sama sekali tidak menguasai. Saat dia mengalami writer block, maka yang disalahkan adalah penelitian ini terlalu baru. Belum ada yang meneliti. Ini bukan alasan yang tepat, lho, bestie.

Penelitian adalah Pembuktian atau tujuan

Kebanyakan mahasiswa di Aceh beranggapan kalau menulis skripsi adalah petaka besar mahasiswa akhir. Sebenarnya skripsi ini bagian dari tridarma perguruan tinggi yang harus dipenuhi mahasiswa untuk melengkapi syarat sebagai bagian dari kegiatan akademik, yaitu penelitian. Pendidikan sudah ditempuh selama tujuh semester. Pengabdian juga sudah dilaksanakan saat Kuliah Kerja Nyata (KKN). Maka, saatnya menulis skripsi sebagai bagian dari penelitian.

Wisuda adalah perayaan

Jika mahasiswa semester delapan menarget wisuda jauh-jauh hari, berbeda dengan mahasiswa barat. Bagi mereka wisuda adalah perayaan. Mereka tidak akan mempersiapkan apapun sebelum benar-benar berhasil memeperjuangkan semester delapan mereka. Makanya perayaan wisuda di barat sana terlihat sangat wah meski berpenampilan sederhana. Bagi mereka wisuda adalah perayaan atas capaian selama kuliah.

Momen wisuda sekarang juga kesakralannya sudah bergeser. Maknanya apalagi. Iya, sama-sama perayaan. Akan tetapi, bukan lagi sebuah kejutan. Di awal masuk kuliah saja momen wisuda dirancang. Seminar proposal sudah dilengkapi dengan balon-balon helium, buket bunga yang tidak murah, photo box dengan bestie, seolah kelulusan itu pasti. Lebih mengenaskan lagi, belum sidang saja selempang sudah dicetak. Padahal belum tentu lolos dari meja hijau.


[Photo: Pexels]

Selama menjalani semester delapan mahasiswa barat mempersiapkan banyak hal untuk pengembangan diri mereka. Mereka sadar di kampus tidak banyak yang didapatkan. Berapalah nilai 2 SKS dari 24 SKS dalam satu semester. Solusinya mencari sendiri di luar kampus untuk mengembangkan soft skill masing-masing.

Belajar Bahasa Asing

Ini yang mereka lakukan ketika datang ke China. Mereka membayar satu semester untuk belajar bahasa asing yang mereka minati. Jika menurut mereka China memberi peluang besar untuk dunia kerja, mereka memperpanjang masa tinggal dan melanjutkan kelas bahasa mandarin untuk mencari peluang yang lebih luas.

Healing Keliling Dunia

Kalau healing disebut sebagai berlibur. Mereka datang ke negara tertentu sambil belajar bahasa untuk melakukan healing. Sabtu Minggu menjelajahi kota, berteman dengan orang baru, dan mengambil part time job. Liburan panjang, mereka akan mengunjungi negara-negara yang ada dalam bucket list mereka.

FYI, selama mereka belajar bahasa mahasiswa barat juga memanfaatkan skill dan ilmu yang didapatkan di kampus untuk diterapkan. Skill yang digunakan ini menghasilkan uanh, dari uang mereka bekerja ini pula mereka punya modal untuk healing keliling dunia.

Banyak Membaca dan Menulis

Rasanya hampir semua mahasiswa barat suka membaca. Mereka suka membaca buku apa saja tanpa malu. Apalagi kalau bepergian, pasti ada novel dengan travel size di dalam tas mereka. Novel itu benar-benar dibaca selama perjalanan.

Setelah selesai membaca, mereka menulis singkat buku yang dibaca. Meski hanya sedikit dan singkat, tapi mereka melakukannya. Tujuannya untuk mengingatkan garis besar cerita, pada akhirnya menjadi sebuah review yang panjang.

Ngumpulin Modal Perayaan

Bagi yang serius merayakan wisuda, mahasiswa barat tidak juga tidak main-main untuk mengumpulkan modal. Mereka bisa sangat all in dalam segala aspek.


[Photo: Dokumentasi Pribadi]


Membuat perayaan bukan sebuah kewajiban. Gaya hidup mereka yang bebas membuat keputusan untuk merayakan di bar atau night club. Sebagian besar lagi, orang yang wisuda selalu dirayakan oleh teman-temannya. Bukan sebaliknya seperti di Indonesia. Orang yang wisuda pasti bangkrut.

Semester delapan sudah semestinya dilewatkan dengan santai, tenang, dan berkarya. Jangan memaksakan target yang sudah diketahui tidak akan tercapai. Inilah faktor penyebab stres mahasiswa di semester delapan. Memaksa meski tahu hasilnya tidak seindah rencana. Lebih baik semester delapan dijalani sebaik mungkin, tingkatkan kemampuan. Sesuatu yang dipaksakan hasilnya nggak akan baik. Jadi, semester delapan no stress, no cry!

Posting Komentar

0 Komentar