Do It (Bagian 3)

 (Do It sudah diterbitkan dalam buku antologi ‘Kuliah Dengan 0 Rupiah’ yang diprakarsai oleh Gerakan Indonesia Membantu)

-o0o-

Diskriminasi. Itu yang aku nilai terhadap mereka yang mencari guru bukan karena jam terbang mengajar, tapi penampilan fisik. Semua teman-teman mengakui hal itu. bahkan temanku asal Rusia yang memenuhi syarat secara penampilan bisa menjadi guru dengan bayaran tinggi hanya untuk berdiri dan tersenyum di depan kelas. Jangan tanya bahasa Inggrisnya, dia sama sekali tidak bisa berbicara dalam bahasa Inggris. Memahami konten percakapan secara umum pun tidak.

Selama satu semester aku melewati hari-hari yang begitu buruk. Kupikir Tuhan sudah menyerah mengujiku. Ternyata tidak. Ujian sebenarnya justru datang di saat aku berpikir sudah hidup tenang selamanya. Meskipun tidak punya banyak uang, aku bisa menyelesaikan masalah tanpa harus berutang. Setidaknya setiap bulan aku bisa menabung sedikit. Tidak berfoya-foya, tidak gila belanja, dan makan makanan sehat untuk menghindari sakit di rantau.


Belajar New Media Editing bersama Prof. Fu Xiaoguang
[Photo: Ulfa Khairina]

Aku tidak melakukan penarikan uang di ATM jika masih ada lembaran untuk dibelanjakan di dompet. Aku baru mendatangi mesin ATM jika dompetku sudah benar-benar kosong. Ternyata cara ini tidak tepat, justru berbahaya sekali. kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi jika tidak punya pegangan kas sedikit pun. Terjadi pula padaku.

Menjelang maghrib sebelum kelas malam dimulai, aku menuju ATM terdekat dengan kantin. Aku berniat makan malam di kantin, lalu melanjutkan ke kelas. Tidak ada pemberitahuan mesin ATM error karena gangguan jaringan. Begitu memasukkan kartu ATM, layar tidak berfungsi. Kartu ATM-ku ditelan oleh mesin. Aku panik.

Aku masuk kuliah dalam keadaan perut lapar. Kuceritakan kepada teman yang aku kenal. Karena kasihan, dia menawarkan pinjaman 700 RMB. Aku bisa mengambalikan di awal bulan, ketika beasiswa sudah masuk dan urusan dengan bank selesai. Bank yang aku gunakan ini sedikit ribet dan jarak kantor cabang terdekat dari kampus  kami juga ditempuh empat halte bus. Sementara dalam minggu ini kami cukup padat.

Aku menolak niat baik teman asal Mongolia ini. Aku tidak mau berutang, terutama pada orang asing. Kupikir mencari pinjaman pada teman senegara jauh lebih baik. Aku mendatangi mereka yang sedang berpesta dan asyik menggunakan YouTube  menggunakan identitas dan kuota internetku. Satu-satunya yang aku syukuri, aku memiliki rezeki nomplok kuota internet unlimited. Entah siapa yang berbaik hati mengisikan untukku.

“Aku mau minta tolong,” kataku membuka percakapan. Ragu dan segan.

“Tolong apa, Kak?” si gadis berkacamata, paling awal aku kenal di antara mereka bertiga bertanya.

“Boleh aku pinjam uang 200 RMB? Paling telat aku bayar minggu depan. ATM aku di telan mesin. Aku nggak...”

Sorry, Kak. Kita belum ada yang ngambil duit, sih,” gadis yang paling cantik, paling tua di antara ketiganya, dan kupikir paling bijak juga. Dia memotong kalimatku.

Aku mempertahankan agar bulir bening tidak jatuh. Semangatku seperti terlepas dari tubuh. Detik selanjutnya gadis berkacamata dan si cantik sibuk bercerita tentang konser artis kesukaan mereka di Shanghai, temu penggemar Lee Min Ho di Beijing dalam dua hari ini, dan outfit ZARA incaran mereka sedang diskon.


Berbelanja sebagai salah satu bagian dari melepas stress
[Photo: Pexels]

“Besok kita jadi, ya, ke Solana Mall. Ya ammmmpuuunnn!!! Beneran, lho. Itu cardigan  aku udah lama banget ngincar.” Si cantik tanpa perasaan masih saja bercerita tentang cardigan.

Napasku seperti sesak.

“Iyaaaa, aku juga. Sepatunya itu, lho. Lagi sale nggak, ya? Kayaknya, kalaupun nggak sale gue juga bakalan beli. Pokoknya bulan ini gue harus punya tuh sepatu!” si gadis berkacamata terpancing dengan percakapan yang diciptakan oleh si cantik.

Mereka heboh dalam waktu semenit. Sampai sebuah tangan menyentuh pahaku, “Kak, aku punya uang. Kakak butuh berapa?”

Gadis imut berwajah mirip sekali dengan Asmirandah, dia baru tiba di Beijing. aku baru mengenalnya beberapa minggu. Aku ingin menolak, tapi kebutuhan untuk menyambung hidup sangat kepepet.

“200 RMB saja. Aku akan kembalikan paling telat dalam seminggu, setelah ATM-ku kembali. ATM aku yang dari Indonesia juga tertelan mesin karena salah mesin ATM. ATM bank di China juga.”

Aku ingin memeluknya, tapi tanganku mendadak kaku sekali.

“Sebentar, ya, Kak. Aku ambilkan dulu,” dia meninggalkan kamar gadis berkacamata ke kamarnya.

Kedua gadis itu diam untuk beberapa saat. Menyadari suasana mulai canggung, gadis cantik membuka suara, “besok kita mau ke Solona Mall, Kak. Semua brand lagi diskon, lho. Cuma tiga hari dan Cuma di Solona. Kak Fafa mau ikutan?”

Aku menggeleng. Sambil tersenyum pahit aku menjawab, “untuk makan saja aku harus ngutang.”

“Kakak bisa pinjam sama kita dulu. Ntar kalau beasiswanya sudah masuk, boleh deh kembalikan ke kita,” si kacamata menimpali.

Aku menggeleng.

Si mungil tiba kembali ke kamar. Dia membawa uang cukup banyak. Dia memberikan kepadaku, “kakak yakin ini akan cukup? Atau nggak sekalian saja 500, Kak?”


Uang adalah masalah utama dalam hidup.
[Photo: Pexels]

Aku menggeleng, “terima kasih, Dek. Insyaallah dalam minggu ini, ya.”

Setelah menerima uang, aku meninggalkan kamar si kacamata. Tidak peduli gosip apa yang sedang mereka gunjingkan di belakangku, tentangku.

Sesampai di kamar. Aku menangis. Aku memang sudah mengelola  semuanya dengan baik, tapi aku salah cara. Harusnya aku lebih cerdas dalam mengatur dengan menyimpannya dalam dompet. Bukan di dalam mesin. Ini menjadi pelajaran untukku. Beruntungnya, ketika semester baru dimulai, isu kenaikan beasiswa terealisasi. Pihak donatur mentransfer kekurangan selama satu semester ke rekening masing-masing. Aku bahagia sekali sampai tertawa ngakak. Dalam sekejap kami kaya. Dalam sekejap pula, aku bisa menyelesaikan semua tunggakan yang selama ini teresnedat-sendat.

Pertemananku semakin luas. Mereka yang mengenalku memberikan pekerjaan sampingan yang aman untuk mahasiswa. Terbebas dari cidukan pihak manapun. Di Beijing, bekerja sampingan bagi mahasiswa asing dengan visa X sangat rentan penangkapan. Meskipun banyak yang lolos dari pantauan, banyak pula yang sial tertangkap. Aku memilih aman meskipun tidak punya jutaan uang saku.

Kejadian Solana Mall dengan teman sebangsa memberiku pelajaran moral paling besar. Jangan menyimpan uang seluruhnya di ATM. Jangan meminjam di saat kepepet. Jangan menolak kebaikan orang lain saat ditawarkan dengan tulus. Satu lagi yang paling penting, jangan meremehkan Tuhan. Rencana Tuhan selalu lebih indah dari yang kita prediksikan.

Setelah kejadian itu, aku tidak lagi bersantai-santai menikmati internet gratis. Ada banyak artikel yang harus aku selesaikan. Mereka membayarku. Ada beberapa artikel yang butuh sentuhan editor. Aku tidak meminta bayaran, meskipun ada yang membayar dan tidak. Ada dokumen yang harus aku terjemahkan.

Aku mengingat kembali kata-kata ayah. Bukan soal duit, do it.

Do it!

Aku melakukan semua kesibukan untuk meningkatkan kemampuanku dalam menulis, mengedit, dan menerjemahkan. Semua hasilnya adalah umpan balik yang akku dapatkan setelah lulus nanti.


Belajar fotografi sebagai bagian dari jurnalistik
[Photo: Dokumentasi Pribadi]

Setahun setengah aku melewati kesibukan-kesibukan berkualitas. Tidak aku sangka, tidak pula pernah aku bayangkan, aku melewatinya dengan tenang. Tidak ada tunggakan. Aku bisa menikmati beasiswa untuk mengganti laptop, ponsel, pulang kampung tiap liburan, jalan-jalan, shopping, dan... bersedekah. Tentu saja, aku punya tabungan.

Jangan tanya berapa banyak uang aku kumpulkan dari bekerja. Aku tidak pernah menghitungnya. Setiap pekerjaanku selesai, mereka akan mengirinya lewat WeChat. Aku juga menggunakan WeChat Payment ketika berbelanja. Hidup terasa lebih mudah, teratur, dan indah.

Sampai aku pulang, ada sesuatu yang bisa aku bagikan untuk orang-orang yang berjasa. Meskipun hanya sebaris ucapan terima kasih dan pengalamanku di rantau.

-o0o-

Hikmah Cerita

Tuhan tidak akan pernah menguji hamba-Nya melebihi batas kemampuannya. Aku percaya itu. Dan manusia tidak bisa memilih terlahir dari keluarga seperti apa. Aku juga percaya ini. satu baris yang bisa aku simpulkan dari keduanya, Tuhan sudah menciptakan skenario yang memukau untuk hamba-Nya dalam memerankan tokoh di dunia. Berat dan tidaknya skenario itu tergantung jam terbang masing-masing.

Jam terbangku tidak seberat yang dialami oleh orang lain. Masalahku juga tidak seberat apa yang dialami oleh orang lain. Aku percaya segitulah porsi masalah yang mampu aku emban. Ketika aku mendapatkan persoalan-persoalan yang menjurus pada keinginan finansial dengan cara instan, saat itu pula Tuhan menegurku. Tidak akan berubah nasibku jika bukan aku sendiri yang mengubahnya.

Ketika aku memilih mengeluh, Allah mengirimkan aku orang-orang yang membuatku berpikir. Teguran halus melalui mereka justru memberiku penerangan. Jalan yang aku tempuh salah. Tujuanku salah. Apa yang sedang aku lalui adalah proses untuk mencapai yang aku butuhkan. Bukan yang aku inginkan.

Bersyukur terhadap apa yang aku jalani dan sudah aku miliki, dengan begitu Allah akan memberi nikmat lebih besar. Tidak ada satu pun janji Allah yang ingkar. Terkadang hanya manusia saja yang abai dengan nikmat-Nya.


Nikmat terindah saat memakai toga
[Photo: Dokumentasi Pribadi]

Berulang kali aku merenungkan segala hal ketika perjalanan kembali ke Banda Aceh. Rahasia apa di balik kehilangan dan kesialan yang aku derita.

Kita tidak akan memperoleh kedua hal kenikmatan sekaligus dalam hidup. Kita harus memilih satu. Jika kita tidak bisa memilih, Allah yang akan pilihkan untuk kita. Ayahku terserang stroke setahun sebelum aku dinyatakan lulus sebagai penerima beasiswa. Ketika aku melihatnya, aku yang terpuruk. Kehilangan harapan. Ayah mendorongku untuk terus maju. Baginya, sekalipun seorang perempuan, dia haruslah memiliki pendidikan yang tinggi. Ibu akan menjadi sekolah pertama untuk anak-anaknya. Menjadi profesor untuk generasinya kelak adalah kebanggaan paling mulia.

Selain itu, perempuan harus mandiri dalam segala hal. ketika seorang perempuan memiliki pendidikan tinggi, dia jarang akan terjerumus ke dalam hal yang buruk. Pendidikan dan ilmu pengetahuan adalah modalnya untuk bertahan hidup. Termasuk dalam masalah finansial.

Aku berpikir sebaliknya, selain aku harus mendapatkan gelar pendidikan yang lebih tinggi, memiliki tabungan dari beasiswa adalah keharusan. Ternyata pikiranku salah. Beasiswa tidak akan pernah cukup untuk menikmati hidup jika ditempatkan terlalu banyak kas. Justru ketika aku menikmati  dan mensyukuri berapapun yang aku dapat, rezeki lain mengalir dari segala arah.


Jalan-jalan gratis sebagai bonus dari hobi menulis.
[Photo: Dokumentasi Pribadi]

Ada banyak rezeki yang aku dapatkan dalam hidup. Tergantung orang lain melihatnya dari sisi apa. Bagiku, apa yang aku dapatkan sekarang adalah hikmah meluruskan tujuan ke Beijing. Tujuan untuk kemandirian secara umum berubah menjadi menuntut ilmu. Aku memang tidak kaya karena menulis dan membaca. Ya, tidak kaya secara materi, tapi aku kaya dengan pengatahuan dan informasi yang dibutuhkan oleh orang-orang.

Meskipun bersebarangan dengan keinginan teman-temanku, aku sudah putuskan untuk melakoni apa yang aku suka. Hakikat hidup mencari kebahagiaan. Kebahagiaan diciptakan, bukan ditunggu. Aku rasa, aku sudah menemukannya.

Do it dulu, duit menyusul. (T.A.M.A.T)


Baca Juga:
Do It (Bagian 2)

Posting Komentar

0 Komentar