![]() |
[Photo: pexels] |
Notifikasi di akun e-commerce orens saya mengatakan jika kurir sedang menuju ke lokasi untuk mengantarkan paket saya. Namun dari pagi sampai malam si kurir tidak kunjung datang. Pintu rumah saya tidak kunjung diketuk, nama saya tidak ada yang memanggil. Tidak ada juga kurir dengan dua tas besar warna merah di jok motor matic yang berhenti di sekitar rumah. Baik itu mengantar paket saya atau pun anak kos di depan rumah.
Malamnya
sebuah pesan WA masuk ke ponsel. sebuah foto paket dengan kalimat, ‘ada paket kakak ini.’ Saya membaca
pengirimnya, ini memang paket yang saya tunggu seharian. Saya menanyakan kapan
mereka akan mengantarkan paketnya. Si kurir berkata tidak bisa mengantar lagi
karena overload. Saya disuruh datang
ke gudang untuk mengambil.
Ah,
saya merasa kesal dengan jawabannya. Meski sangat dipahami jelang hari raya
begini paketan di ekspidisi menumpuk. Kurir kewalahan, belum lagi konsumen yang
kadang-kadang nggak punya hati. Sebelum saya sempat membalas dengan bantuan
bisikan syaithan yang terkutuk, si kurir menelepon.
Saya
langsung bertanya, “ada berapa paket yang sampai?”
“Kakak
punya berapa paket?”
“Nggak
tahu. Ada beberapa. Apa sudah sampai saya tidak tahu. Karena di aplikasi sudah
dikirim dari gudang Banda Aceh,” kata saya.
Saya
mengatakan tidak bisa datang ke gudang karena lokasi domisili saya yang jauh.
Si kurir kaget dan bertanya apa saya nggak pulang kampung. Saya katakan tidak,
dia kaget sekali lagi karena sudah terlanjur berpiki saya ini anak kos. Saya
katakan padanya, saya bukan anak kos. Anak kos itu di depan rumah saya.
Memang
rumah saya kelihatan bukan seperti rumah keluarga, tidak berpagar seperti rumah
anak kos. Halamannya juga ditumbuhi dengan rumput liar, meskipun rumput itu
memang sengaja saya tanam agar halaman rumah hijau. Bukan rumput sutra yang
seperti di rumah-rumah minimalis itu. Hanya rumput liar yang disebut rumpu
gajah. Kalau sudah berbunga, bisa melekat di bagian bawah pakaian dan nyabutnya
rempong banget. Saya pun rela bekerja ekstra untuk mencabut bunga rumput begitu
berbunga, masih muda, dan belum menunjukkan tanda-tanda bertambah liar.
Wajar
sekali ketik abang kurir berpikir saya anak kos. Laipula saya masih terlihat
sangat muda. Nggak jadu beda dengan anak kos yang dandanannya sangat dewasa.
Asekk!!
Keesokan
paginya, ketika sedang mengayun bayi ada nomor kurir yang menelepon. Kurir yang
semalam. Saya diminta datang ke depan mushalla komplek yang letaknya pas di
tengah dan komplek. Bermodal payung dan menggendong bayi saya ke depan
mushalla. Pemandangan di depan sana sungguh membuat saya seperti terlempar ke
tahun 2014-2016, masa-masa dimana saya berkenalan dengan belanja menggunakan
e-commerce di Beijing.
Puluhan
paket berserak di pinggir jalan. Satu persatu pemilih datang. Menyebut namanya,
dipindai kode bar tanda terima, diberikan paketnya, dan dibawa pulang. Begitu
seterusnya sampai paketnya habis. Pemandangan ini persis seperti di seputaran
Chuanmei dulu. Beberapa ekspidisi besar dan kecil menunggu di tepi jalan dengan
paket berserakan.
Kurir
akan mengirim pesan singkat, kita langsung menuju ke titik pengambilan. Begitu
seterusnya. Ada juga paket yang diantar sampai ke asrama dan kita tidak perlu mengantri
paket dicarikan di bawah terik panas.
Belanja
di e-commerce Beijing adalah cikal bakal saya jatuh cinta pada belanja daring.
Apalagi di sana sangat nyaman. Packaging-nya
bagus, ongkirnya gratis ke seluruh China, sampainya juga tidak lama. Tidak ada
yang sampai semingguan lebih, kecuali di waktu-waktu tertentu seperti menjelang
imlek, single day, dan beberapa
festival lainnya. Di hari-hari tertentu harga sangat murah, diskon banyak, dan
pilihan juga lumayan sekali. Tidak heran semua orang berbelanja daring.
Selama
pandemi, orang-orang yang berbelanja di e-commerce juga meningkat. Berawal dari
himbauan jaga jarak dan cashless, akhirnya
orang-orang menumbuhkan rasa percaya pada belanja daring. Selama ini banyak
orang yang tidak mau belanja daring karena faktor takut dikecewakan dan
penipuan. Belakangan, meningkatnya pembelian di e-commerce dan overload jelang lebaran menunjukkan
bahwa sudah mulai tertanam nilai kepercayaan untuk berbelanja di e-commerce.
![]() |
[Photo: Pexels] |
Selama
bulan Ramadan, para pelanggan juga memiliki pilihan yang cukup banyak. Belum
lagi diskon bejibun. Orang-orang seperti saya yang tidak suka berdesak-desakan
di toko offline memang auto memilih
belanja di toko online. Banyak sekali
toko-toko daring di e-commerce yang menawarkan potonga harga gila-gilaan.
Tidak ketinggalan toko-toko offline yang memvideokan bongkar barang setiap hari bisa mencapai 15 bal. Semakin estetik dekorasi tokonya, semakin tinggi pula daya beli masyarakat ke toko itu. Dulu orang-orang agak kurang berani masuk toko dengan konsep butik. Khawatir harganya akan melonjak berkali-kali lipat. Sekarang berbeda. Adanya slogan ‘kualitas butik harga pasaraya’ sepertinya sudah melekat di hati konsumen.
Melihat
video-video yang diposting oleh toko-toko di Instagram membuat bulu kuduk saya
berdiri. Bagaimana tidak, pandemi masih berlangsung dan penyebaran virus masih
terjadi, lho. Orang-orang sekarang sudah tidak peduli. Mereka dengan semangat
empat lima akan berburu baju baru seperti tidak akan datang hari baru.
Untungnya saya lebih memilih berbelanja berbelanja daring. Banyak sekali koleksi
pakaian lebaran yang dikeluarkan oleh merek tertentu dengan harga yang sebelas
dua belas beli di toko. Kelebihannya saya tidak perlu berdesak-desakan di
tengah teriknya panas kota Meulaboh yang menyengat.
Berbelanja
di bulan Ramadan bukan tanpa kendala. Semua paket yang sudah selesai melakukan deal dengan toko tidak langsung dikirim.
Pengemasannya butuh waktu lebih lama, pengirimannya juga berulang kali
melakukan penjadwalan ulang. Bahkan paket-pekat yang saya pesan minggu awal
Ramadan baru saya terima dua minggu kemudian.
0 Komentar