Bedah Buku Tutorial Mencuci Piring Bersama Komunitas Baca Yuk!

 Awal tahun 2025, saya diajak Komunitas Baca Yuk untuk membedah buku tutorial mencuci piring. Iya, buku tutorial mencuci piring. Saya menyebutnya begitu. Sebenarnya buku ini cukup hype di tahun 2024. Buku pengembangan diri atau mental health yang ditulis oleh dokter jiwa berpenampilan nyentrik, dr. Andreas Kurniawan, Sp.KJ. Seorang Lelaki yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring. Bagi sebagian pembaca, judul buku ini cukup mengundang rasa penasaran, tapi bagi sebagian lainnya sama sekali tidak menarik.

Saya termasuk tim kedua. Sama sekali tidak tertarik membaca buku ini. Beberapa kali terjebak dalam euforia buku hype dan berakhir kecewa. Jadi, saya menununggu momen yang tepat untuk membaca buku ini tanpa penyesalan, tanpa paksaan. Sampai akhirnya tibalah waktunya.

tutorial mencuci piring
Ilustrasi pria mencuci piring
[Photo: Pexels/Mart Production]

Akhir Desember 2024, Komunitas Baca Yuk melalui pengurusnya, Wulandari Imaniar, mengundang saya untuk membedah buku ini. Saya pikir, inilah waktu yang tepat untuk membaca buku ini. Setelah menyetujui, saya langsung membeli buku ini dari toko orens, kebetulan dapat diskon 15% dan pengiriman gratis dari Medan. Alhamdulillah, kesampaian juga baca buku ini.

Sebelum diskusi buku ini, banyak yang mengatakan alasan belum membaca buku ini karena belum sanggup. Hati belum kuat karena pernah mengalami hal berat ditinggalkan oleh orang tersayang. Saya sendiri pernah mengalami kehilangan terpenting dalam hidup. Jadi, saat menyampaikan informasi dari buku ini emosi saya ikut terlibat.

Buku dan Penulis

Buku ini membahas soal duka. Duka kehilangan yang membuat siapa saja akan menangis dan susah move on. Qadarullah, di saat yang sama ketika acara berlangsung salah satu member Komunitas Baca Yuk baru kehilangan ayahnya. Belum tujuh hari. Sepanjang saya mengisi materi, beliau terus menangis. Melihatnya menangis di layar membuat hati saya tersayat, bahkan memori tentang kehilangan ayah sebelas tahun lalu seperti masih segar dalam ingatan.

Uniknya, Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring mempersempit jarak waktu kehilangan dengan pembacanya. Selama apapun kehilangan yang sudah kita alami, tapi setelah membaca buku ini justru duka itu baru kejadian kemarin. Nyes-nya masih terasa dan kehilangan semakin menganga. Pendekatan yang ditulis oleh si penulis dalam buku tutorial mencuci piring ini sungguh pendekatan emosional yang sangat dekat kehilangan.

Gaya bahasanya itu, lho. Meskipun seorang dokter dengan pendidikan tinggi, tapi penulisnya mampu menyesuaikan bahasa yang digunakan untuk dipahami semua kalangan. Penulisnya nggak mabuk istilah psikologi atau kedokteran. Kalaupun ada istilah yang tidak bisa dihindari, penulis masih memberi penjelasan panjang soal istilah itu dengan bahasa yang sangat sederhana. Penulis juga menganalogikan dengan sesuatu yang dekat dengan kita dan bagaimana realita yang kita hadapi.


kesedihan
Ilustrasi kesedihan pasca berduka
[Photo: Pexels/rdne]

Saya jadi menemukan alasan dalam sebuah kesimpulan kenapa cuci piring? Ya, karena setiap orang pasti pernah makan dengan piring dan mencucinya. Kalaupun nggak cuci piring yang rutin, penulis mengajak seseorang setidaknya mencuci piring sekali saja seumur hidup saat melalui duka. Bahkan di dalam buku ini diberikan tahapannya, persis seperti tutorial.

Penulisan buku ini sangat runut. Sangat terstruktur seperti makalah, tapi isinya seringan artikel pendek. Di awal, kita diberi gambaran bagaimana seseorang mempersiapkan diri untuk sebuah kehilangan. Kehilangan itu pasti, tidak sekarang tapi nanti pasti akan terjadi. Kemudian di akhir, penulis juga menulis pidato kelulusan yang disampaikan saat beliau wisuda tanpa ayah. Maksudnya, beliau baru saja kehilangan Ayah tercinta. Kebetulan yang sangat dekat dengan saya.

Bagian penutup ini paling berkesan dan impactful bagi saya pribadi. Saat saya wisuda magister di China, saya juga menyampaikan pidato kelulusan sambil mengingat Ayah. Ajaibnya saya seperti merasakan kehadiran Ayah di tengah ribuan manusia yang hadir di dalam aula.

Seandainya saja bagian ini ditulis dalam bentuk sastra, tentu saja kesedihan yang dirasakan penulis dapat kita rasakan bersama. Emosi yang terjadi juga. Sama seperti ketika penulis menceritakan 30 menit sebelum kehilangan anaknya untuk selama-lamanya. Akan lebih terasa ketika disampaikan dengan narasi bertutur dengan deskripsi yang detil.

Meskipun bagi saya ini sebuah kekurangan, tapi bukan kekurangan yang fatal. Tentu saja ini hanya keinginan saya pribadi. Mungkin saja bagi orang lain ini akan berbeda cerita. Mereka menikmati dengan cara yang sekarang. Ini terbukti juga banyaknya ulasan positif tentang buku ini di media sosial. Banyak yang merekomendasikannya sebagai buku yang wajib dibaca setidaknya sekali dalam seumur hidup.

Kalimat saya bisa saja dianggap mempromosikan buku ini secara personal. Kenyataannya saya tidak sedang mempromosikan buku ini sama sekali. Seperti yang saya katakan di atas, awalnya tidak ada minat terhadap buku ini sama sekali. Takut terjebak, takut zonk, dan berbagai ketakutan lainnya. Bahkan saya baru membeli buku ini karena ajakan untuk mengisi bedah buku sebagai pemateri.


Andreas Kurniawan
Ilustrasi buku Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring.
[Photo: Search by Google]

Saat membaca buku ini, saya jadi penasaran. Siapa sih Andreas Kurniawan ini? akhirnya saya stalking ke akun Instagramnya. Lumayan kaget pasti, karena penulis ini sama sekali di luar bayangan saya. Nggak nyangka beliau lumayan nyentrik sekali.

Jika melihat Andreas Kurniawan hanya sebatas influencer, gayanya memang masih normal. Sebelas dua belas dengan dr. Tirta yang sempat viral dan mengguncang jagat maya. Namun setelah melihat dr. Andreas Kurniawan, kita jadi kaget. Bukankah beliau seorang dokter jiwa? Bagaimana pasien bisa menaruh kepercayaan kepadanya sementara dokternya nyentrik sekali?

Kenyataannya, ‘keanehan’ yang saya temukan dari beliau membuat saya ingin mengenal lebih dekat. Apa yang dia tuliskan di bukunya sama sekali tidak ada hubungannya dengan gayanya. Manusia bebas berekspresi, kan?

Tema dan Pesan Buku

Seperti kebanyakan buku dengan tema self help lainnya, buku ini memang benar-benar menawarkan solusi yang bagi sebagian orang cocok, sebagian tidak. Ya, buku self help memang cocok-cocokan. Bagi saya, poin menarik dari buku ini justru ilustrasi covernya yang unik dan manis. Karikatur seorang lelaki gondrong bercelana pendek yang mencuci piring di wastafel.

Apaan, sih? Begini doang respon saya saat buku ini pertama kali diviralkan. Ternyata tema yang diangkat tentang kehilangan orang terdekat dan itu berat. Pesan buku yang disampaikan mengena untuk semua orang yang pernah kehilangan dan pernah berada di posisi sangat takut kehilangan.

Metafora mencuci piring yang disampaikan juga sangat efektif untuk membuat kita menerapi duka yang berlarut. Saat mengobrol dengan para peserta, ternyata selain mencuci piring banyak yang menghabiskan waktu di kamar mandi untuk bersih-bersih saat seseorang sedang menerapi diri sendiri. Ada yang mencuci piring, ada yang menyikat kamar mandi, dan lain-lain. Luruhnya kotoran dari benda yang sedang kita bersihkan memang berasa seperti meluruhkan kesedihan dari hati.


cuci piring
Ilustrasi piring yang sudah dicuci
[Photo: Pexels/Cottonbro]

Secara umum, penulis ingin menyampaikan kalau duka itu seperti kotoran yang melekat di piring. Meski sudah dibersihkan, tapi jika tidak disabun ya tidak akan hilang. Nggak akan kinclong. Itu sebabnya mencuci piring pun ada tahapannya seperti kita menyembuhkan luka. Jika kita mengikuti tahapannya, semua proses penerimaan akan kita terima.

Menurut saya, buku ini cukup efektif untuk orang-orang yang mengandalkan bacaan self help untuk mencari solusi. Namun ada juga peserta yang mengatakan cara menyembuhkan dukanya berbeda-beda. Saya sendiri sudah kehilangan ayah lebih sepuluh tahun, tapi masih mengalami kesedihan berkepanjangan. Saya masih nangis kejer setiap mengingat kepergian Ayah yang tidak tiba-tiba.

Ya, sesiap apapun kita menghadapi kematian, kenyataannya kita tidak pernah siap sama sekali. Kehilangan yang paling sulit untuk terlupakan adalah kematian orang terdekat. Kita seperti kehilangan arah dan separuh hidup.

Rekomendasi

Meski tidak bisa dikatakan efektif untuk semua orang, saya merekomendasikan buku ini untuk yang ingin tahu caranya menyikapi kehilangan. Contoh nyata yang dialami oleh penulis memberi gambaran bahwa tidak ada yang benar-benar siap menghadapi kehilangan. Sekalipun kita tahu teorinya.

Teori hanya untuk mengenalkan apa yang kita rasakan. Untuk menyikapi kehilangan sendiri, kita perlu dekatkan diri pada Tuhan.

Posting Komentar

0 Komentar