Fakta kalau Aceh Tengah bikin kangen bukan saja dialami oleh para pelancong dari luar Aceh. Kenyataannya, saya yang besar di Takengon pun akhirnya harus mengakui bahwa Aceh Tengah bikin kangen setelah 20 tahun merantau. Perpindahan dari kota ke kota, negara ke negara, semuanya membuat saya mengakui bahwa rumah untuk pulang ada di Aceh Tengah.
Wah,
kenapa ya? Ternyata dari hasil ngobrol dengan beberapa teman virtual dan
teman di real life, ada beberapa faktor yang membuat Aceh Tengah bikin
kangen. Kebanyakan dari mereka merindukan alamnya dan ketenangan yang
ditawarkan, sih. Sedangkan saya lebih dalam soal ikatan emosional dengan
dataran tinggi Gayo ini. For your information, saya besar dan melewatkan
masa kecil hingga remaja yang bahagia di Aceh Tengah.
![]() |
Kaki danau laut tawar [Photo: Search by Google] |
Aceh Tengah, Dataran Tinggi di Aceh
Setelah
beberapa kali masuk program TV, Aceh Tengah mulai banyak dikenal di kalangan
masyarakat Indonesia. Bahkan beberapa orang netizen mengatakan kalau mereka
menemukan Aceh Tengah dari akun Instagram explore_gayo. Bahkan ada yang
mengatakan dari jurnal ilmiah yang saya tulis. Bagian ini agak menakjubkan,
karena biasanya penemuan kebanyakan orang di artikel wisata, tapi someone ini
justru menemukan Aceh Tengah di jurnal ilmiah yang saya publikasikan. Wah,
bukannya jurnal ilmiah itu bacaan berat, ya.
Menurutnya,
Aceh Tengah memiliki sisi magis yang tidak dimiliki Aceh bagian lainnya. Setiap
daerah punya potensi luar biasa untuk memberikan warna dari sisi budaya dan
pariwisatanya. Begitupun dengan Aceh Tengah. Selalu ada cerita dalam setiap
tegukan kopinya.
Aceh
Tengah berada di dataran tinggi Aceh yang jaraknya 314 kilometer dari kota
Banda Aceh, ibukota provinsi Aceh. Jika menggunakan angkutan umum, jarak
tempuhnya antara tujuh sampai sembilan jam perjalanan darat. Jika mengemudi
sendiri, sekitar enam sampai tujuh jam.
Aceh
Tengah beribukota di Kota Takengon, sekitar 1200 mdpl dan berlokasi tepat di
tengah-tengah provinsi Aceh. Topografinya pegunungan dan perbukitan dengan suhu
yang dingin. Sepintas, Aceh Tengah mirip banget dengan Switzerland.
Fakta Tentang Aceh Tengah
Ada
beberapa fakta tentang Aceh Tengah yang membuat siapapun yang pernah berkunjung
ke sana akan terkenang. Beberapa fakta itu adalah sebagai berikut:
(1). Pusat Kopi Gayo
Jika
di berbagai kesempatan ada menu kopi Gayo, maka Aceh Tengah adalah pusat kopi
Gayo. Gayo merupakan nama etnis yang berdiam di Aceh Tengah. Selain nama etnis,
Aceh Tengah juga disebut dengan tanoh Gayo atau tanahnya suku Gayo. Aceh
Tengah dan Bener Meriah merupakan dua lokasi dengan pusat kopi Gayo yang
terkenal.
![]() |
Kopi sebagai komuditas utama Aceh Tengah [Photo: Pexels] |
(2). Danau Laut Tawar yang Eksotis
Danau
Laut Tawar yang eksotis terletak di Aceh Tengah. Pesona Danau Laut Tawar terasa
seperti lukisan-lukisan atau foto Swiss yang banyak didapat di penyedia gambar
gratis. Tak heran, Aceh Tengah dengan Danau Laut Tawarnya juga disebut dengan Little
Swizerland in Aceh.
(3). Hawa Sejuk Pegunungan
Aceh
Tengah memiliki hawa yang sejuk. Sejuknya hawa pegunungan yang segar dan
menusuk tulang. Berlibur ke Aceh Tengah pada musim penghujan harus siap dengan jaket
tebal dan obat flu. Seringkali dinginnya sangat menusuk dan temperaturnya bisa
sampai di bawah 15 derjat celsius, lho. Apalagi jika berada di area pegunungan
yang masih alami dan belum dirambah dengan kepentingan komersil. Dinginnya
maksimal seperti musim sepi atau penghujung musim dingin di negeri empat musim.
(4). Legenda Puteri Pukes
Pernah
mendengar kisah Puteri Pukes? Pengantin yang menjadi batu di dalam gua dan
terus mengeluarkan air mata? Nah, dia berada di Aceh Tengah, lokasinya tak jauh
dari pusat kota. Saat ini gua Puteri Pukes sudah dipermak dengan berbagai
ornamen, beberapa benda di dalam gua juga sudah berubah bentuk dan nyaris
hilang bentuknya. Namun legenda Puteri Pukes masih melegenda, dituturkan turun
temurun dari generasi ke generasi.
(5). Budaya dan Suku Gayo
Banyaknya
budaya luar Aceh Tengah yang masuk melalui jalur pernikahan memberi akulturasi
dan asimilasi budaya di Aceh Tengah. Akan tetapi, banyak sekali budaya unik
suku Gayo yang masih dipertahankan di dalam masyarakat. Bagi suku Gayo, adat
dan istiadat serta seni sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Tak
heran, jika menghabiskan di bagian perkambungan Gayo masih kelihatan sekali
ciri khas Gayo yang mulai ditinggalkan di kawasan kota Takengon.
![]() |
Aceh Tengah kaya akan budaya dan seni [Photo: Travel Kompas] |
(6). Surga Bagi Pendaki dan Petualang
Daerah
Aceh Tengah yang didominasi dengan perbukitan, pegunungan, dan alam yang
menantang penjelajah adalah surga bagi para pendaki. Bur Kelieten dapat menjadi
destinasi bagi para petualang dan pendaki dengan sensasi khas yang berbeda
dengan daerah lain. Bagi para pendaki amatir, banyak bukit-bukit yang dapat
ditaklukkan dengan tantangan yang tak kalah seru. Apalagi masyarakat Aceh
Tengah juga banyak yang tinggal di perbukitan dan lembah-lembah.
Aceh Tengah Dulu dan Kini
Bagi
sebagian masyarakat Aceh, membicarakan Aceh Tengah sama dengan membicarakan
hawa daerah yang tidak dingin lagi. Sebagai putri daerah yang besar dan
melewatkan masa remaja di Takengon, saya mengakui bahwa Takengon memangtidak sedingin dulu. Hal ini juga disebabkan oleh deforestasi yang
dilakukan secara masif.
Kawasan
Paya Tumpi dulunya masih dianggap pedesaan. Sekarang, Paya Tumpi termasuk
daerah kota dengan berbagai perkembangannya. Beberapa bukit yang berada di Paya
Tumpi sudah diratakan untuk pembangunan gedung dan fasilitas pariwisata yang
menjadi nilai tambah dan pemasukan melalui jalur ekonomi kreatif.
Aceh
Tengah dulu dan kini mengalami perubahan yang besar sejak dicanangkan sebagai
destinasi wisata daerah yang menjanjikan. Setelah pandemi berlalu, kunjungan
pariwisata di Aceh Tengah juga meningkat seiring dengan padatnya kunjungan dari
luar daerah. Trafik kunjungan paling tinggi di Aceh Tengah didominasi oleh wisatawan
domestik dari Sumatera Utara.
Menurut
informasi dari Dinas Pariwisata Aceh Tengah, wisata panorama masih menjadi
destinasi favorit wisatawan di Aceh Tengah. Wisata panorama yang paling disukai
oleh wisatawan umumnya Burni Telong, Bur Telege, Bur Rintis, dan Bur Kelieten
yang menjadi surganya para pendaki.
Masa Kecil di Aceh Tengah
Masa
kecil saya di Aceh Tengah juga tak kalah berkesan dengan para palancong yang
datang satu dua kali atau berkali-kali. Kami tinggal di salah satu bukit yang
saya sebut sebagai bukit uling. Uling adalah tanaman rumput dari keluarga
padi-padian. Dalam bahasa Indonesia disebut juga rumput riang-riang. Tanahnya
liat dan merah, hampir tidak ada tanaman yang bisa tumbuh di sini. Ayah kami
menyebar berbagai jenis bunga yang gampang tumbuh untuk membuat bukit uling
menjadi bukit berbunga seperti lagu Dewi Yul.
Ayah
membangun tanam bermain anak-anak untuk kami. Di sini, kami tumbuh besar dan
terasing dari kelompok masyarakat. Teras rumah kami seperti kerengkeng,
dilapisi oleh kawat keliling untuk mencegah hewan liar masuk. Sepanjang teras
ditanami tanaman euvorbia dalam pot aneka warna. Bunga-bunga liar dan naik
kelas dalam pot plastik hitam di tangan mamak.
Setiap
pukul tiga sore, suara hewan liar seperti lutung dan monyet bersahutan dari
pegunungan yang menjulang tinggi di depan rumah kami. Hutannya hijau gelap.
Terkadang tidak terlihat karena tertutup kabut dan awan hingga ke lembah. Pukul
dua siang, badan kami sudah berbalut jaket tebal. Berbicara pun sudah
mengeluarkan asap.
Di
musim hujan, kami mendekam di dalam rumah tanpa keluar. Kami berdoa agar aliran
air tidak mengalir deras dan memecah tanah yang menyebabkan longsor. Setiap
musim hujan Ayah akan memantau aliran air. Di saat hujan reda, puluhan batang
kayu air ditancap di pinggir rumah untuk menjaga tebung tidak longsor. Jika
terjadi longsor, tanah di belakang rumah akan dikeruk dan ditimbun di bagian
lain.
Saya
masih ingat, pertama kali kamar baru saya berdiri. Jarak antara jendela dan dinding
tanah bisa tersentuh panjang tangan mungil saya. Hanya sekitar setengah meter
saja. Dekat sekali. Namun saat saya sudah berusia belasan tahun, di belakang
kamar saya sudah menjadi kandang ayam yang luas karena tanah di belakang kamar
terus longsor saat hujan.
Kini,
kenangan tentang masa kecil di Aceh Tengah hanya lekat dalam ingatan. Dulu
terasa seram dan ingin keluar dari bukit uling itu, kini saya merindukan masa
kecil di sana. Kami pun tidak lagi tinggal di bukit menjadi satu-satunya rumah
yang bertahan, tapi sudah berkumpul di kelompok perumahan lain yang semakin
padat.
0 Komentar