"Kebaikan
budi itu bagi bangsa kita hanyalah karena hendak mencari muslihat bagi diri.
Ketika baik-baik, tentulah tidak akan terbuka. Namun, kalau kelak ada
sebab-sebab yang menjadikan renggang, pertolongan-pertolongan itu akan
terbuka."
(Cinta
Terkalang, Hamka, hal. 46).
--o0o--
Judul Buku: Cinta Terkalang | Penulis: Hamka
| Penerbit: Gema Insani (Jakarta: 2019) | Tebal: 137 hal | ISBN: 978-602-250-659-1
--o0o--
Cinta Terkalang termasuk novel
Hamka yang sudah lama saya timbun di rak buku. Pertama kali saya membeli buku
ini bukan karena warna warni bukunya yang membuat menarik, tapi karena promo bundling
yang ditawarkan oleh sebuah toko buku daring. Sejak film Hamka mulai rilis
dan booming di media sosial, buku
ini kemudian satu persatu muncul di beranda Instagram saya.
Akhir Mei 2024,
saya memutuskan membaca buku ini dan menikmati permainan kata yang sarat gaya
bahasa minang. Voila! Ternyata buku ini bisa selesai sekali duduk meski gaya
bertuturnya masih klasik ala generasi Balai Pustaka.
[Photo: Pexels/Ahmadari Kurniawan] |
Kisah Syamsiah dan Adnan
Syamsiah dan
Adnan sudah bertunangan sejak kecil. Ibu Syamsiah yang menginginkan Adnan
menjadi menantunya. Selain memiliki nasib sama, mereka merasa setara. Sama-sama
miskin. Pada masa itu, kesenjangan sosial
menjadi isu yang cukup dipertimbangkan dalam pernikahan. Kesetaraan adalah hal
yang diharapkan dalam sebuah keseimbangan rumah tangga, meski tidak sedikit
mendapatkan seseorang yang lebih berada untuk memenuhi kebutuhan keluarga
besar.
Sebagai lelaki
yang bertanggung jawab, Adnan ingin membuat pernikahannya dengan Syamsiah
layak. Demi pakaian sepetagak untuk dirinya dan kain peniba untuk calon
istrinya, Adnan merantau keluar kampung. Berpindah dari satu pekerjaan ke
pekerjaan lain. Menjadi buruh, pedagang, sampai menderes karet. Apapun itu,
selama uang yang didapatkan halal. Hingga akhirnya sukses dan berniat pulang
untuk melangsungkan pernikahan.
Malangnya, di
perjalanan saat berbelanja peniba dia dicopet oleh tionghoa Singapura. Seluruh
uangnya lenyap. Adnan tidak jadi pulang kampung dan memilih mengumpulkan uang
yang hilang untuk bekal. Sementara di kampung kabar kemalangan Adnan menyebar
cepat bahkan sudah berlebih-berlebihan. Ada yang Ada pula yang mengatakan kalua
kabar dicopet itu hanya akal-akalan Adnan saja karena dia tidak mau pulang.
Daripada malu, dia memilih tidak pulang.
Keluarga Syamsiah
mulai meragukan ketulusan Adnan. Di saat yang sama, seorang lelaki terpandang
karena hartanya pulang kampung, mengantar istri lama dan membawa merantau istri
bar uke perantauan. Kabar yang menimpa Syamsiah menyebar cepat dan sampai ke
telinga Sutan Marah Husin. Lelaki beristri banyak ini mencari tahu seperti apa
kembang desa yang menjadi buah bibir. Dia tertarik dan meminta keluarganya
untuk melamar Syamsiah untuk istri mudanya.
Syamsiah bukan
tidak tahu apa yang dilakukan oleh keluarganya, tapi dia tidak bisa mengelak.
Lagipula, di saat yang sama dia pun harus realistis melihat kondisi. Menikah
dengan Andan tidak ada kejelasan, menikah dengan Sutan Marah Husin juga tidak
ada kejelasan. Setidaknya dia tahu keluarganya akan dipandang orang dan
hidupnya tidak akan susah.
Dia pun rela dinikahkan
dengan Sutan Marah Husin, lelaki kaya yang berganti istri seperti berganti
pakaian. Syamsiah dibawa merantau
menggantikan istri lama yang ditinggalkan di kampung. Dikembalikan kepada orang
tuanya karena dianggap tidak taat.
Hidup keduanya
menjadi kacau. Sebagai istri Syamsiah tak lebih baik dari budak. Bahkan
Syamsiah merasa hidupnya di kampung yang miskin sebelum menikah dengan Sutan
Marah Husin lebih mulia daripada istrinya. Suaminya kerap menuduh Syamsiah
pelit, padahal uang belanja tidak pernah cukup diberikan untuk Syamsiah. Suatu
hari mereka bertengkar dan kata-kata buruk Sutan Marah Husin membuat Syamsiah
tidak bisa berkata-kata. Bahkan dia tidak bisa berkutik dan meminta cerai.
Sementara Adnan pulang
ke kampung setahun kemudian dengan penida yang dibawa pulang untuk istrinya.
Dia sangat terkejut mendapati kenyataan kalau tunangannya sudah dinikahi orang
lain. Adnan jadi terdiam dan linglung seperti orang gila. Hanya shalat yang
dilakukan dengan benar.
Adnan sampai
berobat ke dukun dan dipasung. Dia kurus dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Kemattian sudah menunggu. Syamsiah kembali ke kampung dan meminta izin untuk
menjenguk Adnan sekaligus meminta maaf. Saat bertemu dengan Syamsiah, Adnan
meninggal. Dua bulan kemudian, Syamyiah meninggal karena diracun di rumah
keluarga Sutan Marah Husin.
Premis Segaris
Sepintas cerita
ini mirip dengan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, tapi ini cerita yang
berbeda. Kesamaannya sama-sama mengetuk emosi. Nilai moral yang dibagikan sama.
Kekayaan masih tetap menjadi bagian perusak moral dan penggoyah kesetiaan.
Premis cerita Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk dan Cinta Terkalang memiliki
garis yang sama. Tunduk pada takdir.
Kesenjangan
status sosial menjadi isu utama dalam penghalang pernikahan Adnan dan Syamsiah.
Hamka juga menyelipkan bagaimana perempuan sudah selayaknya dihormati dan harus
bersikap tegas.
Isu Umum
Selain kisahnya
yang umum terjadi pada zaman Hamka hidup. Cinta Terkalang memuat nilai
moral yang kuat. Hanya saja, bahasanya masih menggunakan gaya sastra lama
seperti kebanyakan sastrawan minang.
Terkadang ada
beberapa kosa kata yang teramat janggal diucapkan dan asing di pendengaran.
Namun sudah bisa dipastikan adat dan budaya minang begitu kental dalam novel
ini. Apalagi latar cerita ini tidak melibatkan kota lain dalam deskripsi. Hanya
secuil sebagai pelengkap.
Ada kebiasaan
berpantun yang kerap dilakukan oleh orang minang pada masa itu. Bahkan menurut
teman-teman saya yang orang Minang, saat ini juga masih dipegang sebagai adat
dan budaya. Jika untuk melepas atau meminta izin diberikan pantun, maka harus
menjawab dengan pantun. Kalau tidak, silaturahmi bisa terputus.
Dalam novel Cinta
Terkalang, posisi berpantun dilakukan saat Adnan hendak merantau dan
meninggalkan Syamsiah di kampung. Pantun ini disebut pantun Alamat kasih
sayang. Isinya begini:
Tergenang air di
jajaran
Terendam urat
padi muda
Tercanggung kami
ditinggalkan
Kami biasa ramai
jua
Balasan yang diberikan
Adnan untuk pantun itu adalah:
Kalau tidak di
rumput sarut
Tidaklah bakung
rang jajarkan
Daun rempah jatuh
berderai
Kalau tidak
disusah hidup
Tidaklah kampung
kutinggalkan
Setapak kita tak
bercerai.
2 Komentar
Keren, Bu. Walaupun belum baca bukunya jadi faham tentang alurnya... 😇
BalasHapusTerima kasih, Kak. Kalau mau baca bisa selesai sekali duduk, kok. Kalau mau dipending dulu juga udah tahu inti ceritanya. Hehehe
Hapus