Almarhum ayah saya seorang kutu buku. Bahkan lebih parah dari saya. Jika saya memaksakan diri seminggu menyelesaikan satu buku yang saya sukai, ayah saya bisa menyelesaikan dua buku dalam satu malam. Apalagi insomnia yang menyerang seperti dukungan tubuh untuk mendorongnya membaca.
Kata
orang, saya juga beruntung lahir dan dibesarkan dari keluarga yang mencintai
buku. Itu kata orang yang berkunjung ke kamar kos saya dan menemukan satu
lemari besar buku berbagai judul. Maksud mereka, tidak ada yang melarang saya
membaca buku atau membeli buku. Bahkan mereka beranggapan kalau orang tua saya
juga memberi anggaran untuk membeli buku.
[Photo: Pexels] |
Oh,
No!
Tidak
demikian cerita sebenarnya. Di balik semua buku yang berjejer, selalu ada
perjuangan yang orang lain tidak tahu dan hanya segelintir yang tahu. Salah
satunya kalian yang membaca catatan ini.
Saya
melewati masa kecil hingga remaja di dataran Tengah Aceh. Jauh dari ibu kota
provinsi dan akses literasi juga minim. For your information, masa saya
kecil tidak ada toko buku dalam arti yang sebenarnya di sini. Hanya toko buku
kitab dan parang yang menjual buku-buku belajar kaligrafi, ilmu tajwid,
alqur’an, dan beberapa komik petruk gareng. Sesekali saya menemukan karya-karya
MB. Rahimsyah berjejer di sana. Dijual dengan harga murah, tapi masih terbilang
mahal untuk kantong jajan anak sekolahan.
Perpustakaan
daerah mengoleksi beberapa judul buku cerita yang menarik seperti karya-karya
RL. Stine, Enyd Blyton, atau CS. Lewis. Sayangnya, jam kerja pustakawan di
pustaka daerah waktu itu mengikuti suasana hati petugasnya. Tidak pasti, sulit
ditebak. Maka solusinya adalah mengintip pustaka sekolah, berteman dengan
anak-anak orang kaya, atau menyewa di rental buku.
Toko
buku yang menjanjikan letaknya di kota Banda Aceh. Orang-orang seperti kami
yang hidup di daerah, berangkat ke Banda Aceh adalah suatu kemewahan. Kalau
tidak ada acara tertentu, mana ada cerita ke Banda Aceh. Belum lagi harga buku
di toko buku Banda Aceh juga melambung setinggi awan, mencekik sampai kehabisan
napas. Pun waktu itu belum ada Gramedia di Banda Aceh. Gramedia baru hadir
beberapa tahun belakangan setelah pandemi.
Satu
dua toko orang jualan buku mulai terlihat saat saya duduk di bangku Tsanawiyah
(setara SMP). Mereka tidak membuka toko buku, tapi menjual secara pribadi
koleksinya dengan harga beberapa persen lebih mahal. Novel-novel Islami
terbitan Lingkar Pena Publishing House atau karya-karya para penulis yang
tergabung dalam Forum Lingkar Pena. Ini saja sudah membuat saya senang sekali,
karena bukunya bisa dicicil.
Saat
Tsanawiyah saya berteman dekat dengan pustakawan yang shalihah. Dia adalah
anggota rohis di kampus STAI Gajah Putih. Bekerja di pustaka sekolah kami
sebagai pustakawan. Sejak bergabungnya beliau di pustaka, rak-rak buku yang
dempet ke dinding mulai mengisi ruang kosong di lantai dua mushalla yang belum
selesai. Buku-buku dari dus berdebu mulai dikeluarkan dan mengisi rak-rak
coklat yang sudah dilap berkilap.
Terlihat
jelas kalau koleksi buku bacaan sangat sedikit. Bahkan saat itu untuk meminjam
buku paket Pelajaran yang wajib untuk setiap murid harus berlomba siapa cepat
dia dapat. Kalau tidak ada tersisa lagi terpaksa memotokopi sendiri. Buku-buku
Pelajaran di pustakan juga nggak gratis. Saya ingat kami harus membayar Rp 25
ribu sebagai harga sewa atau perawatan, tapi kami masih mendapat buku dengan
kondisi yang menyedihkan. Kalau beruntung, hanya satu dua orang yang mendapat
buku dengan kondisi mulus, tapi saya tidak termasuk orang beruntung.
Sejak
pustakawannya sering melihat saya di pustaka membaca buku sendirian. Beliau
mulai mengajak saya mengobrol, berbagi cerita tentang buku yang dia baca dan
mulai memperhatikan hal-hal kecil yang saya butuhkan. Dalam hal ini buku bacaan
baru. Kadang beliau meminjamkan buku koleksi pribadi yang merupakan harta karun
di mata saya. Kadang beliau mengajukan pengadaan buku tiap catur wulan untuk
memasukkan buku-buku bacaan sebagai bacaan pendamping untuk siswa.
[Photo: Pexels] |
Selain
buku, bagi saya beliau juga harta karun sekolah. Dari beliau saya mengenal
penulis cerita Islami seperti Asma Nadia, Helvy Tiana Rosa, Sakti Wibowo, Gol A
Gong, dan lain-lain. Saya juga diizinkan menjadi pembaca buku pertama yang
datang. Malahan sebelum buku tersebut di data dalam arsip perpustakaan.
Beliau
juga orang yang sangat teliti dalam memilih buku-buku yang boleh dipajang di
rak untuk siswa dan tidak. Beliau tidak dibayar besar, tapi kepedulian beliau
terhadap literasi mengantarkan beliau pada titik ikhlas yang sangat tidak
terkira.
Saya
ingat, suatu waktu pustaka sekolah kami kedatangan paket buku dari pustakan
nasional dalam jumlah berdus-dus. Ada buku referensi, buku nonfiksi, dan fiksi.
Beberapa buku langsung didata, diberi label, dan dipajang di rak buku untuk
dibaca. Tentu saja saya yang pertama membaca buku-buku itu di jam istirahat.
Saya
melihat beliau menyortir buku yang pantas dan tidak. Sebagian besar buku yang
masuk ialah buku Mira W. Beliau langsung memasukkan ke dalam dus sebelum
membaca, lalu menyegelnya dengan lakban. Setiap hari, beliau mengambil satu dan
membacanya. Lalu melakban kembali. Jika buku itu layak dibaca oleh siswa, buku
itu akan diletakkan di rak buku. Jika tidak, buku itu dibungkus dengan kertas
koran atau sampul coklat, dimasukkan kembali ke dalam dus.
Ada
satu buku yang membuat saya penasaran. Novel Mira W berjudul Dari Jendela
SMP. Waktu itu saya melihat pustakawan kami sedang membaca buku itu
diam-diam. Saat saya memergokinya, beliau menjelaskan kalau buku ini tidak
cocok untuk kami meski ditulis SMP. Saya penasaran, bertanya-tanya.
Setiap
hari saya berusaha mencari tahu dan meminta izin untuk membaca. Beliau menolak
dengan tegas dan lembut. Sampai tamat sekolah, saya tidak pernah memiliki
kesempatan membaca Dari Jendela SMP. Saat saya duduk di bangku Aliyah.
Kisah saya dan perpustakaan justru berbeda lagi. Selain saya berjumpa dengan
guru bahasa dan sastra Indonesia yang kompetenberjumpa denganguru bahasa dan sastra Indonesia yang kompeten, saya juga menemukan harga
karun baru dari berbagai belahan negeri.
0 Komentar