Meugang, Tradisi Menyambut Ramadan di Aceh

 Assalamu’alaikum bestie study and travel!

Tidak terasa, meski berpuasa dengan perjuangan di tengah suhu yang begitu memanas, tapi puasa kita masih aman-aman saja, kan? Well, berbicara soal Ramadan saya jadi sadar sesuatu. Ada banyak hal yang terjadi di Aceh tidak dilakukan di tempat lain, atau punya kesamaan tradisi tapi berbeda nama. Serupa tak sama.

Di Aceh, kemeriahan Ramadan disambut dengan meugang, sebuah tradisi turun temurun untuk memuliakan kehadiran bulan suci dengan kemeriahan dan suka cita. Selama bulan puasa, ada juga yang melaksanakan sulok untuk memfokuskan diri di Aceh. Menjelang berbuka puasa, ada pula masjid-masjid yang mensponsori takjil khas berbuka puasa seperti kanji rumbi yang disebut sebagai ie bu.

Suasana meugang di Aceh
[Photo: Nusantara Institute]

Bagi masyarakat Aceh, meugang bukan hal yang aneh. Tidak peduli status sosialnya seperti apa, meugang seperti sudah menjadi bagian dari kehidupan. Pentingnya meugang sama dengan pentingnya kehadiran bulan Ramadan itu sendiri. Makanya, meskipun berada di negeri orang, meugang tetap dilaksanakan meski alakadarnya dan kemeriahan berbeda.

Saya sendiri ketika berada di Beijing masih menerapkan budaya meugang ini. Saya akan belanja, membeli daging, memasak, dan mengundang beberapa bestie untuk makan bersama. Tentu saja mereka senang karena bisa mencicipi hidangan Indonesia. Sementara saya, senang sekali bisa merasakan keindahan dan kebersamaan meugang meski tidak bersama keluarga sendiri.

Budaya meugang sudah mentradisi sejak zaman kerajaan Aceh pada masa silam. Sudah bukan rahasia kalau kerajaan Aceh di masa lampau sangat makmur sentosa, kan. Dulunya kerajaan Aceh akan menyembelih hewan dalam jumlah banyak untuk dibagikan kepada masyarakat. Tujuan meugang sendiri dilakukan sebagai wujud rasa syukur  dan ungkapan terima kasih atas kemakmuran negeri dalam menyambut hari-hari besar Islam.

Pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M), tradisi meugang diawali dengan memotong sapi, kerbau, kambing, ayam, serta bebek. Tradisi meugang dilakukan dua hari sebelum Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Nilai religius yang dibangkitkan dalam tradisi meugang adalah saling berbagi dan bersedekah untuk sesama. Makanya, tradisi meugang disebut juga sebagai tradisi memasak daging dan menikmatinya bersama keluarga dan anak yatim piatu dalam masyarakat Aceh.

Pada masa Sultan Iskandar Muda, saat meugang juga dibagikan sembako dan kain untuk masyarakat yang kurang mampu. Untuk bagian ini, sudah mulai jarang yang melakukan, kecuali saat mendekati Idul Fitri dan itu terhitung sebagai THR. Bukan THR yang diberikan oleh pemerintah kepada ASN, lho, tapi yang diberikan oleh masyarakat yang ekonominya lebih baik kepada yang kurang beruntung.

Pada masa itu, semua orang kurang mampu menjadi tanggung jawab sultan. Sultan yang akan memberi dan memberikan kebahagiaan kepada rakyatnya. Bahkan ada qanunnya sendiri, lho. Namanya Meukuta Alam.  Pada Bab II Pasal 47 tersebutkan, “Sultan Aceh secara turun temurun memerintahkan Qadi Muazzam Khazanah Balai Silatur Rahmi  yaitu mengambil dirham, kain-kain, kerbau dan sapi dipotong di hari meugang. Lalu dibagi-bagikan  daging kepada fakir miskis, dhuafa, dan orang berkebutuhan khusus.”

Sampai sekarang masih ada tradisi meugang dan berbagi kepada fakir miskin. Namun tidak semua beruntung dapat melaksanakan meugang dengan meriah seperti gambaran dari masa lalu.

Di keluarga saya, para tetua masih sangat semangat untuk menyambut bulan Ramadan dengan meugang. Namun generasi-generasi milenial dan zillenial yang lama hijrah ke provinsi tetangga, ada yang mulai meninggalkan tradisi ini karena berpikir ribet dan biaya yang akan dikeluarkan juga tidak sedikit.

Olahan daging untuk disantap bersama keluarga
[Photo: Search by Google]

Untuk melaksanakan meugang biasanya satu keluarga akan membeli minimal sekilo daging. Kisaran harga daging sapi atau kerbau tahun ini mencapai Rp 190 ribu perkilogramnya. Angka ini cukup fantastis untuk yang berpenghasilan di bawah UMR. Belum lagi persiapan memasak dan bahan tambahan.

Akan tetapi, bukan tidak ada keluarga yang mempersiapkan meugang ini jauh-jauh hari. Ada yang hanya membeli daging dengan jumlah sedikit, terpenting tradisi meugang ini tidak terbuang karena tujuannya bukan untuk berfoya-foya. Ada pula yang mengganti daging sapi atau kerbau dengan daging yang lebih murah seperti ayam atau bebek.

Tujuan meugang adalah makan daging bersama dengan keluarga sebelum menyambut bulan suci Ramadan. Jadi, tidak ada batasan harus mengolah daging apa. Selama daging itu halal, tradisi dan kesucian meugang akan tetap terasa dalam budaya keluarga Aceh.

Hmm, kira-kira apakah tradisi meugang ini suatu saat akan menghilang dari budaya masyarakat Aceh, ya?

Posting Komentar

0 Komentar