Ayah dan Cerita Salju Pertama (Part 2)

 Menjelang maghrib di hari perbincangan dengan Ayah, saya mendapat telepon dari ibu kos. Rasanya agak aneh ibu kos menemepon saya usai maghrib. Biasanya hanya pesan teks untuk menanyakan sesuatu. Seperti situasi terkini di kos, calon penghuni kos baru, sampai meminta kami patungan untuk memperbaiki rumah atau benda-benda yang kami pakai bersama di rumah.

Malam itu ibu kos mengamuk. Mengatai saya dengan koleksi kosa kata yang menyakitkan. Intinya beliau merasa saya menipu selama dua tahun. Kalimat yang paling saya ingat hanya sebaris kalimat panjang, “ternyata selama ini saya menampung pembohong. Kamu bukan sedang mencari beasiswa dan kuliah. Kamu bekerja dan jadi mata-mata. Saya kecewa dan menyesal sekali sudah menampung orang yang salah. Penghuni sebelumnya penggoda suami orang, penghuni sekarang mata-mata.”

[Photo: Pexels | Ketut Subiyanto]


What?

Antara ingin tertawa dan tersakiti hati, saya harus menerima cerita itu. Emosi saya yang masih labil menolak perkataan ibu kos. Saya menjawab, “saya tidak berbohong, Bu. Saya memang sudah selesai kuliah S1, saya sedang kuliah juga. Kuliah SPU sambil bekerja. Apa salah saya kuliah sambil bekerja sambil mencari peluang beasiswa S2?”

“Tidak bisa. Saya tidak bisa menerima orang yang bekerja. Saya tidak mau menerima orang yang kuliah sambil bekerja. Nanti orangtua kamu nyalahin kami!”

Serius! Perbincangannya mulai tidak nyambung. Sudah saatnya mengakhiri dengan kabar baik, “tidak apa-apa kalau saya tidak boleh tinggal di sana lagi, Bu. Saya juga sudah mendapatkan asrama lain.”

“Bagus! Dimana? Siapa yang mau memberi kosan untuk yang sudah selesai kuliah?”

“Saya akan lanjut S2, Bu. Ke China,” ungkap saya akhirnya. Antara ingin membuktikan bahwa saya memang serius mencari peluang dan bentuk perlawanan bahwa tanpa kosan beliau saya bisa mendapatkan yang lebih baik.

Emosi yang tadinya meledak-ledak perlahan redam. Ibu kos bertanya banyak hal. Saya pun menjawab sekedar dan sejujurnya. Sampai percakapan di telepon berakhir. Sebelum tidur, saya menerima sebuah pesan teks dari penghuni rumah bawah, yaitu adik ibu kos.

“Fa, kata Maya mau kuliah ke China? Kapan balik? Kita ngebakso dulu, yuk, sebelum berangkat.”

Damn! Saya baru sadar. Informasi tentang saya bukan bocor dari orang lain. Mungkin saya pernah keceplosan kepada adik ibu kos yang sangat friendly. Justru sayalah yang menempatkan diri di posisi bahaya.

Saya tidak membalas lagi, tetapi memilih tidur dan berharap esok lebih baik.

(*)

Saya tiba di Banda Aceh menjelang Subuh. Kos sepi, berdebu, dan beraroma pengab. Teman kos tidak kembali selama bulan Ramadan. Apalagi mereka libur kuliah. Saya memilih tidur sebentar, lalu bersiap untuk mengurus ini itu di Rumah Sakit, lab Dinas Kesehatan, dan mengirim semua berkas.

[Photo: Pexels]

Rasanya lelah sekali. Lebih melelahkan lagi saat mengecek rekening, tapi tabungan pas-pasan. Sangat pas-pasan. Satu-satunya cara untuk meringankan biaya pembelian tiket adalah dengan menagih utang.

Saya mengecek satu persatu nama di binder ukuran A6. Beberapa nama dengan nominal pinjaman sudah terlalu lama meminjam uang. Sebenarnya meminta bukanlah bakat saya, apalagi saya tipe nggak enakan walau milik sendiri. Hari itu saya nekat meminta. Setelah hari itu, saya mengakui satu pernyataan tentang silaturahmi. Uang akan memutuskan silaturahmi.

Tidak ada yang mengembalikan sampai waktu yang saya tunggu. Bahkan ada yang tidak mengangkat telepon sama sekali. Tidak membalas pesan juga. Lebih menyebalkan, ada yang memblokir saya. Hasil kalkulasi dari catatan, total uang saya yang menyebar sekitar Rp 8 jutaan. Sayangnya sampai Ayah mengirimkan modal untuk urus visa, beli tiket, dan modal awal ke China tidak ada ada yang mentransfer uang saya.

Ada pula yang berbohong mengatakan sudah mentransfer, tapi struk tidak keluar. Saya khusus mengantri setengah harian ke bank untuk cetak rekening koran. Melihat arus keluar masuk rekening saya. Sampai customer service bank berkata, “kalau dia memang ada transfer, sudah tercatat di sini. Sekalipun transferannya error, tetap tercatat di kita, Kak.”

Fix! Urusan dunia sudah merusak semuanya. Bahkan sampai sekarang komunikasi dan silaturahmi kami pun sudah terputus. Beberapa kali saya hubungi si teman untuk menyambung silaturahmi, bukan menagih hutang, si teman tidak merespon. Namun sejak itu, kami tidak pernah bertemu lagi.

Visa saya baru selesai seminggu sebelum berangkat. Semua dokumen dikirim melalui ekspidisi overnight yang memakan biaya tidak sedikit. Paginya saya mengambil paspor ditemani sepupu, berlanjut membeli tiket di waktu mepet dengan daftar ulang. Sejujurnya, saya merasa sedih saat melepaskan jutaan rupiah ke tangan travel agent.

[Photo: Pexels]

Kegalauan saya berlanjut saat jelang keberangkatan. Saya bingung antara harus pulang untuk berpamitan atau langsung melanjutkan penerbangan. Sebagian besar barang sudah saya bawa pulang ke kampung dengan armada L300. Sebagian lagi saya jual. Buku-buku dan sebagian besar ikut pulang kampung, pecah belah dan sepatu serta tas saya tinggalkan di kos untuk generasi selanjutnya yang membutuhkan.

Tiga hari sebelum berangkat kegalauan saya meningkat. Satu sisi saya ingin berangkat, di sisi lain hati saya tidak rela. Seperti ada sesuatu yang menahan saya, tapi tidak tahu apa yang membuat saya tertahan.

Saya memutuskan pulang ke kampung dulu untuk pamitan, tidak lupa membeli buku Ranah 1 Warna yang baru terbit. Buku ori seperti keinginan Ayah. Saya ingin menyerahkan langsung kepada Ayah tanpa perantara. Cukup satu hari di kampung, kurang dari 24 jam.

Ayah menerima buku dengan senang, tetapi sedih hati melepaskan anak gadisnya merantau. Ayah sudah biasa melepas saya bepergian. Kali ini berbeda, jaraknya jauh. Negeri yang asing dan tanpa didampingi siapapun. Tidak ada pula teman berangkat. Saya benar-benar bertarung dengan label woman solo traveler ke Beijing.

Tiga jam sebelum berangkat kembali ke Banda Aceh, Ayah duduk di teras menemani saya makan bubur kacang hijau. Ayah menasehati saya banyak hal. Perkara iman, pertemanan, makanan, belajar, dan output setelah kembali dari China nantinya. Berulang kali Ayah mengingatkan agar tidak fokus pada nilai di atas kertas. Fokus pada sesuatu yang bisa diaplikasikan ketika saya kembali ke tanah air.

“Lulusan luar negeri banyak, tapi hanya sedikit yang bisa membawa dirinya dalam masyarakat. Bisa bekerja dan benar-benar dipakai ilmunya,” kata Ayah malam itu.

Menit berikutnya Ayah kecewa karena saya mengatakan akan berangkat malam itu juga. Penerbangan saya ke Kuala Lumpur hanya beberapa jam dari perbincangan kami. Ayah sedih, tapi saya merasa keputusan kembali dan bertemu Ayah selama beberapa jam saja adalah keputusan tepat.

[Photo: Pexels | Sultan Raimosan]

Ayah mengantar saya hingga ke pintu L300 yang menjemput pada pukul sembilan malam. Saat berpamitan, Ayah memeluk saya lama. Ayah juga menangis. Ini benar-benar situasi di luar dugaan. Seperti kebanyakan budaya orang Asia lainnya, tidak ada ungkapan I love you yang diutarakan lewat kata-kata. Pelukan Ayah juga terasa canggung karena orang Asia hampir tidak mengungkapkan perasaan dengan cara ini.

Sepanjang perjalanan saya menangis. Tidak tahu mengapa air mata sangat luwes keluar dari pertahanan. Ini bukan perjalanan pertama, tapi saya merasa perjalanan kali ini sangat berat.

 

(B E R S A M B U N G)

Posting Komentar

0 Komentar