Ayah dan Cerita Salju Pertama (Part 1)

 Salju. Bagi orang-orang Indonesia, salju tentu sesuatu yang menakjubkan. Yach, karena di Indonesia tidak ada salju. Negeri tropis ini memang memberikan jutaan ketakjuban bagi orang dari negeri empat musim, tapi tidak bagi kita yang berdiam di Indonesia. Salju salah satu alasan yang membuat orang-orang di Indonesia kurang menikmati perubahan musim di Indonesia. Perubahan musim? Palingan hujan dan kemarau saja.

Sama seperti kebanyakan orang, meskipun tidak begitu ngebet saya juga salah satu dari deretan para manusia yang ingin melihat salju. Terutama salju pertama di sepanjang tahun. Saya pernah membaca di salah satu seri komik Topeng Kaca yang ditulis oleh Suzue Miuchi, salju pertama akan memberi keberkahan dan keberuntungan dalam hidup. Tentu saja tidak bisa diambil sepenuhnya sebagai kebenaran. Ideologi saya dan Suzue sensei berbeda.

[Photo: Pexels]

Bagi mahasiswa Indonesia yang memiliki kesempatan kuliah di negeri empat musim, sudah bisa dibayangkan postingan musim dingin pertama mereka terlalu excited dengan salju. Saya juga merencanakan hal serupa, tapi ternyata takdir berkata lain. Desember yang katanya seputih cinta justru berubah duka buat saya. Salju pertama meleleh bersama air mata. Sesuatu yang tidak bisa saya percayai justru terjadi di hari salju pertama turun dari langit Beijing.

Saya masih ingat beberapa minggu sebelumnya. Akhir Juli 2013, saat saya dan Ayah masih bercerita tentang melanjutkan kuliah S2. Mimpi saya melanjutkan kuliah mulai redup karena tahun 2012 Ayah terserang stroke ringan. Separuh tubuhnya lumpuh selama 21 hari. Dua minggu di rumah sakit, kemudian Ayah kembali ke rumah. Mengikuti saran dokter fisioterapi dan juga adik kandungnya yang seorang dokter. Minggu ketiga setelah stroke menyerang ayah kembali bisa berjalan. Fungsi geraknya sudah kembali.

Semuanya butuh proses. Keseriusan Ayah dalam menyembuhkan diri sendiri cukup tinggi. Ayah bisa bekerja seperti biasa. Sayangnya, justru mimpi saya yang lumpuh. Tidak ada lagi niat besar untuk mengejar beasiswa ke negeri impian seperti Jepang, United Kingdom atau Switzerland. Saya selalu mencari alasan setiap ayah bertanya.

Switzerland [Photo: Pexels]

Di awal tahun 2013, Ayah tetap mendorong saya untuk mengajukan permohonan beasiswa. Kemana saja. Satu kalimat yang membuat kembali menjadi scholarship hunter adalah, “kamu takut Ayah mati dan tidak mencari beasiswa. Jadi, kalau Ayah tidak mati-mati, kamu tidak akan melanjutkan kuliah?”

Kalimat itu seperti tamparan untuk rapuhnya mental saya saat itu. Berbekal semangat juang bersama teman-teman alumni Sarjana Purna Ulama (SPU), saya mengajukan beasiswa ke negara-negara terdekat. Bukan ke negara impian lagi. Sekedar mengajukan tanpa berharap lebih.

Awal September 2012, saya mendapat kesempatan mengunjungi dan belajar sebentar di Xiamen University, China. Kampusnya cukup indah di tepi pantai. Arsitekturnya juga menarik. Lingkungannya asyik. Xiamen University dan cerita para alumni dari berbagai kampus di China yang saya temui pada kegiatan itu menjadi referensi untuk memilih kembali China sebagai tujuan kuliah. Akhirnya saya memilih mengajukan beasiswa ke China.

Tidak ada ekspektasi untuk lulus. Pikiran saya terfokus pada Ayah. Bahkan saya tergoda untuk kuliah di Negeri Jiran setelah mendengar cerita teman-teman yang kuliah di sana dengan biaya mandiri. Saya langsung terpikir untuk kuliah di Malaysia sambil bekerja dan menabung. Lalu membawa Ayah berobat ke Penang. Ayah pernah meminta untuk dibawa ke Penang jika umur panjang.

Di bulan Ramadhan yang jatuh pada Juli 2013, doa Ayah agar saya melanjutkan kuliah dengan beasiswa terkabul. Saya masih ingat dengan jelas pada tanggal 25 Juli 2013 nomor telepon kode area Jakarta menghubungi sebanyak tiga kali. Saya sedang cuci piring dan tidak mendengar SNSD melantunkan lagu Diamond sebagai nada dering.

[Photo: Pexels/Suzy Hazelwood]

Saat memutuskan menelepon kembali, sedikitpun tidak terpikir itu telepon dari Kedutaan Besar Republik Rakyat China. Saya pikir mungkin saja dari salah satu media berbasis di ibukota mengabarkan salah satu cerpen saya dimuat dan mereka minta data untuk mengirimkan honor. Ternyata yang menyambut adalah salah satu staf dengan bahasa mandarin. Terpaksa saya jawab dengan bahasa Inggris karena bahasa mandarin saya juga limited edition.

Dari semua penjelasannya saya hanya menangkap satu kalimat penting, “I have sent you the information about your school. Please check your email and apply for visa.”

Hanya itu. Karena pada menit selanjutnya otak saya seperti berhenti bekerja. Sampai telepon diakhiri saya masih tidak percaya dengan pembicaraan kami. Masih terlintas pertanyaan penting di kepala, “ini maksudnya saya dapat beasiswa kah?”

Hari itu juga saya mencari warnet yang dikuasai oleh anak-anak yang candu game online. Jaringan lelet, komputer aneh. Selama dua jam saya menemukan email yang dimaksud berisi admission notice dan form Visa JW-22 dari Kedubes China. Saya harus mengisi semuanya untuk mengurus visa. Artinya saya harus kembali ke Banda Aceh sesegera mungkin.

Ayah memberi izin setelah mengusap air mata berulang kali. Kondisi bahasa Inggris saya yang pas-pasan dengan percaya diri mencoba menerjemahkan admission notice untuk Ayah dengan bahasa yang gampang dipahami. Padahal Ayah punya kemampuan bahasa asing yang boleh lah. Kalau traveling ke luar negeri juga tidak akan tersesat.

Saat itu saya merasa kalau Ayah senang mendapat kabar kelulusan saya lulus kuliah S2 di luar negeri, tapi di sisi lain Ayah juga sedih. Setiap waktu Ayah duduk dekat saya, mengamati aktivitas saya, lalu termenung. Matanya berlinang-linang. Terkadang sekedar menemani saya membaca novel terjemahan.

[Photo: Pexels]

Saat saya membaca Sastra Korea karangan Jung Eun Gwol yang berjudul The Moon That Embrace The Sun ayah berpesan, “belajar bahasa yang serius. Kalau pun kamu tidak bekerja di luar rumah, kamu bisa menjadi penerjemah buku di rumah.”

Saya hanya mengangguk. Waktu itu saya hanya merasa Ayah sedang baperan karena harus melepas anak gadisnya merantau ke negeri yang teramat jauh. Bisa dikatakan China adalah salah satu daftar perjalanan Ayah yang belum terwujud. Tembok China dan salah satu pusat peradaban terlama yang pernah ada di muka bumi.

Lantas Ayah mengambil dua novel A. Fuadi yang berjudul Negeri 5 Negara dan Ranah 3 Warna. Ayah bertanya, “apakah kamu merasa kecewa lulus ke China?”

Saya menjawab, “Saya mau Jepang.”

“Semua orang ingin ke Australia, Eropa, Amerika, Jepang, dan negara hebat lainnya. Terkadang kita tidak paham hikmah mengapa berada di negara yang tidak kita inginkan. Di sana, kita belajar dengan cara kita untuk melihat negara orang lain. Misalnya saja dengan memahami karakter umum orang Jepang. Setelah siap, baru Allah memberi jalan untuk menuju ke negara yang kita mau,” tutur Ayah.

Saya mengangguk-angguk saja. Ayah membaca lagi novel Ranah 3 Warna. Entah untuk keberapa kalinya, tapi ini sudah berulang kali dibaca oleh Ayah. Tanpa harus bertanya, saya tahu penulis Indonesia favorit Ayah adalah A. Fuadi dan Habiburrahman El-Shirazy.

“Nggak enak, ya, baca buku bajakan. Kualitasnya bikin sakit mata,” celoteh Ayah tiba-tiba. Sebenarnya ini teguran karena saya suka sekali membeli buku bajakan seharga Rp 30 ribuan di pasar. Ayah melanjutkan, “memang benar. Untuk membeli buku ori harganya mahal. Tapi mahakarya itu memang harganya mahal. Dari cara membeli kita belajar menghargai.”

Speechless. Saya sepertinya harus membiasakan diri dengan perubahan emosi Ayah dan koleksi kalimatnya yang tidak biasa.

 

(B E R S A M B U N G)

Posting Komentar

0 Komentar