Evelyn, Kisah Gadis Kecil Nan Malang

 Pertama kali Evelyn tayang di platform membaca berkurasi Cabaca, ekspektasi sebagai pembaca tentu novel ini akan sebagus pendahulunya. Tagled Of Vow yang mendulang sukses sebagai cerita favorit bertahan di Cabaca juga bergenre teenlit. Sama seperti Evelyn. Ilustrasinya menggambarkan anak kecil menangis dengan tangan hitam yang mencuat dari tanah seperti menakuti si anak. Hal pertama yang terlintas adalah penculikan.



Ini bukan cerita penculikan yang murni penculikan seperti yang terbayangkan. Ini adalah cerita tentang sibling rivalry, menurut author’s note yang ditulis oleh Honey Dee di akhir cerita tiga bab pertama. Bab pertama sampai ketiga yang tidak berbayar, uraian dan gerak cerita terasa sangat berat. Sama sekali tidak menggairahkan untuk membaca.

Di sini sebenarnya ujian membaca buku-buku Honey Dee, ada pembaca yang mengatakan ngebosanin.  Padahal dia belum memasuki bab dimana setiap kata terasa mengalir, edukasi yang diselipkan terasa menggigit, dan setiap karakter sangat hidup sampai kita mulai berempati pada si tokoh rekaan. Begitupun dengan Evelyn, tiga bab pertama terasa berat. Akan tetapi, pada bab keempat dan selanjutnya justru nagih banget.

Progres membaca sempat terhambat saat membaca. Bukan karena nggak tega membaca adegan yang terjadi pada Evelyn atau Beverly, tapi kehabisan kerang. Satu bab dibandrol dengan harga 30-35 kerang. Ini harga yang lumayan sebenarnya. Sampai-sampai saya yang nggak pernah tongkrongin jam baca nasional yang diadakan oleh Cabaca sehari dua kali ikutan tongkrongin jam baca gratis demi unlock bab berbayar Evelyn.

Usaha saya cukup worth it, sih. Pada bab-bab selanjutnya saya mendapatkan sesuatu sesuai dengan ekspektasi. Tema persahabatan yang ditawarkan di novel Evelyn ini terasa banget. Kehidupan remaja dan karakter Beverly yang masih remaja itu juga dapat banget warna warninya. Belum lagi sisipan unsur mental health yang jadi perbincangan di kalangan remaja sekarang. Wah, memang recommended banget untuk pembaca yang ingin baca teenlit bukan sekedar teman duduk saja.

Evelyn berporos pada si tokoh utama dengan penceritaan sudut pandang pertama dari tokoh Beverly. Beverly ini merasa kehilangan kasih sayang orangtuanya sejak Evelyn lahir. Dia yang paling lucu, paling ngegemesin, paling segalanya. Itu yang dipikirkan oleh Evelyn tentang adiknya. Sampai suatu hari dia merasakan ada keanehan dari sikap Om Tyo, adik kandung ayahnya yang terlalu ‘sayang’ kepada mereka.

Evelyn mulai merasakan keanehan sejak dirinya yakin dirinya digerayangi oleh sang paman. Belum lagi ketika melihat si kecil Evelyn yang polos ternyata sudah menjadi korban. Sebagai kakak yang sudah paham soal anggota tubuh dan dampak yang terjadi, Beverly mengedukasi adiknya dengan penjelasan yang sederhana untuk menolak jika Om Tyo mencoba mendekatinya lagi. Penjelasan Beverly cukup memberi efek, karena selanjutnya Evelyn mengadukan sikap kakak lelaki Gin yang bersikap seperti Om Tyo kepada Evelyn.

Beverly tipikal cewek polos. Malah tergolong lemot dalam memikirkan dan mencerna sesuatu. Dia teledor dan introvert. Temannya hanya Gin. Belakangan muncul Dendy yang dia taksir habis-habisan tapi tidak menjanjikan pacaran ala-ala anak remaja kekinian. Bersama dengan dua orang cowok ini, hidup Beverly lumayan sempurna. Hanya kelakuan Om Tyo yang semakin error dari hari ke hari.

Om Tyo tidak hanya menargetkan Beverly. Dia juga menargetkan Gin dengan maksud yang tidak baik. Gin ini sahabat Beverly rasa saudara kembar. Kemana-mana bersama, ada apa-apa selalu saling tolong menjadi tameng. Persahabatan mereka benar-benar membuat orang merasa iri saking manisnya. Akan tetapi Gin sempat menghilang karena dia punya pacar. Kelemahan Gin adalah Beverly, dia tidak bisa say no pada Beverly ini.

Gin pula yang membuka pikiran Beverly tentang Evelyn. Dia hanya anak TK yang lucu, menggemaskan, belum bisa membedakan antara dilecehkan dan disayang. Bahkan penyesalan terbesar Beverly adalah kematian Evelyn. Saya yakin pembaca sependapat kalau Beverly salah saat kejadian menghilangnya Evelyn, tapi Honey Dee memberi sudut pandang yang positif terhadap kejadian ini. Hikmah di balik kejadian ini cukup besar dan membuat pembaca angguk-angguk kepala memembenarkan setiap kalimat Honey Dee yang dituturkan lewat Dendy.

Honey Dee meyisipkan pendidikan sex untuk remaja melalui perbincangan Beverly dan Gin. Banyak hal yang sebenarnya bisa dilakukan remaja perempuan untuk melindungi diri sendiri dari tindakan pelecehan di sekitarnya. Selama ini yang terjadi di masyarakat kita justru memaklumi atau “ah, sudahlah daripada malu mending cukup kita dan Tuhan yang tahu.” Sebenarnya tidak bisa seperti itu, justru dengan berani bersuara maka menjadi efek jera bagi pelaku dan membuat pelaku lain akan berpikir berkali lipat sebelum melakukan sesuatu yang buruk.

[Photo: Pexels]

Tindakan yang dilakukan Om Tyo pada Beverly dan Evelyn benar-benar membuka mata saya sebagai ibu dua orang anak. Meskipun anak saya laki-laki, tapi saya punya tiga orang keponakan perempuan yang terkadang memang masih diperlakukan sangat anak-anak. Misalnya saja dalam hal berpakaian masih terlalu asal-asalan.

Memang benar, dia belum baligh. Namun bukan berarti seorang anak itu bisa dipakaikan pakaian sesuka hati karena alasan di rumah hanya ada pamannya saja. Tuh, Evelyn dan Beverly menjadi korban pamannya sendiri. Bahkan ayahnya Beverly langsung memecat keluarga sau-satunya yang tersisa sebagai saudara. Padahal adik kandung, lho.

Membaca Evelyn ini benar-benar menguras emosi pembaca. Terutama bagian author’s note yang begh! Jangan tanya bagaimana saya ngebut sekaligus fokus membaca konten cerita demi mendapatkan pencarahan bagian author’s note ini. karena kalau ceritanya dilewatin dan langsung baca author’s note jadinya nggak ngena. Kurang menohok. Author’s note ini juga bacaan wajib emak-emak muda yang merasa anak perempuannya belum baligh, anak perempuannya juga ditinggal dengan orang yang tepat. Inses ini bukan sesuatu yang terdeteksi oleh dokter seperti demam, kanker, atau sejenisnya. Dampaknya yang lebih bahaya dari kanker stadium empat.

Setidaknya ada tiga kelebihan dari novel Evelyn yang bisa didapatkan oleh pembaca secara langsung. Pertama, ini buku yang bisa direkomendasikan sebagai bacaan yang berkaitan dengan psikologi remaja. Khusus untuk remaja di bangku sekolah, novel ini wajib dibaca. Kedua, kekuatan karakter yang dibangun oleh Honey Dee sangat kuat, sehingga bisa mengubah diri kita menjadi Beverly melalui sudut pandang orang pertama yang digunakan. Ketiga, Clovertown yang dibangun secara imajinasi sebagai tempat yang aman sangat membuat hati tenang hanya dengan membayangkan saja. Secara khusus, melatih pembaca untuk mengaktifkan otak kanan lebih aktif.

Tidak ada gading yang tak retak, maka secara pribadi saya pun menemukan tiga celah dari novel ini. Bukan celah yang besar, sih. Dalam kegelimangan kekuatan cerita Honey Dee, remah-remah kesalahan pasti jatuh dan tidak terlihat lagi. Akan tetapi saya menemukan dan gatal tidak menulisnyanya.

Pertama, ada sedikit kesalahan dan cacat kalau bisa disebut begitu. Setelah persidangan Om Tyo, Bevy diceritakan malas membuka ponsel. bahkan ponselnya nggak pernah di cas, tapi kok tiba-tiba dia bisa komunikasi dengan Dendy pakai ponsel? Bagian ini baca sendiri, deh.

Kedua, tokohnya satu universe. Tokoh A ada di novel ini, tokoh yang itu ada di sana. Saking berkaitannya tokoh kadang-kadang ada cerita yang terputus dan kita harus membaca di buku yang lain untuk mendapatkan kesempurnaan bacaan. Di sini saya agak merasa kesal. Tidak bisa mendapatkan seluruh cerita dalam sekali kedipan mata.

Ketiga, beberapa masalah tidak dijelaskan dengan penyelesaian yang gamblang. Padahal lumayan bikin plot twist. Salah satunya isi diary Claris yang diambil oleh Gin setelah gadis itu bunuh diri. Sepertinya kalau diungkapkan hanya satu halaman yang penting saja nggak masalah tuh, tapi kali ini kita harus menunggu di buku yang lain. Argh!

Keempat, mental health yang nanggung. Penulis memang tidak mengatakan novel ini bertema mental health. Sama sekali tidak! Namun kasus Claris ini lumayan mengambil dominasi dalam cerita jika pembaca jeli, tapi pembahasannya tanggung sekali.

Overall kisah dalam novel Evelyn ini memang sangat mengena. Apalagi jika dikaitkan dengan isu saat ini yang sedang ngehit soal predator seksual. Mereka ada dimana-mana dengan topeng siapa saja. Bisa keluarga dekat seperti Om Tyo atau tetangga seperti Adiguna kakak kandung Gin yang dikenal cerdas.

Membaca Evelyn, secara pribadi membuka pikiran saya untuk lebih aware dan hati-hati dalam menerapkan pola asuh. Sebagai ibu, saya menyadari harus mempelajari cara mengedukasi anak tentang hal-hal yang dianggap tabu disampaikan kepada anak-anak. Sex education itu bukan soal cara manstap-manstap, tapi bagaimana anak paham hal-hal yang berkaitan dengan alat reproduksinya sendiri. Apalagi anak perempuan. Jangan sampai dia menikmati perlakuan orang jahat seperti Om Tyo karena merasakan sensasi yang dia sendiri tidak paham.

Nah, kan. Kata siapa emak-emak itu nggak cocok baca novel teenlit. Baca Evelyn membuka wawasan saya juga, kok. Ini novel, lho.

Posting Komentar

0 Komentar