Hindari Urusan Servis Menyervis di Beijing!

Pada bulan Agustus 2015 saya membeli laptop di Aceh dan membawanya ke Beijing. Kapasitas yang saya inginkan untuk desain dan pengeditan film. Ya, waktu itu saya sedang getol-getolnya studi magister di jurusan International Journalism di Beijing. Kemampuan saya sangat limited dan merasa perlu mengejar segera sebelum lulus kuliah. Apalagi melihat kemampuan teman-teman saya di atas rata-rata.

Laptop adik sebelum punya laptop sendiri.
[Photo: Dokumentasi Pribadi]

Sebagai salah satu penyemangat, saya menggunakan tabungan dari uang beasiswa untuk membeli satu unit laptop dari Taiwan. Tentu saja, namanya barang baru pasti disayang setengah dead. Apalagi belinya tidak mudah. Namun karena belinya kepepet jadwal keberangkatan ke Beijing, saya tidak sempat mengutak atik untuk mendandani lagi. Termasuk memasang anti gores pun tidak sempat. Akhirnya saya memutuskan untuk memermak di Beijing saja.

Sialnya, selama lima tahun saya merasa ada yang salah dengan laptop saya. Sialnya lagi saya tidak sadar dan baru terpukul plus kesal setelah lima tahun memakai si laptop. Itu pun karena si laptop yang saya namai Lin Xiang itu sekarat. Suami saya yang mendiagnosa kesalahan fatal yang menyebabkan Lin Xiang cepat koit.

“Ini laptopnya sudah pernah dibuka, ya?” tanya suami ketika mengecek laptop saya. Waktu itu saya menyerahkan semua ‘penyakit’ Lin Xiang serta penanganannya kepada suami.

“Nggak,” kata saya.

Suami membuka dan mengecek semua keanehan yang terjadi. Beliau kurang yakin. Jadi memastikan lagi, “ini terakhir dibuka kapan?”

“Nggak pernah. Baru ini,” kata saya menegaskan. Siapa lagi yang tangannya gatal bongkar-bongkar laptop. Apalagi saya nggak paham sama sekali soal hardware. Membongkar laptop kesayangan sama saja cari penyakit.

Suami mengeluarkan hardisk dan menunjukkan pada saya, “ini bukan barang Lenovo. Ini Samsung punya.”

Dhuar! Saya speechless.

Seketika saya ingat kejadian lima tahun lalu. Kami akan mengedit film dan berencana menggunakan laptop saya karena masih baru. Masih banyak ruang kosong dan performanya juga dijamin oke. Namun ketika program Adobe Premiere dibuka sama sekali tidak seperti yang diharapkan. Kami menunggu lebih satu jam.



[Photo: Search by Google]


Akhirnya kami membatalkan mengedit menggunakan laptop saya. Kami menggunakan laptop Samsung teman saya yang sudah lemot dan penuh. Katanya masih lebih baik daripada laptop saya yang tidak jelas. Itu kejadiannya setelah kami pulang mengganti anti gores di ximen, jalan sebelah barat kampus yang dipadati dengan toko-toko beraneka dagang.

Sebelumnya teman saya pernah mengecek ketika saya meminta bantuan sebuah penjelasan untuk finishing film pendek. Dia mengatakan laptop saya sangat lelet dan kapasitasnya tidak maksimal untuk mengedit film. Lantas saya bertanya berapa kapasitas minimal untuk mengedit film.

“Enam belas giga,” katanya. Dia kemudian mengecek kapasitas laptop saya. “Pantas saja lamban. Kamu punya Cuma delapan giga.”

Saya agak merasa heran dan merasa dibohongi oleh toko laptop di Indonesia. Bagaimana bisa mereka mengatakan laptop saya 16 GB padahal yang diberikan Cuma 8 GB. Kesal sekali. Sama sekali saya tidak curiga jika laptop saya sudah dipreteli saat pasang anti gores.

Bisa? Bisa banget. Saya juga tidak curiga sama sekali karena laoban (bos toko) itu seorang perempuan. Cerdas, terampil, dan kalem. Itu kesan saya. Baik pula. Ternyata yang begitulah perlu diwaspadai di Beijing.

Ceritanya hari itu kami tidak mau memasang anti gores di chaoshi (super market) Starlight yang berlokasi di dalam kampus. Mereka sedang tidak punya stok. Lelaki pemilik toko komputer di chaoshi itu kelihatan penuh akal bulus. Lagi pula biaya pemasagannya cukup mahal. Lebih 50 RMB dan itu artinya sekitar seratusan ribu lebih. Untuk kantong mahasiswa ini sangat pricey.

Saya mengajak teman ke toko elektronik langganan di ximen. Dulu saya pernah mencari charger laptop untuk laptop Axioo kecil. Tidak ada merek Axioo di sana, tapi mereka bisa mendapatkan charger yang pas. Baru lagi. harganya juga sangat ramah di kantong. Maka kami kembali ke situ.

Sampai di toko itu, si laoban cewek bekerja cukup cekatan. Dia mengatakan kalau untuk merapikan anti goresnya akan memakan waktu lama. Dia mengatakan pada kami jika kami ingin belanja atau minum dulu boleh. Tidak perlu ditunggu. Nanti mereka akan hubungi kalau sudah selesai.

Saya bersama dua teman sekelas saya dari Thailand dan Kamboja kemudian pergi ke pasar basah. Belanja sayuran. Letaknya tidak jauh berjalan kaki. Selesai dari sana kami masuk ke toko kosmetik, beli buah, dan mampir di toko pecah belah. Kami juga menemani teman Kamboja mengintip koleksi musim gugur di sebuah brand lokal karena terpajang banner Lee Min Ho di depan toko.

Tiga puluh menit tidak ada telepon atau SMS dari toko. Harusnya mereka menghubungi setelah selesai. Saya tidak curiga. Begitu pun dua teman saya yang lain. Kami memutuskan mengecek ke toko dan menunggu di sana kalau memang harus menunggu lagi.

Tiba di sana, layar laptop saya sedang diusap-usap. Laoban cewek memang sedang mengerjakan laptop saya. Sedikit pun tidak terbersit kecurigaan karena dulu pernah memasang anti gores di Aceh dan memakan waktu lumayan lama. Hampir satu jam. Menurut teman saya asal Thailand, dia juga berpengalaman sama dengan pemasangan anti gores. Teman saya yang berasal dari Kamboja juga demikian.

Fix! Tidak ada yang curiga.

Laoban cewek mengembalikan laptop kepada saya tanpa basa basi. Sikapnya seperti biasa. Baik dan ramah. Akhirnya kami pulang setelah serah terima uang dan jasa. Siapa yang menyadari di balik senyum manis dan kecerdasannya dalam mengutak atik laptop ternyata dia malah mengerjai laptop saya.

Tidak ada satu pun dari kita yang tahu kapan nahas terjadi. Sama seperti saya. Belum sebulan, tapi laptop saya sudah ‘dicuri’ bagian dalamnya. Pantas saja butuh waktu sampai tiga puluh menit. Pemindahan data ke hardisk baru dan lain-lain memang membutuhkan waktu sedikit lama. Sementara itu kami kelayapan cari isi perut.

Jika memang harus memperbaiki laptop atau barang elektronik berharga lainnya di Beijing, pastikan kita memantau tiap gerak geriknya. Amati dan pahami apa yang dilakukan terhadap barang-barang kita. Jangan sampai sekedip mata, ternyata gerakannya lebih cepat dari siapapun.

Hal seperti ini pernah terjadi pada teman Kamboja saya. Saat itu iPhone-nya rusak bagian layar. Saya tidak mengerti dan tidak ingat jelas apa yang menjadi masalah. Dia membawa dan meninggalkan ponselnya di sana. Dua hari kemudian kami mengambil ke toko. Teman saya memang bisa menggunakan iPhone-nya kembali. Si laoban juga mengatakan tidak menggunakan barang asli untuk ponselnya. Akan tetapi rongsokan yang dikembalikan bukan lagi milik iPhone.

[Photo: Pexels]


Saya tanya pada teman, “bagaimana kamu tahu itu bukan bawaannya?”

“Tentu saja aku tahu. Aku sudah lama menggunakannya. Aku sudah menduga ini akan terjadi. Tetapi aku lebih khawatir tidak bisa menggunakan ponsel saya daripada kehilangan beberapa bagian,” jelasnya.

Dia memang kecewa. Kesal karena laoban tidak jujur. Siapapun akan merasakan hal yang sama. Terutama para pendatang seperti kami. Jadi, kalau kebetulan harus berurusan dengan ‘orang sana’ pastikan kita bisa memantau terus. Jangan terlalu yakin dengan tema lokal yang merekomendasikan. Bukan soal mereka bekerja sama dengan laoban untuk berbuat kejahatan. Namun mereka juga tidak tahu kalau si laoban bisa berbuat selicik itu.

Ya, orang lokal juga tidak tahu kapan waktu sial mereka tiba. Kebetulan sekali kalau kita jadi korban dan mereka dengan senang hati menemani kita tanpa memprediksi kejadian ini, kan? Jangan sampai hubungan baik rusak gara-gara kelicikan si laoban.

Posting Komentar

0 Komentar