Selembar Ijazah Dan Takbir Di Negeri Xi Jin Ping

 Tanggal awal Juli 2016, saya masih mengingat rasa itu. Kekosongan dan kekeringan di hati saat berkilo-kilo meter dari asrama takbir kemenangan sedang berkumandang. Saya ingin berada di sana, di antara jamaah bermata sipit atau teman senegara untuk merayakan hari kemenangan. Akan tetapi saya tidak bisa berada di sana. Banyak hal yang membuat raga saya tidak berpindah dari kamar berukuran 4x4 meter di lantai delapan.

[Photo: Search By Google]

Dalam hitungan hari semua barang akan berpindah ke cargo. Koper yang tadinya tertata rapi di atas rak buku akan turun dan terisi. Semua kenangan di kamar ini hanya saling berbisik tentang perjuangan antar penghuninya. Tentu saja, ranjang yang saya tempati akan berganti orang. Saya akan keluar asrama karena sudah menyelesaikan studi magister di kampus Universitas Komunikasi Tiongkok.

Tiga tahun yang saya jalani di negeri tirai bambu terasa baru kemarin saya sapa dengan segala rintangan mahasiswa asing. Mulai dari gagap budaya, bahasa, sulitnya makan, asmara, dan galau antara menyelesaikan kuliah atau melanjutkan satu tahun lagi. By the way, beasiswa saya sebenarnya masih sampai Juli 2017. Namun saya memilih menyelesaikan secepat mungkin agar memiliki kesempatan lebih besar untuk memperluas jaringan dan menstabilkan pekerjaan.

Tidak banyak yang bisa saya lakukan di tanah air setelah pulang. Apalagi jika dibandingkan dengan pemasukan yang saya dapatkan memang tidak setara dengan uang saku yang saya terima tiap bulan. Namun ini bukan perkara uang saja, banyak hal yang harus dipertimbangkan ke depan jika tidak mau pulang dari luar negeri berlabel pengangguran.

Saat teman-teman muslim saya memilih beramai-ramai ke masjid Niu Jie untuk mendirikan salat eid, saya memilih di kamar. Berkutat dengan berbagai dokumen dan huruf keriting kotak-kotak untuk mengirimkan berkas permohonan penyetaraan ijazah ke China Academic Degree and Graduate Education (CDGDC). Jujur saja, saya kelabakan dengan bahasa mandarin yang pas-pasan. Beruntung saya memiliki sedikit teman lokal, tapi mereka teman-teman yang loyal.

Salah seorang mahasiswa doktoral yang sedang mengambil studi Bahasa Melayu dengan kajian budaya Padang sebagai disertasi membantu saya menyelesaikan pendaftaran. Awalnya saya dibimbing oleh beliau melalui Wechat Video, kemudian beliau sendiri yang datang ke rumah asrama untuk membantu saya menyelesaikan submission. Bahkan ketika saya tidak punya uang cash dan kartu kredit untuk membayar, beliau dengan senang hati meminjamkan uangnya untuk pembayaran.

Saya langsung membayar uang beliau detik itu juga. Dari asrama saya menumpang mobilnya ke ATM di salah satu gedung area kampus. Setelah mentranfer kembali uang untuk beliau, saya diundang makan oleh Kak Melati (panggilan saya untuk beliau). Kak Melati ingin farewell lunch dengan saya di restoran etnik uyghur dekat kampus.

Berkumpul dengan teman-teman adalah salah satu cara untuk menghalau rindu di perantauan.
[Photo: Koleksi Pribadi


Kak Melati pernah tinggal di Kuala Lumpur selama setahun. Dia menjalani masa magang di negeri jiran tersebut saat menyelesaikan program S2. Saking sukanya dengan budaya Melayu, dia sangat menghayati semua hal yang dialami di sana. Termasuk tradisi berpuasa dan lebaran.

Ketika saya menghubunginya untuk membantu pengisian formulir, dia langsung datang ke asrama saja dengan mobilnya. Dia membantu melakukan pengisian dan pembayaran. Dia juga memeluk saya dan menunjukkan empati bahwa dia memahami perasaan saya.

Saya diajak ke resto muslim terdekat, kami makan-makan merayakan lebaran yang tidak bisa saya lewati bersama keluarga. Teman-teman di grup Lingkar Pengajian Beijing juga mengirimi pesan agar datang ke KBRI untuk merayakan lebaran bersama.

Jarak dari asrama ke KBRI lumayan makan waktu. Kondisi saya menyetarakan ijazah belum selesai, saya harus memprioritaskan ijazah dulu. Namun lebaran di negeri asing tanpa saudara dan orang-orang seiman yang merayakan sungguh momen yang menyedihkan sekali.

Posting Komentar

0 Komentar