Pencuri Setengah Kebun

 Peringkat 9 Lomba Menulis Cerpen Tulis.Me 2021

-o0o-

Kampung Paya Pipit heboh. Orang-orang silih berdatangan ke rumah panggung papan bercat putih gading yang mulai mengelupas bergantian. Alih-alih menghibur janda usia enampuluhan yang sedang menangis meraung, mereka lebih peduli dengan cerita yang sebenarnya. Kemudian didiskusikan dari teras ke teras dan menebak-nebak.

Sukini terdiam di rumah. Dia orang pertama yang datang berkunjung ke rumah Inen Meira. Sebelum orang-orang datang ke sana dan pulang berbagi gosip di teras rumahnya. Mendengar cerita Inen Meira diiringi isak tangis, sisi hatinya terketuk. Di sisi lain juga gelisah.

[Photo: Pexels]

Setengah kebun kopi merah lenyap dalam hitungan jam. Padahal anak bungsu Inen Meira baru saja merencanakan pemetikan kopi serempak di hari Sabtu dan Minggu. Kerugian diperkirakan sebesar tiga puluh juta. Kopi di kebun Inen Meira memang terkenal kualitasnya bagus dibandingkan dengan kopi di kebun tetangga. Almarhum suaminya mempersiapkan lahan siap panen untuk istri dan anaknya. Setahun sebelum menghembuskan nafas terakhir sebelum stroke menyerang, dia sudah persiapkan semuanya.

Siapapun tahu soal ini. Jika kebun lain dibandrol harga normal, maka kebun Inen Meira akan dibeli dengan harga lebih tinggi. Setengah kebun bukan jumlah yang sedikit, apalagi harga kopi sedang melejit.

Menjelang sore, hampir semua perempuan di kampung Paya Pipit datang mengunjungi Inen Meira. Perempuan itu masih menangis dan menyumpah pencuri setengah kebunnya.

“Tidak punya perasaan. Kalau memang mau ambil, ya ambillah secukupnya. Jangan menghabiskan semua yang kopinya sedang merah. Aku janda, mau makan apa tanpa hasil kebun,” para perempuan suka mengulang kalimat ini. Inen Meira menjadikan kalimat ini sebagai lead ceritanya.

Sukini semakin gelisah ketika tetangga yang masih memiliki hubungan saudara mengunjunginya selepas maghrib. Dia berdua saja dengan anak gadisnya yang baru pulang bekerja sebagai sales rokok.

“Mana Ipol?” tanya Yati, istri sepupu Sukini.

“Belum pulang, mbak. Sudah sejak semalam dia nggak pulang,” Sukini berkata jujur. Memang anak lelakinya belum pulang sejak semalam. Setelah dia mengantarkan sebuah amplop coklat berisi uang.

Yati menarik napas panjang. Matanya menyisir seluruh ruangan yang tidak begitu besar itu. Kemudian seunit kulkas dua pintu berwarna merah maroon menjadi perhatiannya.

“Kulkas baru, Mbak?” pancing Yati. Momennya tepat sekali, kebun Inen Meira baru kecurian, rumah Sukini terisi kulkas baru.

“Iya, Mbak. Alhamdulillah rezeki dari Pita.” Sukini menyebut nama anak perempuannya. Dia baru menerima gaji dan bonus. Makanya dia membeli kulkas baru untuk Sukini agar bisa menyetok bahan makanan seminggu sekali. Kapan dia sempat pergi berbelanja, maka dia akan belanja dan menyimpan semuanya di lemari pendingin itu. sukini tidak perlu repot untuk menunggu penjual sayur keliling di depan rumah. Pita tidak suka Sukini terlibat gosip bersama para perempuan saat berbelanja.

“Oh, dibelikan Pita. Banyak juga gaji Pita bulan ini, ya, Mbak?” sindir Yati. Dia tahu gaji sales tidak banyak, tapi dia alpa informasi tentang bonus jika menembus target.

Sukini diam saja. Dia memang terbilang bodoh, tapi tidak terlau bodoh untuk memahami arah pembicaraan Yati kemana. Yati menuduh Ipol mencuri setengah kebun kopi Inen Meira.

“Kenapa, Mbak? Mencari Ipol? Biar saya sampaikan kalau dia pulang nanti,” Sukini mencoba mengusir Yati dengan halus.

Yati tersenyum. Pancingannya kena. “Ini, lho, Mbak. Aku mau diskusi. Kasihan sekali Inen Meira, ya. baru ditinggal tiga hari isi kebunnya sudah raib semua. Malingnya itu betul-betul tidak punya perasaan dan tidak punya otak kalau menurutku, Mbak. Kalau memang mau beli rokok, petik saja satu dua batang kan cukup. Nah, ini dia nyurinya kok nggak ingat hidup orang lain. Bisa untuk beli perabotan rumah malahan DP mobil, Mbak.”

Sukini tersenyum kecut. Tersinggung. Akan tetapi belum ada yang bisa membuktikan kalau bukan Ipol pelakunya. Sejak dulu warga kampung memang diresahkan dengan kondisinya yang pengangguran. Keluar masuk kebun warga demi sebungkus rokok dan sebotol miras. Kali ini pun hati kecilnya tidak bisa menolak jika bukan Ipol pelakunya. Hatinya mengatakan Ipol terlibat.

“Mbak, kita kan sama-sama tahu bagaimana kondisi Ipol. Dia juga sudah sering membuat ulah di kampung ini. Saya nggak nuduh, lho, Mbak. Cuma menyarankan untuk meminta Ipol jujur. Kalaupun uangnya tidak bisa dikembalikan utuh, sebaiknya mengaku saja. Kasihan Inen Meira.” Yati menambahkan. Tepat sasaran untuk menuduh.

“Kenapa Mbak Yati tega sekali langsung menuduh Ipol pencurinya,” mata Yati berkaca. Hanya hitungan detik, bulir bening berjatuhan. Bagaimanapun dia tidak rela anaknya dituduh sebagai pelaku pencurian di kebun Inen Meira.

“Saya tidak menuduh. Saya dan Mbak Sukini kan saudara. Sebagai saudara apa salahnya saya mengingatkan, Mbak. Apalagi kita juga semua tahu kalau Ipol bukan sekali dua kali masuk kebun orang untuk cari uang rokok,” Yati memperjelas tuduhannya.

“Makasih, Mbak. Saya ibunya Ipol. Saya tahu Ipol tidak akan sejahat itu.”

“Iya, saya mengerti. Mana ada ibu yang mau mengaku anaknya rusak, Mbak. Sudah, ah. Saya pulang dulu. Cuma mau ingatin, warga tidak akan tinggal diam. Mereka akan terus memantau Ipol. Kali ini kalau Ipol ketahuan dia akan diusir atau dimasukkan ke penjara, Mbak. Lebih baik mengaku sebelum warga ambil sikap.” Yati beranjak bangun. Pamit sekedarnya dan meninggalkan rumah Sukini.

Selepas Yati pergi, Sukini menangis meraung. Memanggil-manggil Ipol dan meratapi kemiskinan yang menimpanya. Di dalam kamar, diam-diam Pita menangis dan berdoa. Semoga abangnya segera bertaubat dan mengakui kejahatannya.

---

Tiga hari sudah Ipol tidak pulang ke rumah. Bukan Yati saja yang datang ke rumah Sukini. Beberapa orang warga dan perangkat desa juga datang silih berganti. Mereka menanyakan keberadaan anak sulung Sukini. Setiap hari Sukini memberi jawaban yang sama. Beban mentalnya pun bertambah. Asam lambungnya naik.

“Dia belum pulang lagi, Pak,” Sukini menjawab ketika kepala desa datang berkunjung.

“Kalau sudah pulang, kabari saya, Bu. Masalah ini bisa kita selesaikan baik-baik selama dia mau bekerja sama.” Bapak kepala desa berkata.

“Kenapa bapak juga ikut menuduh anak saya?” air mata Sukini tidak tertahan bertanya ini.

“Saya tidak menuduh, Bu. Mau bagaimana lagi, semua warga curiga kalau Ipol memang pencurinya. Kita akan buktikan kalau Ipol bersalah atau tidak setelah dia datang ke kantor desa nanti.”

Sukini kembali menangis begitu kepala desa meninggalkan rumahnya. Kalau dia bisa menghubungi Ipol, dia akan memohon pada anaknya agar tidak pulang ke rumah. Dia tidak akan tega jika harus melihat anaknya babak belur diamuk warga.

---

Kopi di kebun Inen Meira terus lenyap. Tidak lagi bertumpuk setengah kebun seperti seminggu lalu. Pencurinya sudah mulai memetik secara acak. Bahkan ketika Inen Meira dan anak bungsunya masuk ke kebun, mereka gagal menangkap pencurinya.

Warga semakin geram. Beberapa kebun di sekitar juga sempat dijamah oleh pencuri meski tidak banyak. Mereka mulai menyusun strategi. Mereka memprediksikan pencuri masuk ke kebun selepas Maghrib. Sore harinya mereka mengepung kebun diam-diam. Berpencar di seluruh area kebun. Mengintai dan berharap bisa memergoki Ipol dan komplotannya terang-terangan.

Beberapa warga yang pernah menjadi korban Ipol berharap bisa memberi hukuman parah untuk Ipol. Kalau memang dia ditakdirkan mati di tangan warga, mereka sudah tidak peduli.

Di bawah rimbunan kopi yang sudah dibuat sebagai tempat persembunyian, beberapa warga mulai terkantuk. Nyamuk di kebun kopi pun tidak bisa dilawan lagi dengan krem anti nyamuk. Mereka nyaris menyerah ketika mendengar suara orang berbincang dari kejauhan.

Cahaya dari lampu senter dan siluet tiga lelaki dalam kegelapan memacu adrenalin warga. Mereka bersabar tidak langsung meringkus.

Beberapa orang turun dan mendekat ke batang-batang yang buahnya merah sempurna. Tangan kasar mereka mulai memetiki cherry merah itu dengan rakus. Tidak memikirkan kesalahan cara dalam pemetikan akan berakibat fatal pada panen tahun depan.

“Aaa!!!” Seseorang berteriak. Beberapa warga langsung bertindak. Tiga orang pencuri diringkus dan diseret penuh nafsu amarah menaiki bukit. Warga menutup kepala pelaku dengan karung. Kemudian menuruni jalanan aspal yang mulai rusak.

“Hajar! Hajar! Hajar!” Warga berteriak keras. Beberapa warga yang tinggal di tepi jalan utama terbangun dan keluar. Mereka menunggu saat ini.

Kaki Sukini bergetar hebat. Kedua tungkai kakinya lemas. Jantungnya berdegup kencang. Pita menahan Sukini agar tidak keluar, tapi dia memaksa. Dia harus melihat dengan kepalanya sendiri pelaku pencurian di kebun Inen Meira. Meskipun itu putranya sendiri.

Warga membuka karung yang menutup kepala tiga pelaku pencurian.

“Alhamdulillah,” Sukini berucap dan jatuh pingsan. Tidak seorang pun pelakunya adalah anaknya.

Warga terkejut. Ketiganya berwajah asing. Anak bungsu Inen Meira nyaris jatuh terhuyung saat mengenali salah satu pencurinya.

“Bang,” katanya dengan suara parau. “Aku tidak menyangka abang pelakunya.”

Lelaki yang dipanggil abang terkekeh, “hidup ini memang penuh kepura-puraan, dek. Kau mungkin orang baik, tapi aku tidak akan bisa hidup menjadi orang baik. Menjadi orang baik cuma membuat aku lapar.”

“Kenapa kalian mengincar kebun Inen Meira?” tanya kepala desa.

Lelaki itu diam. Seorang warga meninju wajah si pencuri hingga lebam. Dia tertawa kecil. Mata sayunya melirik Inen Meira yang sedang menangis tersedu.

“Aku ingin kaya.”

Tidak ada yang bisa menerima jawaban pencuri itu. malam itu juga dia digelandang ke kantor polisi. Meskipun begitu, warga kampung Paya Pipit masih menyimpan pertanyaan dimana keberadaan Ipol yang sempat mereka curigai.

---

Desas desus pencuri setengah kebun di kampung Paya Pipit viral. Orang kepercayaan Inen Meira adalah pelaku sebenarnya. Padahal ketika anak bungsunya mendapatkan setengah kebun hilang, lelaki yang mencuri kopi di kebun mereka juga ada di sana. Dia ikut bersimpati atas kehilangan dan kerugian yang dialami oleh keluarga Inen Meira. Bahkan dia ikut menghibur Inen Meira dan menampung keluh kesah Inen Meira.

Tidak ada yang meminta maaf pada Sukini atas tuduhan yang beruntun selama seminggu. Namun Sukini lega bahwa anaknya bukan pelaku. Dia membuktikan anaknya tidak terlibat. Hatinya tidak lagi was-was.

Dua hari setelah pencuri sebenanya diringkus, menantu Yati yang seorang polisi datang ke rumah Sukini didampingi Yati. Tidak ada rasa curiga di antara mereka karena masih berkerabat. Namun kalimat menantu Yati sangat memukul Sukini. Beberapa kali lipat lebih menyakitkan daripada fitnah mencuri setengah kebun Inen Meira.

“Betul, Wak Sukini. Bang Ipol memperkosa dan membunuh janda kaya. Dia merampas hartanya. Tetangganya yang melapor. Sekarang Bang Ipol ada di sel,” kata polisi muda itu.

“Oalah, Mbak. Nggak habis-habis cobaanmu. Bebas tuduhan dari mencuri kebun Inen Meira, ternyata dia malah melakukan kesalahan lebih besar lagi. Memperkosa dan membunuh,” Yati menekan dua kata terakhir.

Sukini tidak bisa menahan isak tangisnya. Yati pamit pulang.  Dada Sukini sesak, matanya mendadak kabur. Tanpa pikir panjang, dia mengambil cairan pembasmi hama yang baru dibeli Pita dan menenggaknya sampai tandas.

Tubuhnya menggelepar-gelepar. Matanya masih bisa melihat Yati dan menantunya yang menjauh perlahan kabur. Sampai akhirnya sesuatu yang amat menyakitkan seperti menarik semua yang ada pada dirinya sampai tubuhnya menegang dingin.

---

Takengon, 15 Agustus 2021

Posting Komentar

0 Komentar