Menunggu Hilal Dan Tradisi Menonton TV

 Setiap tahun, dua hari sebelum bulan puasa tiba, di Aceh akan disibukkan dengan meugang. Ini tradisi lokal yang masih membudaya di kalangan masyarakat Aceh dan masih dijalankan oleh sebagian besar masyarakat. Orang-orang akan berbelanja ke pasar, terutama daging. Kemudian memasak dan menikmati bersama keluarga besar.

Sudah bukan rahasia lagi jika setiap rumah akan menguarkan aroma rempah olahan daging. Umumnya penggunaan bahan utama berupa daging sapi atau kerbau untuk dijadikan menu rendang. Di beberapa daerah lain juga akan ada menu tambahan yang juga bagian tradisi. Di Barat Selatan Aceh misalnya, akan ada lemang (ketan yang dimasak dalam bambu) dan tape. Dua cemilan ini termasuk makanan berat, tapi bagi masyarakat setempat bagian dari cemilan. Di dataran tinggi gayo lain lagi, ada lepat yang dijadikan menu wajib ketika meugang tiba.


[Photo: Pexels/Burak Kabapci]

Olahan daging dan cemilan tambahan ini bukan hanya dinikmati dua hari sebelum puasa. Menu ini memang disiapkan juga secara khusus untuk hari pertama puasa juga. Umumnya hari pertama puasa akan sangat lelah dan tubuh sedang menyesuaikan dengan pola makan minum yang baru. Jadi, menu yang sudah disiapkan sebelumnya sangat membantu untuk mengantisipasi segala bentuk kelalahan dalam mempersiapkan sahur dan berbuka.

Di keluarga kami dan beberapa keluarga Aceh lainnya, ada yang sangat penting dan sudah menjadi tradisi setiap tahun. Di bagian ini terlihat jelas kehadiran TV dalam keluarga seperti anggota keluarga itu sendiri, yaitu menunggu hilal dan sidang isbad yang disiarkan secara langsung dari Kementerian Agama RI. Bahkan detik-detik pembacaan penetapan 1 Ramadan seperti menunggu anggota keluarga penting di dalam keluarga inti. Dinanti dan disambut dengan sukacita.

Inilah yang menarik dari setiap keluarga di aceh khususnya. Menjelang maghrib, TV di rumah-rumah menyala dengan volume yang lebih keras. Anggota keluarga, terutama Ayah akan duduk menunggu di depan TV. Menajamkan telinga untuk mendengar kapan hari pertama puasa. Ini sudah menjadi rutinitas setiap tahun dan bagian tradisi itu sendiri.

Selalu terdengar kata “alhamdulillah” setiap keputusan yang disebutkan sama. Padahal imsakiyah sudah beredar di masyarakat seminggu sebelum Ramadan tiba. Kepercayaan keluarga Indonesia dalam keputusan Ramadan tetap berdasarkan apa yang disampaikan oleh anggota keluarga bernama TV.

Di hari pertama puasa justru cerita lain dimulai. Kami sangat semangat untuk tarawih di masjid. Semangat pula mempersiapkan berbagai macam takjil untuk berbuka. Bahkan selalu ada waktu untuk menyelesaikan lebih satu juz tadarusan. Saya pun terkadang lebih produktif di hari pertama puasa. Saya memilih tidak tidur setelah sahur. Menunggu shalat subuh sambil menarikan jemari di atas keyboard. Menyelesaikan semua tantangan di bulan ramadan.

Tayangan di TV yang mendadak sangat Islami pun selalu menjadi ruang kajian dalam analisis program TV. Tentu saja, berkaitan dengan keilmuan komunikasi, bulan ramadan menjadi lahan empuk untuk berbagai bahan kajian komunikasi dan jurnalisme. Menarik, aktual, dan terencana.

Setiap tahun pada hari pertama bulan ramadan, saya hanya mengkhawatirkan kesanggupan melewati tiga puluh hari dengan sukses. Ya, tentulah lah yaw, perempuan selalu banyak hambatannya. Selalu saja ada hal-hal yang membuat puasa tidak penuh. Apalagi untuk ibu menyusui seperti saya. Selain urusan domestik yang membuat lelah, pekerjaan kantor juga menumpuk di bulan Ramadan. Ditambah lagi urusan yang dianggap klise seperti kelelahan dan dehidrasi karena faktor menyusui.

[Photo: Pexels]

Banyak tips yang beredar dengan pencarian di google. Ada pula yang disebarkan di grup Whatapp untuk membantu menyugesti diri sendiri bertahan. Namun tetap saja, saya berani katakan itu semua teori. Pada akhirnya hanya kondisi tubuh yang sanggup membuat keputusan apakah bertahan atau menyerah.

Dalam berbagai hal, lagi-lagi TV sebagai anggota keluarga penting di bulan Ramadan selalu memberi solusi sekaligus menggoda. Berbagai iklan yang tayang khusus di bulan Ramadan mampu menggoyahkan iman anak-anak yang baru belajar berpuasa. Iklan sirup misalnya, ketika muncul di waktu-waktu jelang berbuka akan terasa sekali menyiksa bagi para anak-anak. Mereka jadi ingin berbuka dengan sirup yang muncul di TV sesegera mungkin.

Di sisi lain, program acara TV juga meawarkan berbagai solusi untuk menjalani puasa dengan sukses. Di hari pertama puasa, selain membahas keutaman berpuasa juga membahas berbagai tips untuk berpuasa. Isi ceramah dan segala tips setiap tahunnya sama. Sudah disampaikan pula dari kelompok pengajian ke kelompok pengajian lain. Beredar di grup-grup Whatapp. Akan tetapi tetap saja info dari TV yang ditayangkan berulang itu sebagai informasi terdepan.

Bertahun-tahun pula kenangan saya mencatat dalam otak bahwa menunggu hilal di TV dan memulai hari pertama puasa akan dilakukan dengan cara yang sama. Ramai-ramai di depan TV menunggu hasil keputusan 1 Ramadan. Kemudian semangat tidak tidur setelah sahur demi menyelesaikan berbagai macam aktivitas di laptop.

Hari pertama puasa seperti ini juga saya jalani ketika masih berdomisili di Beijing. Waktu itu malah lebih ekstrim, karena bulan Ramadan jatuh pada musim panas, sahur pun dimulai lebih awal dan berbuka jelang tengah malam. Saya memilih tidak tidur setelah sahur, melainkan mengerjakan hal-hal lain yang saya anggap mendongkrak kapasitas saya sebagai mahasiswa dan tukang nulis blog.

Salah satu yang mendukung kreativitas saya menulis blog selama bulan Ramadan adalah dengan mengikuti tantangan yang diadakan oleh Blogger Perempuan Network, yaitu BPN Blog Challenge. So, by the way adakah yang samaan melewati hari pertama puasa dengan saya?

Posting Komentar

0 Komentar