Objek
wisata Mendale, berisi peninggalan Sejarah dan diwarnai legenda.
Bagian depan gua Putri Pukes.
[Foto: Search by Google]
Dari
arah kota, kami berjalan ke terminal bus. Tujuan kami hanya satu. Aku dan
adikku, bocah laki-laki usia 12 tahun, ingin menuju ke masa lalu. Ulak ku sedenge. Kami ingin menyusuri
legenda ternama di Aceh Tengah. Legenda Putri Pukes.
Letaknya
tak jauh, hanya 12 kilometer dari Takengon, ibukota kabupaten. Jika ditempuh
dengan kendaraan bermotor hanya memakan waktu 15 menit.
Ada yang menyebut tarif angkutan ke sana Rp 10 ribu. Tapi tak ada rute langsung. Kami harus menumpang angkutan ke kecamatan Bintang. Ongkosnya ternyata murah, Cuma Rp 2000.
Gua
itu terletak di desa Mendale, kecamatan Kebayakan. Sepanjang jalan ke sana
banyak hal yang dinikmati. Danau Laut Tawar membentang kehijauan dan
pohon-pohon pinus berjajar. Pemandangan ini terasa menyejukkan mata.
Di
depan gua itu seorang lelaki tengah asyik menyapu. Ia kemudian memperlambat
geraknya setelah melihat ada yang datang.
Gua
ini disebut loyang, yang dalam bahasa
Gayo berarti gua. Beberapa tahun lalu ketika aku datang ke sini bersama
teman-temanku, keadaannya lebih alami. Sekarang ada macam-macam benda yang
terbuat dari beton, seperti tangan dan kaki raksasa, juga gua buatan. Penjaga
gua ini, yang biasa disapa Aman Wen, tinggal di gua buatan itu.
“Boleh
masuk, Pak?” tanyaku ketika menangkap tatapan menyelidik Aman Wen.
Seorang
pemuda keluar dari gua buatan tadi. Sebuah balee
(dipan), kompor dan periuk terlihat di dalam sana. Si pemuda sedang menjerang
air.
“Boleh,
bayar dulu,” sahutnya. Anak-anak Rp 2000. “Berdua empat ribu rupiah,”
tambahnya.
“Masuknya
nanti diantar sama Wen. Tunggu dulu, sekarang lampunya dinyalakan dulu. Di
dalam gelap,” ujar Aman Wen. Tanpa senyum. Mungkin karena kami pengunjung
pertama di Minggu pagi itu.
Kami
menunggu sekitar lima menit. Ia menyalakan genset yang dihubungkan dengan lampu
di dalam gua. Satu persatu lampu pijar 100 watt di dalam gua pun menyala.
Pemuda
itu menghampiri kami. Ternyata ia yang bernama Wen. Ia mengantar kami
berkeliling-keliling dalam gua.
“Putrinya
di bawah sana. Sudah jadi batu,” katanya.
Putri Pukes yang sudah membatu. [Photo: Search by Google] |
Suasana
di dalam gua terasa dingin dan pengap. Lampu-lampu yang menyala menghasilkan
suasana remang-remang.
“Itu
sumur tua. Setiap tiga bulan sekali akan berair. Air di sini bisa menjadi
penawar berbagai macam penyakit,” katanya, katanya serasa menunjuk ke arah
pintu masuk gua.
Sumur
itu tak seberapa dalam. Kira-kira hanya setengah meter. Dasarnya penuh batu.
Kering. Sekelilingnya dipagari bambu.
Sumur manusia purba. [Photo: Search by Google] |
Dulu
sumur ini sangat dalam. Airnya dingin dan penuh. Kini ia hanya tiga bulan
sekali memancarkan air dengan jumlah terbatas.
Wen
membawa kami ke bagian kiri gua. Sebuah batu teronggok di sana. Tingginya lebih
dari semeter. Bentuknya sudah tak jelas lagi, karena rusak dimakan usia dan
tangan jahil manusia. Jika diperhatikan dengan seksama, batu ini memang sangat
mirip manusia.
Menurut
legenda yang dituturkan dari mulut ke mulut, sang putri terus menerus
mengeluarkan air mata sehingga perutnya buncit.
Cerita
ini dimulai ketika Putri Pukes dilamar seorang pangeran. Putri Pukes berasal
dari kampung Nosar, sedangkan pangeran berasal dari sebuah kampung di Bener
Meriah sekarang.
Berdasarkan
adat setempat, seorang gadis yang sudah dipinang harus berpisah dari belah (keluarga besar) keluarga
perempuan. Ia akan pindah ke belah suaminya.
Sang gadis juga tidak diperkenankan kembali ke belah tempat ia dilahirkan.
Sebelum
berangkat menuju rumah keluarga suaminya, pihak keluarga perempuan
menyelenggarakan adat untuk melepas Putri Pukes. Ia diberi amanah untuk
mengabdi kepada suami dan keluarga barunya kelak. Bapak dan Ibunya juga
berpesan agar Putri Pukes jangan sekali-kali menoleh ke belakang saat melakukan
perjalanan.
Diiringi
isak tangis keluarganya, rombongan Putri Pukes pun berangkat ke kampung
suaminya. Perjalanan mereka menempuh waktu dua hari. Namun kerinduan putri
terhadap keluarganya tak terbendung. Ia lupa akan pantangan dan pesan kedua
orang tuanya. Tanpa sengaja ia menoleh ke belakang.
Tiba-tiba
petir menyambar. Hujan turun deras. Putri Pukes dan rombongan segera mencari
perlindungan. Mereka berteduh di dalam gua.
Ketika
hujan dan badai berhenti, rombongan ini berencana melanjutkan perjalanan. Tapi
Putri Pukes menghilang. Semua mencarinya. Beberapa orang masuk lagi ke dalam
gua. Saat itu mereka terkejut mendapati Putri Pukes telah menjadi batu.
Para
pengantar pengantin ini segera memberitahu suami Putri Pukes. Menurut adat
waktu itu, rombongan pengantin laki-laki tidak boleh bergabung dengan rombongan
pengantin perempuan. Bahkan antara pengantin laki-laki dan perempuan tidak
boleh berjalan beriringan.
Sang
pangeran sangat terpukul saat tahu istrinya telah menjadi batu. Ia menangis dan
meratap.
“Untuk
apa aku hidup. Sekarang apa artinya aku hidup jika Putri Pukes telah tiada.
Lebih baik aku juga menjadi batu,” kata pangeran. Ia pun menjadi batu.
Begitulah
akhir cerita legenda itu.
“Suaminya
ada di atas gunung. Sekitar 200 meter berjalan ke atas,” kata Wen.
Di
dinding gua, tepat di depan Putri Pukes ada tapak manusia zaman purba.
Ukurannya sekitar lima atau enam kali ukuran kaki manusia sekarang.
Sebuah
lesung terletak tak jauh dari situ. Masyarakat setempat percaya bahwa itu milik
rombongan Putri Pukes.
Beberapa
langkah di muka kami terlihat tempat bertapa. Sebuah batu dengan permukaan
datar.
Kami
sampai di muka sebuah lorong sempit gelap.
“Itu
dene (jalan) menuju tempat Putri
Pukes. Sekarang jalannya sudah sempit. Jadi kita tidak bisa masuk lagi melewati
jalan ini jika mau ke tempat suaminya,” tutur Wen.
Ia
mengambil batu, lalu mengetuk-ngetuk salah satu langit-langit gua yang
menonjol.
“Ini
pentungan yang digunakan orang zaman dulu. Fungsinya seperti pentungan,” kata
Wen.
Orang-orang
zaman purba memukul-mukul pentungan untuk mengumpulkan warganya.
“Lihat
saja.. bunyinya berbeda kan?” katanya.
Ia
mengetuk-ngetuk bagian langit-langit yang lain, menunjukkan perbedaan bunyi
itu.
Sebuah
batu tegak di bawah pentungan tersebut. Bentuknya seperti monyet berkacak
pinggang.
Monyet sesembahan manusia purba. [Photo: Search by Google] |
“Orang
zaman purba menyembah monyet ini,” kata Wen, lagi.
Kami
beralih ke bagian lain gua. Kami menuruni dua undakan. Wen berjongkok. Ia
meraih sesuatu dari permukaan tanah yang lembab.
“Ini
kapak dari zaman megalitikum,” ujarnya. Bentuknya percis kapak batu yang saya
lihat di buku pelajaran sejarah di sekolah menengah dulu.
Kapak
itu telah patah jadi tiga bagian. Perlahan ia meletakkan benda tersebut ke
lantai gua. Sangat hati-hati. Sepertinya ia takut merusak peninggalan sejarah
ini.
Ia
membawa kami melangkah beberapa meter lagi. Sebuah batu dengan bentuk rumit
tergeletak di hadapan kami.
“Ini
namanya batu Seribu Khayal,” katanya.
Bentuknya
memang unik sekali. terkadang batu itu terlihat seperti ikan, kelinci, harimau,
dan banyak lagi.
“Semua
tergantung pada kita bagaimana melihat dan menilai bau tersebut. Apa yang kita
khayalkan, maka itulah yang terwujud,” ujar Wen.
Wen
kemudian melangkah ke arah pintu gua. Kami mengikutinya. Di depan pintu ia berhenti.
Tangannya meraba dinding. Sesuatu yang jelas sekali tampak di dinding gua.
Bentuk ular yang telah membatu. Legenda juga meliputi batu ular ini: ia bertapa
ratusan tahun di dalam gua dan menjadi penjaga gua, sebelum mati dan menjadi
batu.
Sebelum
keluar gua, aku sempat melihat pengumuman yang tertempel di dinding. Tarif
masuk untuk wisatawan. Tarifnya beragam. Untuk anak-anak Rp 2000, dewasa Rp
3000, dan wisatawan mancanegara (wisman) Rp 5.000.
Di
luar gua, berseberangan dengan jalan, kemolekan Danau Laut Tawar membentang.
Menurut cerita penduduk setempat, jika air surut akan terlihat deretan
batu-batu. Itulah jalan yang menjadi jembatan Putri Pukes dan rombongannya
menyeberangi laut tawar ketika hendak menuju rumah keluarga suaminya.
Dari
muka gua, kita bisa memandang jauh ke atas bukit. Sebuah batu berwarna putih
berada di sana. Menurut legenda, itulah batu suami Putri Pukes.
Tak
banyak lagi remaja sekarang yang mengetahui legenda ini, meskipun ia adalah
cerita yang dituturkan secara turun temurun di masyarakat Gayo. Cerita tersebut
mengandung pesan agar anak-anak mereka dididik jadi anak berbakti, patuh, dan
menjunjung tinggi amanat.
-o0o-
Dipublikasikan
di rubrik Liputan http://pantau.or.id
pada hari Senin, 19 Mei 2008.
0 Komentar