Sketsa

Dimuat dalam antologi 'Tentang Rasa' Komunitas Literasi Kayang

 -o0o-

 Aku menatap lukisanku yang sudah dicoret dan basah oleh air, “Siapa yang merusak sketsaku?” tanyaku pada dua orang bocah beda usia di depanku.

Kedua saudara sepupu itu acuh tidak acuh mendengar pertanyaanku. Mereka terus menggambar dan mewarnai gambar Princess Anna dan Queen Elsa dari animasi Walt Disney Frozen. Aku mengulang pertanyaanku, tidak ada yang menjawab.

Franka paling bengal, memasang wajah angkuhnya dan menunjukkan bahwa dia tidak takut padaku. Lensia yang lebih besar menunduk dan mencuri pandang pada Franka. Sudah aku tebak, Franka-lah pelakunya.

“Baiklah, kalau tidak ada yang mau mengaku tidak ada yang boleh tinggal di sini. Tidak ada yang boleh pakai pensil warna Ibu,kataku. Kutunggu beberapa detik respon mereka.

Satu menit, tidak ada jawaban. Aku harus main keras. Kuambil semua pensil warna yang berserakan di lantai, mengemasnya dalam plastik. Kemudian  memegang erat. Franka berdiri dan menatapku penuh benci.

“Aku yang membasahinya tidak sengaja!” Franka akhirnya mengaku.

“Oh, jadi Franka? Kenapa tidak mau mengaku tadi?”

Franka membuang muka, seolah dia tidak bersalah apa pun. Kalaupun dia bersalah, Lensia adalah orang yang pantas disalahkan. Aku tidak mengerti bagaimana orangtua Franka mendidiknya. Dia tumbuh menjadi anak yang nakal, keras kepala, bengal dan tidak bisa menghargai orang lain.

Sketsa ornamen
[Photo: Pexels]

“Aku kan sudah bilang kalau aku tidak sengaja!” Intonasinya tinggi.

Hei, bayangkan! Anak yang sedang bicara sok dewasa denganku ini baru berusia empat tahun. Dia tidak selayaknya bicara dengan nada seperti ini di hadapanku. Sementara anak satunya lagi berusia delapan tahun.

“Lalu siapa yang menyuruh masuk ke kamarku dan menggunakan pensil warnaku tanpa izin? Franka, Lensia, kalian tahu? Kalian tidak boleh menggunakan milik orang lain tanpa izin?”

Franka bergeming. Dia terus melipat tangannya dan melirik ke kiri. Napasnya naik turun menahan amarah. Lensia mengangguk.

“Kata Franka, ini pensil warna yang Ibu belikan untuknya”

Wah,wah, wah! Pintar sekali anak ini bicara. Bahkan dia bisa mempengaruhi anak yang lebih tua empat tahun dari usianya. Tidak heran, mamanya juga seorang negosiator yang ulung dalam arti yang negatif. Kudengar dia baru saja mendapat panggilan kerja di rumah sakit terbesar di kota ini dengan menjejal salah seorang staff penerimaan karyawan dengan setumpuk uang.

Aku tidak menyalahkan caranya yang menghalalkan bagaimana pun untuk mendapat pekerjaan, tetapi aku selalu menyalahkan dan merasa kesal saat anaknya menggunakan barang-barangku untuk kepentingannya. Dia bahkan tidak sadar dan tahu diri ketika aku mengatakan pada anaknya jika aku sudah membuang pensil warnanya.

Well, mungkin orang akan mengatakan, “Hanya pensil warna. Aku pelit sekali. Terang saja pelit. Pensil warna ini bukan seharga belasan ribu. Pensil warna yang aku punya ratusan ribu dan terbeli dengan susah payah.

Aku membuat sketsa, mengumpulkan recehan dari pekerjaan seni ini untuk biaya kuliah dulu. Tentu saja aku juga harus menggunakan pensil warna professional. Bukan pensil warna abal-abal yang digoreskan warnanya saja tidak muncul.

Ini yang tidak dimengerti oleh mama Franka. Dia beranggapan kalau membelikan Franka pensil warna dengan kualitas pigmented lebih baik sama dengan membuang uang. Lebih baik membelanjakan untuk makan enak dan nongkrong dengan teman-temannya di mall. Sialnya, Franka menggunakan milikku tanpa tanggung jawab.

“Franka, besok-besok, jika Ibu tidak ada. Jangan masuk dan menggunakan milik Ibu lagi.” Kataku pada Franka yang masih acuh tidak acuh. Mataku melirik Lensia, “Lensia, ingatkan dek Franka untuk tidak mengulanginya lagi.”

Lensia mengangguk. Mereka berdua keluar kamarku. Franka meneriakiku dan melempari semua pensil warna yang dia pegang. Beberapa pensil warna patah matanya. Aku memungut dan meraut pensil itu kembali. Kembali aku susun berdasarkan nomor yang tertera di ujung pensil. Ada 150 warna dan aku harus mengurutnya pelan-pelan.

Sial! Aku benci melakukannya, tetapi tetap saja aku lakukan ini.

Semua pensil warna itu aku pindahkan ke dalam lemari, bagian paling atas. Bagian yang tidak bisa diraih Franka meskipun memakai kursi. Berbicara soal ini, aku bisa sangat sadis. Sangat pelit.

Entahlah! Aku merasa mamanya punya hak membelikan untuk anak. Bukan menggunakan milik orang lain sesuka hatinya.

-o0o-

Petang ini, gambar baru sudah siap aku kirimkan ke sebuah butik ternama di luar kota. Aku yakin sekali mereka akan menyukai gambar itu. Dalam waktu dua hari, aku akan menerima sejumlah uang di rekening. Tahukah? Ini sangat menyenangkan. Aku sudah menggambar lima dan mereka akan membeli kelimanya. Mereka suka dan aku senang.

Pulang kerja, aku tidak langsung berganti pakaian. Kuletakkan tas Charles & Keith begitu saja di atas meja rias. Kemudian menuju rak buku tempat folder kusimpan. Semua desainku ada di sana.

Honey, ada lihat desainku tidak?” Kulirik suamiku yang baru masuk ke kamar.

“Tidak. Aku juga baru pulang. Memang kamu letakkan di mana?”

“Di sini.” Kutunjuk folder di tanganku. Aku terus membolak balikkan folder itu.

Oh, matilah aku jika tidak bisa menemukan gambar itu. Aku harus membuat negosiasi untuk mengirimnya besok atau mencari cara agar butik memberi tenggang waktu menggambar ulang.

Aku terus mencari. Mengutuk diriku yang ceroboh ini. Suamiku pergi ke teras depan. Dia hendak menyemai biji sawi yang ia dapat dari temannya. Dia memang mengatakan jika semua orang di kantornya mendapat biji sawi. Entah untuk apa, tetapi trend menanam sayur di dalam pot sedang marak sesama karyawan.

Sekitar setengah jam di luar, suamiku memanggil. Berulang kali. Kadang aku merasa kesal kalau dia memanggil seolah aku sedang selonjoran kaki. Namun aku tetap datang ke sana dan melihat sesuatu di tangannya.

Beberapa gambar yang sudah basah dan sebagiannya sobek. Aku cukup mengenalnya. Itu adalah gambarku. Itu adalah sumber uangku. Oh, Tuhan! Ternyata Franka melakukan hal yang paling membuatku murka.

Aku lupa. Franka mempunyai sifat arogan dan pendendam. Dia melakukan apapun yang dia mau.

Dia tentu marah aku mengusirnya dan memarahinya menggunakan pensil warnaku sesuka hati tanpa izin. Ternyata ketika aku sedang berada di luar rumah, dia masuk kembali ke kamar yang tidak pernah aku kunci. Mungkin dia mencari pensil warna. Ketika dia tidak menemukannya, dia sadar aku sudah menyimpannya jauh dari jangkauan.

Ide itu mungkin saja terlintas ketika ia sedang kesal. Selanjutnya bisa ditebak, dia merendam semua sketsaku di dekat bak rendah untuk menampung air hujan.

Aku menangis sejadinya. Siapa yang harus aku salahkan. Franka atau mamanya? Ataukah kecerobohanku yang tidak berpikir panjang dalam berbuat. Saat memarahi Franka, saat menegurnya, saat melarang dia menggunakan barangku. Semuanya. Kini aku menerima akibatnya. Akan tetapi aku tidak punya hak untuk menuntut Franka. Bagaimana pun dia hanyalah anak kecil berusia empat tahun yang memiliki kelicikan orang dewasa. []

Posting Komentar

0 Komentar