Surat Untuk Damai

Ugh..!!!

Panas, perlahan kutelusuri trotoar sepanjang jalan T. Nyak Arif di bawah rimbunnya mahoni. Angin sepoi-sepoi sedikit  memberikan udara segar bagi pori-poriku yang mulai terbuka mengeluarkan cairan peluh.

Apa saja yang adda di hadapanku kuttendang. Mahoni, daun kering, bahkan udara kosong sekalipun.

Dung... dung... dung....!!!

Trak!

Sesuatu jatuh ke kepalaku, meluncur ke bawah. Sesuatu yang tipis dan ringan, di ujung sepatu dan siap tertendang. Sebuah benda persegi empat tipis dan padat, sebuah amplop surat.

Apa ini?

[Photo: Pexels]

Kuambil dan kubuka ujungnya sambil berjalan. Sebuah surat tanpa pengirim. Buat siapa? Kenapa tidak dicantumkan nama dan alamat jelas, bahkan untuk siapa tak jelas, anehnya.... kok bisa tercecer?

Naluri detektifku yang muncul. Rasa ingin tahuku lebih besar dari mempertimbangkan privasi orang. Masa bodoh dengan rahasia. Salah sendiri, ngapain buang-buang surat sembarang tempat, bukan salahku jika aku tahu isinya. Ada beberapa lembar kertas bergambar putri salju, sisi kiri dipenuhi lubang-lubang kecil. Kertas file ini berisi tulisan besar-besar dengan huruf tidak jelas. Tulisannya bewarna biru muda, seprtinya tulisan anak-anak? Atau surat ini milik anak kecil yang baru bisa menulis.

Aku tersenyum geli jadi ingat waktu SD dulu. Aku sering menulis surat untuk artiis idolaku. Minta foro dan tanda tangan, nggak jarang pula minta kasetnya. Tetapi tak sekalipun surat itu terkirim, hanya tersimpan di dalam tas dari kardus. Tak ada seorangpun yang berani menyentuhnya. Hingga bila saat-saat aku kesal, surat itu aku bawa ke tempat yang jauh dari rumah dan aku melemparnya kuat-kuat. Aku berharap angin mengirimkannya pada artis idolaku itu. Mungkin anak yang menulis surat ini, seperti aku dua puluh tahun lalu.

Aku jadi tertarik membacanya.....

Idi Rayeuk, 14 Agustus 2005
Untuk damai di seluruh negeri.
Salam kengen damai.

Kenalkan. Namaku Sera. Aku sekolah di Idi Rayeuk kelas 2 SD. Nama Ayah Nab, mamak Sri Wahyuni. Ayahku tukang becak, mamak tukang cuci baju dan gosok-gosok baju orang. Hobiku makan mie pangsit bang Li. Karena bang Li selalu taruh mie banyak-banyak untuk aku.

Apa kabar damai? Kamu sedang bingung yaa.... aku ikut bersedih, karena orang-orang pakek tembak itu selalu tembak-tembak kamu. Kenapa kamu tidak balas ddamai? Kalau kamu datang. Orang itu tidak akan tembbak-tembak lagi kan?

Sera sedih. Gara-gara mereka tembak-tembak terus Ayah tidak biisa cari damai. Gara-gara mereka main tembak-tembakan lagi. Namanya kontak senjata.

Sera juga jadi takut, di sekolah sering bunyi tembak-tembak. Ibu guru Sera jadi capek. Teman-teman Sera banyak yang nangis. Kamu tau tidak, banyak Ayah teman-teman Sera hilang. Ada yang pulang luka-luka, ada juga yang tidak pulang. Kemarin Ayah dek Cut pergi, tadi pagi orang kampung pergi lihat di Krueng, banyak darah di badannya.

Sera tidak mau Ayah Sera juga diambil seperti Ayah dek Cut. Sera tidak mau mamak Sera tidak punya tangan lagi seperti mamak dek Cut. Ddamai, bilang sama mereka, jangan buat Ayah dan mamak Sera seperti itu ya....

Sera tidak mau Ayah Sera meninggal. Sera tidak mau Ayah Sera tidak punya tangan, alau Ayah meninggal siapa yang cari uang tarik becak. Kalau tangan mamak Sera tidak ada, bagaimana mamak mencuci baju orang. Uangnya buat Sera sekolah. Sera ingin menjadi presiden seperti Ibu Megawati. Kalau Sera jadi presiden, negeri ini tidak mau Sera buat perang-perang lagi. Ayah bilang konflik. Ayah bilang kalau damai daang, perang tak ada lagi. Nanti Sera ajak damai untuk bantu Sera. Wakil Sera kalau jadi presiden. Nanti kita buat negeri ini tenang, damai dan makmur yaa...

Damai...
Kapan datang ke Aceh. Jangan lupa singgah di kampung Sera, ya. Ke rumah Sera, biar rumah Sera jelek tapi Sera rajin mengaji. Kata mamak, kalau kita rajin mengaji, damai hidup di hati. Udah dulu ya damai. Kapan-kapan kita sambung lagi. Nanti beritahu Sera kalau Damai sudah dattang di Aceh. Sera tunggu balasan surat damai di depan pintu rumah setiap hari.

Wassalam,
Sera.

Kulipat lembaran surat itu perlahan. Bulu rona merinding dan kurasakan gerakan tanganku perlahan. Gemetar. Anak kelas 2 SD ini....

Dia bukan dua puluh tahun lalu. Tidak juga sama denganku. Aku hanyalah anak kecil yang mengirim surat kepada Agnes Monica, Dhea Ananda, Thomas Djorghy, siapa sajalah yang sedang naik daun. Tapi Sera berbeda...

Aku tak pernah berpikir akan bersahabant dengan damai. Bermain di tengah suasana damai. Bercengkrama di tengah dentuman senjata. Itu hal biasa kualami.

Masih ada ribuan anak seperti Sera di dunia ini. Mereka masih tidur di atas kasur tanah berbatu, bermusik peluru, malam-malam berhias api. Namun aku...

Aku malu sekali pada diriku. Pada Sera di dunia ini. Pada Tuhan yang mencipta Sera dan puluhan Sera lain. Kenapa tak pernah terpikir olehku. Aku punya segalanya, tapi satu hal yang tak pernah aku miliki. Ternyata aku tak sebenruntung Sera, aku tak punya damai.

“Seeeeraaaaa.....!!!!” Bantu aku mencari damai....” Entah kenapa tiba-tiba merasa aneh. Orang-orang menatapku heran sambil menyingkir. Hahahahahaha..... damai, cepat datang padaku.

***

Banda Aceh, 22 Mei 2007


Dipublikasikan di TABLOID TINGKAP edisi Agustus 2007

Posting Komentar

0 Komentar