Jin Apui

 “ZAMAN SEKARANG ini tidak ada lagi jin ini itu, Fla. Mengarang saja, kau!” Muhammad Rais tertawa keras mendengar cerita Fla. Adik kelasnya ini memang suka sekali bercerita horor kepada teman-temannya. Seolah apa yang dikatakan benar adanya. Benar nyatanya. Itulah yang ia pahami.
“Aku memang lihat, bang. Persis seperti yang diceritakan oleh kakek tadi. Di glee Lhok Nga, di pertengahan sawah. Aku benar-benar pernah lihat, bang.” Fla berkeras dengan pembenaran ceritanya.
Rais tertawa keras, “Kalau kau lihat. Sudah pasti kau lari terbirit-birit. Mana pula kau tengok untuk bahan cerita pada kami.”
Fla menarik napas, “Bang, kalau abang pun lihat jin api itu, abang tidak akan lari. Abang pikir pasti kebakaran. Memanjang, berderet seperti ada yang membakar lahan.”
Rais menjentikkan jari, “Mungkin memang benar ada yang membakar lahan. Kau pikir orang Aceh itu baik-baik semua. Mau nya dia membakar lahan.”
Fla menggeleng-geleng kepala. Menyerah. Fla memang meragukan penglihatannya. Sudah beberapa kali ia melihat jin api di dekat tempat tinggalnya yang baru. Sudah sering pula ia melihat jin api dimana-mana ketika pulang bertamasya dan terjebak maghrib di jalan. Beberapa orang percaya, banyak yang tidak percaya. Fla malah disebut maniak film horor.
Satu-satunya orang yang sangat percaya pada Fla adalah kakek Rais. Meskipun Rais orang Aceh, ia tumbuh besar di Medan. Sementara kakeknya yang asli orang Aceh tetap bertahan di desa tak jauh dari sawah di kaki Seulawah. Ia adalah saksi perkembangan Aceh selama 70 tahun belakangan. Usianya yang telah renta membekalkan berbagai pengalaman untuk anak cucunya.
Ia bercerita tentang jin api pada Fla pertama kali saat anak itu tidak sengaja melihat gumpalan api di depan rumah kakek Rais. Fla yang tidak tahu menahu tentang jin api berteriak pada kakek Rais, mengatakan pada lelaki tua kalau ada tangan nakal membakar sawahnya.
Kakek Rais tertawa. “Kau bisa melihatnya, nak? Itu bukan kebakaran. Itu pasukan jin apui yang sedang melintas. Lihatlah, sebentar lagi api itu akan menjauh dan lenyap. Sementara sawahku utuh tidak terbakar.”
Keduanya menonton api yang bergerak menjauh kemudian hilang begitu saja. Fla sangat ketakutan dan terus berdoa agar dia tidak kesurupan. Entah apa yang ia pikirkan, waktu-waktu berikutnya ia sangat sering melihat jin api itu melintas.
Satu-satunya orang yang selalu menentang tentang jin api adalah Rais. Meskipun ia sangat menyayangi kakeknya. Ia selalu tidak percaya kakeknya yang mempengaruhi Fla tentang keberadaan jin api. Wajar bagi kakek Rais yang hidup sudah 80 tahun percaya hal-hal mistis begitu. Tapi dia tidak habis pikir pada Fla yang hidup di zaman Instagram mempercayai hal tersebut.
Rais bahkan menantang Fla untuk memfoto jin api dengan ponselnya dan mengunggah ke Instagram. Alasan Fla pun selalu sama. Dia tidak pernah bisa memotret jin api itu. Setiap ia melihat pasukan jin api melintas, ia terpesona. Lupa untuk memotret. Apa pasal lupa?!
*
Senja di Senin pagi, Rais mengenderai motornya melintasi persawahan. Hujan rintik-rintik. Sisa hujan sejak siang. Rais merapatkan jaketnya yang mulai memberi ruang untuk angin. Pikirannya bercabang kemana-mana. Termasuk cerita-cerita Fla tentang jin apui. Rais berusaha membuang pikiran itu jauh-jauh.
Beberapa orang mengaku masih melihat jin apui di sawah dan gunung.
[Photo: Pexels]

Hatinya mulai lega ketika dari kejauhan ia melihat rumah kakeknya. Satu rumah di tengah sawah yang menghampar hijau kekuningan. Tidak lama lagi padi-padi itu akan dipanen. Rais mempercepat laju motornya. Meskipun rumah kakek sudah kelihatan, butuh sekitar tiga kilometer lebih untuk berada di halaman rumah.
Satu kilometer lagi mendekati rumah, Rais menangkap sesuatu yang menggumpal dan bercahaya. Bentuknya membumbung besar, di belakang rumah kakek. Rais sadar itu api. Rais membalap sepeda motornya. Namun semakin dekat ke rumah, motornya semakin bergerak pelan sampai benar-benar terhenti.
Api itu terbelah menjadi dua. Melintas halaman rumah kakek. Kemudian terbelah lagi, satu persatu. Lebih banyak dan semakin banyak juga semakin kecil. Bergerak berderet rapi. Melintasi persawahan.
Rais terpana. Terpesona.
Api semakin memanjang dan menjauh ke tengah hamparan persawahan. Tidak sampai hitungan menit. Api itu perlahan padam satu persatu dan menghilang. Rais terkejut. Menyadari apa yang baru saja terjadi. Secepatnya ia mendekati rumah kakek.
“Fla, Fla!” Rais menggedor pintu. “Kek, kek!”
Fla membuka pintu. Wajahnya masih berbingkai mukena. Dia baru selesai mendirikan shalat maghrib. Rais berlari ke dalam tanpa memberi salam. Dia masuk ke kamar dan meringkuk ketakutan.
“Rais, kenapa?” Fla terheran-heran.
“Shalat dulu sana. Maghrib-maghrib kok tidur.” Kakek menarik Rais.
Rais beranjak. Wajahnya pucat. Dia masih diam.
*
Seminggu lamanya Rais diam. Bukan saja tidak banyak bicara dan berhenti berdebat dengan Fla. Rais juga tidak selera makan dan tidak bergairah melakukan aktivitas apapun. Fla heran. Kakek lebih lagi. Rais hanya menjawab jika ditanya saja. Kecuali pertanyaan kenapa.
Merasa ada yang tidak beres, kakek bertanya. Ia memaksa Rais menjawab. Bibir Rais bergetar. Tangisnya tumpah.
Jin apui itu masih ada, kek. Dia membawa rumah. Membuat jejak sampai ke gunung. Jin apui itu datang setiap sore melewati sawah kita.” Tangis Rais pecah. Dia sesenggukan. Ada ketakutan dan satu cerminan yang tidak bisa dijelaskan terpancar dari matanya.
Fla dan kakek saling berpandangan. Menit berikutnya mereka sibuk menggotong tubuh Rais yang tumbang ke lantai.(*)

Cerita ini dipublikasikan di Basajan

Posting Komentar

0 Komentar