Skripsi

Dia kembali menyentuhku dengan lembut. Penuh kehati-hatian. Meraba dengan kasih sayang dan meletakkan dalam map plastik transparan agar aku tak ternoda. Sambil melangkah maju ia memelukku erat. Jalannya cepat, menunduk sambil berdoa.
Aku bisa mendengarnya memohon kepada Tuhan, “Ya Allah, mudahkan langkah hamba. Mudahkan urusan hamba. Ringankan segalanya ya Allah”. Begitu permohonannya. Hati itu begitu tulus mengucap. Sampai aku  rasanya tak rela lagi berada di antara buku-buku di rumahnya.
Perkenalkan. Aku adalah lembaran putih yang dihias ribuan huruf. Tersusun menjadi kata, deretan kalimat dan paragraf. Aku dan kawan-kawanku tersusun dalam satu tempat berjepit klip segitiga. Akhirnya kami satu raga dan berubah nama dari kertas menjadi skripsi.
Jangan tanya mengapa namaku begitu. Kalau saja aku boleh memilih, aku lebih suka bernamakan kertas. Hanya lembaran, tapi hidup bebas tanpa beban bawaan pemilikku. Kali ini pemilikku hanya seorang perempuan muda di usia melewati batas ideal menikah.  Hampir perempuan tua. Ia bukan tak laku, tapi terhambat olehku.
Syarat sarjana harus menyelesaikan skripsinya.
[Photo: Pexels]

Aku tak tahu, apa yang terjadi dengannya. Aku hanya sadari satu hal. Bagian tubuhku terus di tukar, ditambah dan diperbaharui setiap sebulan sekali. Bukan untuk mempercantik aku, karena aku adalah lembaran-lemabaran suci tak ternoda. Namun aku tahu bagaimana perasaan pemilikku saat mengganti bagianku dengan bagian lain. Berat,  kecewa dan sedih.
“Kamu terlambat lima menit. Tidak ada bimbingan,” suara menggelegar itu mengagetkan aku. Dari plastik transparan ini aku bisa melihat lelaki hitam rambut keriting kriwil di balik meja yang menngucapkan. Apa yang terjadi?
“Tolonglah, Pak. Sudah dua bulan saya tak bertemu bapak. Sidang hampir dibuka”, mohonnya. Suaranya bergetar. Aku bisa merasakan pemilikku sangat terpukul. Hanya lima menit terlambat dipermasalahkan? Sungguh terlalu.
“Itu urusan kamu” Ujarnya lagi. Tak menatap pemilkku sedikitpun.
“Kalau begitu, kapan saya bisa bertemu bapak kembali?” pemilkku menahan emosinya.
“Tidak tahu. Saya sibuk. Urusan saya banyak,” katanya sombong. Sibuk? Sedangkan ia masih duduk manis  di balik meja itu dengan segelas kopi yang masih penuh. Asapnya masih mengepul. Untung aku berada di dalam sini, kalau tidak pasti aku sudah bau terkena asapnya.
Pemilikku duduk di hadapan lelaki itu. Ia mengeluarkan telepon genggam dan mengetik sesuatu. Lelaki yang dipanggil bapak oleh pemilikku berceloteh panjang lebar. Sesuatu yang tak kumengerti.
“Kalau di luar negeri, tak ada mahasiswa yang datang telat walau sedetik. Kami di sana semua tepat waktu. Mahasiswa sekarang pemalas, tidak disiplin waktu”. Apalagi itu? Disiplin?
Pemilikku bukan tak disiplin. Ia hanya telat lima menit karena butuh waktu untuk melihat jalanan kiri kanan sebelum menyeberang. Hari ini jalanan padat. Bagaimana mau cepat. Pepatah bilang, biar lambat asal selamat. Pemilikku sudah membuktikannya.
“Apalagi ini?!” Bapak itu menggerutu lagi. Aku mengintip lagi lewat plastik transparan. Ternyata ada tiga orang lagi. Dua lelaki dan satu perempuan. Mereka juga membawa benda yang sama dan aku melihat kejutan di sana. Mereka membawa teman-temanku.
Aku sibuk memperhatikan wajah teman-temanku di balik map yang mereka tenteng. Sementara pemilkku dan teman-temannya sibuk berbicara dengan bapak itu. Aku baru tersadar sebagai skripsi ketika pemilikku mengeluarkan aku dan berada di atas meja. Di antara bapak dan pemilikku.
Sesuatu yang tajam, bau dan berwarna menggores tubuhku. Aukh, sakit…!! dia menyakiti aku sambil mengucapkan sesuatu. Bagian tubuhku yang lain dibuka acak dan mendapat perlakuan sama. Kemudian di tutup dengan paksa lalu kembali ke hadapan pemilikku. Teman-temanku juga begitu. Malah dua di antaranya tak di buka sama sekali. Hanya di campak ke atas meja. Pasti sakit sekali. Sama seperti perasaan mereka yang tak dihargai.
Tak lama bapak itu pergi. Mereka duduk di meja yang sama. Aku dan teman-teman saling bertumpuk.
“Kamu kenapa?” Tanyaku pada skripsi tanpa sampul depan.
“Aku nggak tahu. Tiba-tiba saja aku jadi takut kalau pemilikku bilang akan bertemu bapak itu. Tubuhku luka oleh goresan pena merahnya. Seluruh bagian tubuhku tergores. Pemilikku bingung akan menambahkan apa”  Jawabnya.
“Kamu?”
“Aku, terlalu kurus. Bapak itu suka yang berisi dan gendut seperti kamu. Makanya aku tak disentuh sama sekali.” Skripsi tipis menjawab.
“Kamu?”
“Pemilikku bingung ingin menulis apa untukku. Dia sama sekali tak mengerti jalan pikir bapak itu. Pemilikku sudah mencoba, tapi bapak itu menolak terus. Kamu akan terkejut kalau melihat organ dalamku. Aku tak punya outline. Isiku kacau” Jawab skripsi yang paling lusuh dan hanya lebih tebal dari skripsi yang kedua.
“Kenapa begitu? Apa pemilikmu tak pernah menambahkanmu”
“Bukan. Tapi pemilikku sibuk mencari uang untuk biaya hidupnya. Sementara cara bapak itu menyakitkannya.”
“Kamu tebal sekali” Komentar skripsi tipis.
“Iya. Pemilikku selalu menambahkan aku. Aku juga belum pernah tergores oleh pena merah itu”
“Begitukah? Tapi kita kan hanya skripsi. Bukan disertasi. Jadi tak perlu tebal-tebal”
Aku melirik tubuhku yang tebal. Ya, aku tebal sekali. Seratus lima puluh halaman. Tanpa bab hasil penelitian dan pembahasan. Apalagi penutup. Apakah aku sudah kelebihan tebal?
“Kamu sebenarnya sangat menderita”, suara skripsi tanpa sampul depan berkata. “Kamu tahu? Bagaimana pemilikmu sangat stress karena tak pernah di beri goresan seperti pada tubuhku. Kamu selalu bertambah tebal setiap harinya, tapi jangan tanya bagaimana nasibmu. Apakah kamu bisa masuk percetakan lalu bersanding bersama teman-teman lain di pustaka?”
Aku terdiam. Begitu burukkah nasibku? Juga pemilkku yang terus mengalirkan air mata. Termyata gara-gara aku? Aku yang tak pernah disentuh oleh bapak itu sebagai tanda bahwa ia telah menyelesaikannya?. Oh, tidak….
Aku ingin bersanding bersama yang lain di pustaka. Aku juga ingin pemilkku segera menyelesaikan kuliahnya. Jangan lama-lama lagi. Tolong….!!!

Posting Komentar

0 Komentar