Ulfa. Tulisan Ulfa tempo hari sudah
diterbitkan. Honornya pun sudah ada. Insya Allah Senin kita ketemu ya…
Sebuah
pesan di WA masuk dari nama yang cukup populer di kalangan wartawan dan
akademisi pada jam 11.02 AM. Beliau adalah dosen di jurusan saya. Pada masa
kuliah S1, beliau juga menjabat sebagai ketua jurusan. Idenya yang inovatif
juga menginspirasi beberapa kalangan wartawan muda seperti kami masa itu.
Beberapa
waktu lalu, ketika saya kembali ke kampus, merambah dunia akedemisi dengan satu
alasan. Beliau menjumpai saya. Sebuah majalah yang tipis dengan kertas lux berpindah tempat dari mobilnya ke
tangan saya. Intinya beliau meminta saya berkontribusi pada edisi selanjutnya.
Laptop bukan benda mutlak yang harus dimiliki. Terkadang saya juga menulis di buku. [Photo: Ulfa Khairina] |
“Satu
minggu, lho, Fa. Jangan lewat. Kita punya dana” kata beliau dengan tatapan
yakin sekali pada kemampuan saya. Akhirnya saya menyetujui setelah membaca isi
dari majalah secara sekilas. Kemudian masuk ke ruangan untuk mengajar.
Mahasiswa sudah menunggu di kelas.
Saya
menyelesaikan artikel yang diminta oleh dosen saya ini dan mulai mengatur waktu
menulis, membaca dan menulis lagi. Tidak mudah mencari ide yang berkaitan
dengan teknologi pendidikan. Untungnya saya pernah kuliah di Beijing. Saya
mengamati perkembangan teknologi yang diterapkan mereka dalam pendidikan. Ide
saya begitu saja melintas ketika melihat smartphone.
Kombinasi teknologi smartphone dan
pendidikan.
Apa
yang saya tulis berdasarkan dengan apa yang saya lihat, dengar dan rasakan.
Kalau saya tidak menulisnya banyak efek
secara kemasyarakatan tidak akan berdampak sama sekali. Sebut saja penggunaan smartphone di Indonesia.
Untuk
apa?
Kebanyakan
orang-orang memiliki smartphone untuk
bermain game online, mengorol di platform obrolan dan pling hebat baca
berita. Di Beijing, sebuah smartphone
bisa memudahkan menanggulangi asam lambung dan membarkan gaji karyawan tanpa
harus datang ke kantor atau antri di bank.
Melalui
smartphone, seseorang bisa memesan
makanan dari ranjangnya. Ingin makan apa saja. Gampang! Tinggal masuk ke sebuah
apikasi, pesan, bayar dengan aplikasi dan dalam waktu seseingatnya makanan
sudah di antar ke depan kamar.
Saya
sendiri sering merasa kesal ketika dompet kosong, sementara untuk membeli
sesuatu harus memiliki uang cash.
Terkadang untuk mengambil gaji saja harus mengantri berjam-jam. Sudah capek
antri, tiba-tiba petugas keuangannya harus meninggalkan ruangan. Sementara kita
sudah datang jauh-jauh. Meneybalkan.
Di
China, hal seperti ini teratasi dengan adanya metode pembayaran e-pay. Gaji saya selalu dibayar melalui alipay atau wechat. Wechat adalah
salah satu platform sosial media yang
digagas di China. Untuk berbelanja, saya tidak perlu khawatir tidak membawa atm
atau uang cash. Wechat payment memberi solusi di mana pun saya berada. Tidak hanya
di mall besar. Bahkan di penjual kaki lima juga berguna.
Hal-hal
seperti ini mungkin hanya diketahui oleh sebagian kecil orang. Terutama
orang-orang yang pernah berada di Beijing dan kota-kota besar di negeri China
sana. Saya ingin berbagi, siapa tahu salah satu apps developer membaca artikel ini dan mengembangkan aplikasi
sejenis untuk memudahkan.
Tidak
ada yang mendenarkan saya bicara. Itu pasti. Saya bukanlah anggota dewan, selebritis
atau seseorang yang terkenal. Jika pun saya bicara, idenya hanya tercapai pada
kelompok tertentu saja. Berbeda ketika saya menulis. Banyak yang membaca di
seluruh Indonesia.
Dalam
hal ini, saya butuh menulis untuk berbagi informasi dan pengalaman yang saya
dapatkan. Meskipun efeknya kecil, tidak berguna bagi sebagian kalangan.
Beberapa kalangan akan merasakan pengalaman yang saya alami juga secara tidak
langsung.
Menulis
juga kebutuhan secara finansial. Tentunya ketika seorang penulis sudah memiliki
kredibilitas dan kualitas tinggi. Menulis bukan lagi sesuatu yang gratis. Menulis
menjadi sebuah keahlian yang bisa menghasilkan uang. Ada saatnya ponsel berdering
untuk meminta sebuah artikel dengan keputusan pembayaran yang layak.
Seseorang
yang memehami menulis adalah keahlian khusus akan menghargai ide pikiran yang
diramu selezat makanan untuk dibayar mahal. Saya masih dalam proses belajar
menjadi penulis yang lebih baik. Ketika saya diminta untuk menulis dan dibayar
dengan standar perkata, saya juga tidak menolak.
Kebutuhan
saya ada dua. Kebutuhan untuk berbagi dan kebutuhan secara finansial. Ketika
ide saya diterima dalam masyarakat, kemudian saya pun bisa melanjutkan hidup
bermasyarakat. Bukankah dua hal ini sangat istimewa sekali?
Menulis itu juga kebutuhan
untuk melepaskan beban. Terapi untuk diri sendiri menjadi lebih baik.
0 Komentar