Merenungi Setelah Pesta Pernikahan Bubar dari Buku Hijrah Sakinah

 

Buku Hijrah Sakinah yang ditulis oleh Hanny Dewanti termasuk buku yang sering saya re-read sekaligus nggak pernah benar-benar selesai seratus persen. Alasannya sederhana, saya tidak begitu tertarik membaca nonfiksi yang membuat saya tidak dalam suasana baik. Padahal ini salah satu buku yang bagus dan sangat recommended dari Hanny Dewanti yang juga memiliki nama pena Honey Dee.

Awal tahun 2025 saya berniat menyelesaikan buku ini dengan berbagai alasan. Salah satunya untuk merampingkan daftar buku Did Not Finish (DNF) yang sangat mengganggu. Seperti biasa, saya masih terkaget dengan bab pertama yang memang speechless lalu angguk-angguk.


Hijrah sakinah
Ilustrasi buku Hijrah Sakinah
[Photo: Ulfa Khairina]


Kenapa Pasutri Bertengkar?

Terkadang muncul pertanyaan, “kenapa, sih, para pasutri sibuk bertengkar? Terkadang pertengkarannya juga nggak masuk akal. Nggak mikir juga. Di depan anak atau di depan mertua hajar saja. Terpenting plong!”

Halaman pertama buku ini langsung disuguhkan dengan kalimat, “biasanya masalah yang terjadi saat ini merupakan akumulasi dari keseluruhan rentetan peristiwa sejak awal menikah.”

Ya, kalau dipikir dengan seksama kalimat dengan tulisan miring itu benar banget. Ledakan pertengkaran yang nggak tahu malu itu datangnya dari timbunan masalah yang ditahan selama ini. Sejauh ini mungkin kata sabar menjadi kunci, tapi lama kelamaan bukannya sabar, tapi jadi sadar dibantu syaitan kalau orang yang hidup bersama kita dianggap nggak layak. Duh!

Padahal nggak begitu juga. Kita hanya belum mampu untuk menerapkan konsep tidak ada pasangan yang sempurna dalam hidup. Semua yang kita harapkan adalah paket lengkap super hemat. Padahal yang namanya lengkap dan hemat tetap ada pengurangannya, lho. Eh!

Ta’aruf Nggak Selalu Benar

Ada satu pesan mendalam untuk perempuan dalam Hijrah Sakinah. Saya sih merasa sangat nyez dengan kalimat ini. Terasa begitu nyata dan masuk akal. Saya iyakan, karena setiap waktu saya pun tidak memahami pasangan hingga detik ini. padahal kami menikah sudah hampir sepuluh tahun dan saling mengenal sebelum menikah juga hampir sepuluh tahun. Totalnya hingga awal tahun ini selama 16 tahun lebih, tapi saya masih belum mengenalnya dengan baik.

“Pacaran bertahun-tahun tidak akan membuat Anda memahami lelaki yang Anda nikahi.” Katanya begitu dan saya cuma bisa menutup mulut sambil berteriak, “omaigot! Kok benar?”

Memang benar. Apalagi yang melalui proses perkenalan secara ta’aruf. Ketemu hanya beberapa kali, ngobrol sana sini. Tahu apa tentang calon pasangan hidup yang akan dinikahi? Pasalnya menikah nggak seperti beli baju di toko, kalau nggak pas bisa ditukar.

Begitulah penjabaran Hanny Dewanty tentang pernikahan dan ta’aruf ini. Apa yang disampaikan di ta’aruf ataupun pacaran bukan yang buruk. Sudah pasti dia akan menampilkan sisi baiknya semaksimal mungkin. Tanpa cela, tanpa nilai minus dari calon di depannya.

Hanny Dewanti mengutarakan di sini, jangan kecewa lah. Karena ketika kita merasakan kekecewaan terhadap suami, justru banyak pertanyaan justru harus dipertanyakan juga untuk kita. Fitrahnya suami dan istri kan saling melengkapi, ya. Jadi, bisa jadi apa yang kita kecewakan dari suami sebenarnya hal yang juga dia kecewakan dari diri kita.

Permudah saja saling menilai dengan saling menerima kelebihan dan kekurangan pasangan. Tidak ada manusia yang sempurna. Hanya Allah yang sempurna.

Paket Komplit, Memang Ada?

Pertanyaan ini juga harusnya ditanyakan pada diri sendiri sebelum menikah. Paket komplit, memang ada? Semua manusia diciptakan dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sudah pasti tidak ada yang namanya paket komplit.

Semisal nih, kita datang ke warung makan, kemudian memesan menu yang katanya paket komplit. Kalau kita jeli, paket komplit itu juga nggak komplit. Ada saja yang dikurangi. Tidak ada yang namanya paket komplit.


Keluarga bahagia
Keluarga bahagia
[Photo: Pixabay]

Ketika kita mengharapkan paket komplit itu datang ke dalam hidup kita, seringkali yang terjadi adalah kekecewaan. Ditambah lagi campur tangan orang lain yang memperkeruh suasana hati. Hanny Dewanti memberi beberapa tameng untuk menghindari serbuan serbuk yang memperkeruh guncangan hati terkait paket komplit ini. Tidak ada, tapi bisa kita usahakan dengan cara lain.

Jangan Marah

Omongan orang pastinya memicu kita untuk marah. Dalam hal ini sarannya jangan marah. Jika ada yang bersikap jahat kepada kita juga jangan terpengaruh untuk marah dan membalas dengan kejahatan juga. Santai saja, istighfar, dan tenang. Ada ayatnya, kan?

“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barangsiapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Asy-Syuura: 40).

Mendoakan kejahatan untuk orang lain terkadang justru berbalik kepada diri kita sendiri. Sebaiknya hindari bertemu dnegan orang tersebut agar tidak terjadi keburukan untuk diri kita sendiri.

Doakan

Doakan yang terbaik untuk dia. Jangan doakan yang terburuk. Kalau malah berbalik ke kita sebagai pendoa bagaimana? Bahaya, kan?

Allah nggak tidur dan selalu mendengar doa dari hamba-Nya. Saat kita berdoa kebaikan untuk orang lain, siapa tahu kebalikan itu justru berbalik bebribu kali lipat untuk kita.

Bersikap Positif

Sebagaimana janji Allah dalam QS. Ali Imran ayat 146, “Allah mencintai orang-orang yang sabar.” Maka, bersabarlah saat menghadapi ujian yang bisa memporak-porandakan rumah tangga kita.

Salah satu cara untuk bersikap positif dengan tetap tersenyum, ceria, dan enerjik. Meskipun praktiknya nggak semudah teori, tapi saya yakin semua orang termasuk saya pernah berusaha maksimal untuk melakukan hal ini. Tunjukkan energi positif agar energi negatif terhempas jauh.

Bicara dengan Suami

Masalah kita sama siapa? Suami? Bicarakan dengan suami. Termasuk perkara ipar reseh atau tetangga julid. Jangan pendam sendiri, ntar makan hati.

Membaca bagian ini, saya merasa pernah mengalami satu fase di awal pernikahan yang memilih diam dan memendam. Asli! Makan hati. Namun setelah berani speak up dan berani bicara dengan suami kondisi perlahan membaik.

Memang suami juga tidak bisa berbuat apa-apa dengan masalah yang kita hadapi. Akan tetapi, setidaknya hati kita jauh lebih tenang dibandingkan dengan sebelumnya.

Jaga Jarak

Ini paling penting dan sangat utama diperhatikan daripada poin lainnya. Jaga jarak dengan cara tidak tinggal bersama dengan mertua, orang tua, dan ipar. Meskipun kadang suatu budaya menetapkan untuk tinggal bersama, tapi sebenarnya kondisi seperti ini nggak sehat, lho.

Ada satu kalimat yang saya benarkan saat membaca buku Hijrah Sakinah ini. Kalimat ini bukan hanya ditulis oleh Hanny Dewanti, tapi juga terdengar di lingkungan sosial saya. Itu benar adanya.

“Kalau jauh, yang tercium adalah kerinduan yang wangi, sedangkan kalau dekat, yang tercium adalah aib yang busuk.”

Kalimat itu benar banget, lho. Saat kita dekat, segala aib yang tidak terlihat jadi terintip dan terlihat malah jauh lebih sadis mendekati fitnah. Rasa benci dan tidak benar juga perlahan terkuak seperti rok rajut yang tertarik benangnya. Semakin tinggi dan kelihatan apa yang harusnya ditutup.

Pindah rumah adalah solusi. Jangan tinggal dengan mertua atau orang tua, tapi bagian ini memang agak berat bagi sebagian orang. Harus ada kesepakatan bersama dan tidak ada saling menyalahkan.

Menikah Bukan Untuk Mengganti Status

Banyak banget orang yang bermasalah dengan pernikahannya karena awalnya karena niatnya. Niat yang nggak lillahi ta’ala, tapi Cuma untuk mengganti status doang. Begh, dari awal sudah masalah, bisa dilihat pada akhirnya status pernikahannya juga seret.


Pernikahan bukan sekedar mengubah status

[Photo: Pexels]

Dalam menjalani pernikahan harus ada kata ikhlas dan tidak karena alasan unik lainnya. Menikah bukan untuk mengganti status dari lajang menjadi menikah. Tidak begitu, harus ada rasa saling menerima satu sama lain.

Kesimpulan

Pembukaan buku Hijrah Sakinah ini seperti tamparan halus untuk kita yang sedang dilema dengan pernikahan yang sedang dijalani. Kita langsung diingatkan untuk asal muasal memilih pasangan, sebab keributan, dan apa penyebab kita ribut. Kemudian Hanny Dewanti mengingatkan tujuan menikah itu untuk apa?

Sebagai wanita yang sudah menikah dan menghadapi beberapa masalah yang dipaparkan oleh Hanny Dewanti, saya merasa apa yang tertulis di sana benar adanya. Kita perlu merenungi setelah pesta bubar memang terjadi banyak masalah. Akan tetapi, masalah itu bukan untuk dibiarkan berlarut. Ada yang harus kita telaah atau evaluasi untuk mencari solusinya.

Posting Komentar

6 Komentar

  1. terimakasih sudah berbagi cerita ya kak, semoga kita semua bahagia selalu amin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin, semoga ini menjadi bagian dari hijrah kita yang benar-benar sakinah.

      Hapus
  2. Bukunya menarik. Pernikahan itu perjalanan panjang, ga salah kalau disebut setengah dari iman. Proses belajar seumur hidup. Dari aku dan kamu menjadi kita tentunya bukan hal yang mudah, selama keduanya mau belajar untuk saling memahami dan mengerti satu sama lain insyaallah akan tercapai sakinah, semoga tetap bersama hingga ke surgaNya kelak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin. Ini harapan semua orang ya, Mbak. Pernikahan hingga ke syurga, bukan cuma di KUA

      Hapus
  3. Saya pun tahun ini memasuki pernikahan tahun ke-10, tetapi rasanya masih belum memahami pasangan. Ternyata 10 tahun itu tidak cukup, tampaknya memang butuh seumur hidup untuk terus belajar saking memahami, memaafkan, dan memaklumi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Butuh seumur hidup untuk memahami. BAhkan saat dipisahkan ajal pun kita masih belum memahami siapa pasangan kita dengan baik.

      Hapus