5+ Alasan Punya Akun Bookstagram

 Belakangan, istilah bookstagram nggak kalah hits dengan istilah selebgram. Kalau selebgram menunjukkan cewek cantik atau cowok ganteng dengan berbagai pose. Sedangkan bookstagram menunjukkan buku cantik dan potret estetik. Tanpa sadar, salah satu akun instagram saya yang berkaitan dengan buku disebut bookstagram, lho. Di sini, saya ingin membahas alasan punya akun bookstagram. Seriously, dari awal nggak niat untuk gegayaan, kok.

buku terbuka
Buku sebagai salah satu konten instagram
[Photo: Pexels]

Apa dan Siapa Bookstagram?

Ngomongin bookstagram memang nggak ada habisnya. Bahkan kalau rajin ngecek jurnal ilmiahtentang dunia pecinta buku, bookstagram ini sudah masuk ke ranah akademik, lho. Saya sendiri kaget, saat menulis tentang bookstagram pada tahun 2019, niat saya cuma ingin berbagi bahwa ini dunia literasi nggak sebatas baca tulis doang. Bahkan media digital yang sedang berkembang seperti Instagram menjadi medium yang oke untuk berliterasi. Siapa yang menyangka kalau ada yang sitasi.

Bookstagram itu instagram yang digunakan untuk memposting tentang buku. Penggabungan bookstagram dan instagram, jadilah sebutannya bookstagram. Sementara penggunanya itu disebut bookstagrammer. Namun pa pengguna lebih suka menyebutnya dengan kata bookstagram atau booksta.

Apakah ada syarat untuk menjadi bookstagram? Tentu saja tidak ada ketentuan yang mengikat. Selama Anda memposting dunia tentang buku di instagram, sebutan bookstagram menjadi milik Anda. Hahaha, sesimpel itu, ya.

Alasan Menjadi Bookstagram

Banyak yang bertanya, “Kak, kenapa jadi bookstagram, sih? Kenapa nggak review produk, makanan, jalan-jalan saja. Kan lumayan tuh engagement-nya tinggi. Malah bisa dapat duit lagi.”

Well, sejujurnya saya bingung menjawab ini untuk pertama kali. Kalau jawabannya, “saya nggak cantik untuk jadi selebgram.” Jawaban ini terkesan nggak self love banget. Padahal sudah jelas kalau cantik itu relatif. Tiap perempuan cantik melalui caranya.

Ada beberapa alasan mengapa saya memilih menjadi bookstagram, bukan selebgram. Belakangan saya malah memilih menjadi studygram juga dengan pembahasan lebih dekat dengan dunia jurnalistik dan komunikasi. Nah, sementara alasan saya menjadi bookstagram sebagai berikut.

Si Kutu Buku

Keluarga besar menyebut saya ‘si gadis kamar’ karena suka mengurung diri dalam kamar. Selama ada buku bersama saya, sendiri di kamar bukan menjadi masalah untuk tidak keluar kamar lebih dari 24 jam. Terkadang justru orangtua saya yang khawatir dengan sikon saya. Pasalnya saya nggak makan dan minum, padahal saya sudah kenyang dan buku bagus.

kutu buku
[Photo: Dokumentasi Pribadi]

Bagi saya, senyaman-nyamannya sahabat sejati adalah buku. Ia tidak berkhianat, apalagi membuat sebal. Buku cenderung memberikan kebahagiaan. Suasana hati saya juga tergantung genre buku yang saya baca. Bisa bahagia seperti orang jatuh cinta setelah membaca romance, bisa gloomy setelah baca thriller, bisa jadi aneh juga karena baca horror.

Saya mengaku ekstrovert, tapi beberapa tes psikologi sederhana menyebut saya introvert. Wah, di sini saya mulai galau. Segilanya saya dengan buku, tapi saya paling suka membuka diri untuk pertemanan baru. Banyak teman baru yang saya dapatkan di kegiatan apa saja yang terikuti.

Setelah kuliah, saya baru tahu kalau sebutannya ambivert. Penggabungan karakter ekstrovert dan introvert. Namun, terlepas dari hobi membaca itu, saya nggak keberatan kalau disebut si kutu buku.

Berawal dari Blog

Saya besar di kota yang akses ke toko buku sangat sulit. Bisa dibilang, hanya ada satu toko buku yang menjual buku pelajaran terbitan penerbit tertentu. Baru ketika masuk sekolah menengah ada toko buku yang menjual buku-buku terbitan penerbit mayor sekelas Gramedia di kota kami, itupun terbatas dan mahal banget.

Selain buku, saya juga suka membaca majalah. Saya langsung mengincar rubrik cerpen, lalu resensi. Setiap edisi biasanya ada dua sampai empat resensi buku, tapi meskipun sebutannya resensi buku isinya sama sekali bukan resensi. Bisa dikatakan, itu blurb buku saja. Sebagai pembaca, saya kecewa sekali saat tidak bisa membaca atau mengetahui garis besar isi buku.

Kekecewaan ini lantas melahirkan keinginan saya untuk punya blog tentang buku. Saya yakin di luar sana ada pembaca yang mengalami rasa serupa. Kecewa, ingin tahu lebih, tapi nggak punya akses ke toko buku. Nunggu di perpustakaan? Sampai lebaran monyet, itu buku belum tentu terpajang di rak.

Alasan ini pula, saya memutuskan untuk membuat blog buku. Isinya uraian cerita tentang buku yang saya baca tanpa bermaksud spoiler, tapi ujungnya spoiler, sih. Masa itu tidak aturan meresensi buku nggak boleh spoiler. Saat menulis blog tentang buku yang saya baca, saya merasa bahagia dan bebas.

Sky Blue Diary

Dulu ada platform blog yang namanya multiply. Anak-anak kelahiran 90an dan melewati masa muda pada tahun 2000an pasti nggak asing dengan nama ini. Multiply lebih populer dari Blogspot dan Wordpress. Meski punya akun di kedua platform blog ini, saya juga punya multiply.

Saya nggak ngerti apa itu blogger, terpenting saya menulis di sana. Masa remaja saya cukup bahagia ketika menemukan sirkel dunia maya yang punya minat yang sama. Sama-sama pembaca buku dan suka posting isi buku yang dibaca di multiply. Saya namai ia dengan Sky Blue Diary.

Jangan tanya apa hubungan antara Sky Blue Diary dengan konten buku, tapi rasanya seru saja kalau nama berbau Inggris. Lebih intenasyenel (haha). Di sinilah semua catatan tentang buku yang saya ulas tertata rapi. Sky Blue Diary ini ibaratnya pustaka digital saya.

Friendster dan Facebook

Zaman saya muda juga ada yang namanya Friendster. Ia cikal bakal Facebook, sih. Menurut saya, Friendster lebih seru. Orang-orang bisa memberi testimoni untuk kita dan apa yang kita posting. Selain posting kegiatan saya sebagai mahasiswa yang ceria (ceriwis abis!). Saya juga suka membagikan buku yang saya baca di sana.

Pada masa itu, memposting tentang buku belum begitu populer. Bahkan di saat orang memposting foto kegiatan dan jalan-jalan, terasa aneh saja ada yang bagi info tentang buku yang baru dibaca. Mungkin di sirkel saya saja kali, ya.

Lalu Friendster mulai pensiun, saya beralih ke Facebook pada tahun 2008 sepertinya. Di sini lebih bebas. Semua diposting. Bahkan bisa buat album khusus buku dengan caption tentang pendapat saya tentang buku. Kalau revier tetap di blog, tapi di Facebook lebih dominan posting sampul buku dan pendapat pribadi.

Masa-masa menggunakan Facebook, saya lumayan labil banget. Suka posting, hapus, posting, hapus. Jangan tanya kenapa, setiap pengguna sebaya pasti melakukan hal yang sama.

Tugas Kuliah New Media

Dari Facebook saya beralih ke Instagram. Awalnya karena Facebook diblokir di China, jadi saya memilih memakai Instagram. Ternyata setelah satu tahun di China, Instagram juga diblokir oleh pemerintah China. Saya membuat Instagram karena usul dari sepupu. Katanya, “sayang aja kalau foto kakak di China yang keren-keren itu nggak diposting. Coba pakai Instagram juga.”

Selain instagram saya juga menggunakan Tumblr yang entah bagaimana nasibnya kini. Saya nggak pernah akses lagi. Instagram ini baru terwujud ketika mata kuliah New Media saat S2 dulu.

menjadi bookstagrammer
Buku Yellowface dengan foto estetik
[Photo: Ulfa Khairina]

Dosen kami meminta kami untuk memilih sosial media yang paling banyak digunakan di negara masing-masing. Buat nama yang unik, lalu pantau perkembangannya selama tiga bulan berdasarkan teori yang sudah kami belajar selama tiga bulan itu.

Saya memilih nama Oliverial karena berasal dari kata Olivers, julukan seorang teman-teman untuk para teman saya. By the way, di China saya dipanggil Olivia dari kata Ulfia. Kisah asal usul nama Oliverial ini juga sudah pernah saya bahas di blog.

Intinya, saya membuat akun @oliverial_ itu karena tugas kuliah dan harus dibuat papernya untuk disubmit sebagai tugas final. Saya teler, dong. Jelas, teler! Dulunya konten Oliverial itu sama sekali bukan buku, tapi opini saya terkait isu terkini. Ya, sejenis editorial lah.

TBR di Pustaka Sekolah

Kalau sekarang punya banyak TBR di rumah, tapi dulu TBR saya ada di perpustakaan. Banyak buku yang ingin saya baca dan saya curahkan ceritanya ke blog. Bahkan nggak jarang saya mendapatkan hidden gems di rak buku referensi. Saya merasa sangat beruntung.

Rasanya keberuntungan ini sayang sekali jika tidak dunia tahu. Haha, separah itu narsis saya di masa lalu. Akhirnya TBR di pustaka sekolah bisa terwujud justru karena menjadi bookstagram.

Bookstagram VS Penulis

Saya menulis, saya juga bookstagram. Akan tetapi, di berbagai grup saya lebih dikenal sebagai bookstagram ketimbang penulis. Agak ngakak, sih. Cuma inilah kenyataan yang harus diterima. Artinya, branding yang terbangun di media sosial dan dikenal orang sebagai bookstagram bukan penulis. Alhamdulillah, dikenal sebagai sesuatu yang positif.

Jadi, kalau mau jadi bookstagram bagaimana caranya? Jawabannya gampang. Punya akun instagram dulu, post tentang buku. Gasss!!

Posting Komentar

0 Komentar