Subuh
baru menyapa di Kawasan Pantai Senggigi Lombok, tapi tidak terdengar suara azan
dari kamar hotel kami pagi itu. Meskipun hari-hari biasanya juga tidak pernah
terdengar sampai ke kamar. Saya pun bingung, dimana letak masjid terdekat di
kawasan pantai ini?
Pagi
kedua di Pantai Senggigi Lombok, kami masih menginap di hotel yang sama, The
Jayakarta. Katanya salah satu hotel dengan vibe tradisional kebalian
yang tinggi. Meski tidak sepenuhnya, tapi saya setuju juga. Bunga-bunga kamboja
kuning putih yang tumbuh besar di seluruh area hotel menunjukkan kekhasan yang
selama ini dikenal ada di pulau tetangganya.
Di
dekat tangga, di selasar kamar hotel, juga di pojokan ruangan dapat ditemukan piringan
yang berisi bunga kamboja, kenikir, atau jenis bunga lainnya. Seperti bunga
sesajen yang selama ini terlihat di televisi. Jika dalam teori kultivasi
disebutkan bahwa televisi menjadi sumber informasi utama dalam ruang
pengetahuan manusia, berada di Hotel The Jayakarta terasa benar adanya.
[Photo: Antara/Ahmad Subaidi] |
Sarapan Pagi di Outdoor Restaurant
Dari
kamar hotel di lantai dua, saya dan teman jalan selama seminggu turun ke restauran.
Lokasinya tidak jauh dari kamar hotel kami menginap. Melewati taman yang
ditanami kelapa, kamboja, dan lampu taman dari kerangka kayu. Rumput hijaunya
yang rapi terlihat bebas dari kandang pacat. Nyaman sekali untuk membuat konten
foto sambil rebahan.
Memasuki
area restauran yang berhadapan dengan Pantai Senggigi Lombok, ada dua bangunan
seperti pura yang menjadi gerbang antara area kamar hotel dan fasilitas
outdoor. Di sinilah suasana pantai yang katanya kebalian terasa benar.
Halamannya luas dengan paving block. Ada beberapa dipan menghadap ke arah
pantai di tepi kolam renang luas berwarna biru. Tidak ada dedaunan jatuh ke
kolam, apalagi sampah plastik yang menjadi tamu tak diundang dalam kolam.
Restauran
di The Jakarta Hotel tampak ramai mulai pukul tujuh pagi. Pelayan di depan
pintu bersiap menyapa dengan senyum dan menanyakan nomor kamar dengan ramah. Lalu
tamu dipersilahkan masuk dengan bebas. Mencicipi apa saja di restauran sampai
puas.
Di
pagi hari, banyak hidangan yang menyenangkan dan mengenyangkan menggoda perut.
Mulai dari makanan sehat, makanan manis, sampai sarapan yang sedikit tidak
biasa untuk perut orang Indonesia. Ada beragam jus yang disediakan di bagian
kiri pintu masuk paling ujung. Mulai jus kemasan sampai jus alami. Tamu tinggal
memilih apa saja yang dia suka.
Beragam
roti juga tersedia lengkap dengan aneka selai. Bahkan ada aneka sereal yang
dilengkapi dengan susu dan krimer segala. Sayangnya, varian buah sangat sedikit
disediakan di meja. Pilihannya ada dua atau tiga antara nenas, semangka, atau pepaya
yang sudah dipotong dadu.
Sarapan
pagi di restauran outdoor ini belum lengkap dan kurang menyenangkan seandainya
tidak ada pesona pagi di Pantai Senggigi Lombok. Ya, panorama laut yang luar
biasa tenang dan ramai. Perahu layar berwarna putih yang lalu lalang menuju ke
berbagai tujuan menjadi pemandangan tersendiri. Bahkan matahari pagi yang
membakar terasa indah dan tidak ada duanya.
Jajaran Pohon Nipah di Pantai Senggigi Lombok
Pagi
hari pada jam sarapan, tidak ada yang terlihat berenang di kolam. Selepas
berolahraga usai Subuh, biasanya para tamu akan berjalan-jalan ke pantai pasir
putih kecoklatan dengan kaki telanjang.
Ada
ayunan lebar yang dibangun di tepi pantai menghadap ke laut. Para tamu dapat
menikmati panorama matahari terbit dan terbenam di sini sambil merencanakan
hari esok yang lebih baik. Di pagi hari, belum ada pedagang bibir pantai yang
menjajakan dagangan. Namun pesona Pantai Senggigi Lombok justru lebih terasa
Indonesia dengan jajaran bule yang bermain di pasir.
Berbeda
dengan pantai di Lombok bagian lain, di Pantai Senggigi Lombok pohon nipah
seperti tentara yang mengawal pantai. jajaran pohon nipah menjadi pagar
sepanjang pantai. Buahnya seperti nenas bulat yang menggantung, berwarna hijau
sampai keorenan dengan daun seperti pandan berduri.
Di
Aceh Barat pohon nipah menjadi lambang sebuah pergerakan melawan penjajah
sebelum kemerdekaan. Dalam sebuah tulisan feature yang apik, Mellyan menuturkan
bagaimana para masyarakat Aceh bergerilya melawan penjajah di Rawa Nipah. Titik
gerilya itu kemudian dibangun monumen tugu nipah dengan bentuk parang dan buah
nipah yang dicincang.
Setiap
melihat jajaran pohon nipah, semangat gerilya itu pula yang meluncur liar di
dalam kepala saya. Bahkan ketika berada di Pantai Senggigi Lombok, memandangi
masyarakat lokal melewati pagi dengan semangat menafkahi keluarganya seperti
prajurit yang bergerilya pantang menyerah.
Tarek Pukat
Hal
yang setiap pagi membuat betah berada di Pantai Senggigi Lombok adalah melihat
warga. Para lelaki berbaris sepanjang parahu yang sudah mendarat di pasir
putih. Mereka bahu membahu menarik jala hasil melaut semalam. Di Aceh, kami
mengenalnya dengan istilah tarek pukat.
Tarek pukat masih menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di Pantai Senggigi Lombok [Photo: Ulfa Khairina] |
Para
lelaki bahu membahu menarik dengan meyorakkan yel penyemangat. Terkadang ikan
besar mereka dapatkan, di lain waktu ikan kecil mereka syukuri. Tentu saja ada
yang lebih berbahagia, para ibu dan anak yang menonton tarek pukat dengan mata
berbinar. Senyum mereka tersungging penuh dengan harapan akan banyak ikan besar
yang mereka dapat.
Hasil
tangkapan itu mereka jajakan di tepi jalan. Tidak mahal, empat ekor sebesar Rp
100 ribu saja sudah dipanggang. Lengkap dengan sambal khas Lombok yang pedas
dan membahagiakan lidah para penikmat rasa.
Para Panjaja di Pantai Senggigi Lombok
Selain
menjual makanan, di Pantai Senggigi Lombok juga menawarkan berbagai cindera
mata yang harganya lebih murah daripada toko souvenir di dua toko besar di
Senggigi. Ada saja yang mereka jual. Mulai dari gelang manik yang murah, gelang
mutiara, bros mutiara partai besar dan kecil, baju Kaos Lombok, sampai barang
yang lebih mahal.
Para
penjaja duduk di atas pasir menghadap ke bagian belakang hotel. Barang dagangan
ditumpuk di atas terpal. Ada bangku kecil yang diletakkan di depan daganggan
untuk para pembeli. Kalau saja mereka ingin berbelanja sambil memilih. Meskipun
banyak yang hanya datang untuk melihat-lihat saja, para penjaja di di Pantai
Senggigi Lombok tidak menyerah dengan nasib.
Mereka
tetap melayani dengan senyum. Padahal para pembeli sering memberi harapan palsu
dengan basa basi, “nanti, ya. Kami balik nanti.” Ada yang mengangguk dengan
tersenyum, ada pula yang bergeming dengan air muka kecewa.
Ada
pula pedagang yang mengutamakan keberkahan rezekinya dengan bertemu Tuhannya
setiap azan memanggil. Mereka tidak ragu meninggalkan dagangan dalam kondisi terbuka
demi mendirikan shalat. Baginya semua yang dia punya adalah milik Tuhan. Rezekinya
tergantung pada usahanya, tapi apa yang menjadi miliknya tidak kekal. Maka dia lebih
memilih shalat dibandingkan melayani pembeli yang sedang ramai mendatangi
dagangannya.
Langit Merah di Kaki Langit
Kata
orang, Pantai Senggigi Lombok dikenal dengan keindahan sunset. Ini pula yang
menjadi daya tarik wisatawan selama ini. Terutama sebelum gempa mengguncang
Lombok pada tahun 2018 dan merusak perekonomian kreatif masyarakat Senggigi. Saat
ekonomi kreatif Lombok mulai bangkit, justru pandemi kembali menekan bisnis
pariwisata di Lombok Barat. Ditambah lagi melejitnya Kuta Mandalika sebagai
spot pariwisata yang lebih kekinian dan pantai yang menjanjikan. Pantai Senggigi
Lombok seperti dikucilkan.
Satu
hal yang dimiliki oleh Pantai Senggigi Lombok dan tidak akan pernah berubah
oleh perubahan perilaku manusia. Langit merah di kaki langit di setiap senja
selalu memberi pesona tersendiri. Pantai Senggigi Lombok dengan sunsetnya
selalu berhasil menarik kembali para pelancong pecinta fenomena alam semesta.
Di pantai
Senggigi Lombok, kita bisa melihat semburat kuning, jingga, hingga merah dalam
sekali tatapan. Permukaan air laut yang tenang seperti melahap lingkaran jingga
matahari dalam lautan. Kaki langit seperti menumpahkan darah begitu matahari
perlahan memasuki permukaan laut dan hilang di kaki langit.
Merindu Pagi di Senggigi
Jika
ditanya apa yang membuat saya merindukan Sengigi, saya merindukan pagi di Senggigi
dengan segala aktivitasnya. Pasir lembut yang menyentu kaki, deretan pohon
nipah yang berbuah besar, perahu layar yang memebuhi lautan, serta matahari
terbit dan terbenam setiap hari.
Saya juga rindu pagi di Senggigi ketika mengobrol dengan warga lokal. Bertanya ini dan itu, menikmati obrolan mereka yang sederhana. Urusan pekerjaan seketika lenyap saat berbincang dengan para amak dan inak di Pantai Senggigi Lombok.
Apakah saya akan kembali untuk ini? Saya percaya, kekuatan langkah akan mengundang untuk datang kembali. Semoga dalam waktu dekat, saya bisa datang dengan langkah yang lebih ringan dan lebih bebas. Tidak terikat urusan dinas.
0 Komentar