Melihat Diri di Cermin Apa yang Menarik Hari Ini? (Diday Tea)

 Sebelum bercerita lebih lanjut, saya ingin berbagi pengalaman sederhana tentang Kang Diday Tea dan namanya. Ya, tentang sebuah nama. Sejak pertama kali saya mengikuti beliau di Instagram, saya selalu menyebut namanya dengan ‘didei ti’ alias di hari teh dengan penafsiran di hari minum teh sambil membaca buku.

Well, selain menulis Kang Diday Tea ini juga kerap membagikan postingan tentang buku di Instagram dengan berbagai konsep. Jadi, tidak heran kalau penafsiran saya bisa sejauh ini. Sampai beberapa hari sebelum artikel ini saya tulis, sebuah konten berbentuk reel di Instagram menyebut nama beliau dengan kata, “Didai teya!”


[Photo: Pexels/Chris Clark]


What? What?

Ini saya nggak salah dengar, kan? Sampai akhirnya saya menghubungi langsung sang pemilik nama melalui direct message Instagram. Tanya-tanya soal nama dan artinya. Juga sebuah pengakuan dosa kalau saya salah menyebut nama beliau itu.

“Itu kayak kata imbuhan atau ungkapan di dalam bahasa Sunda. Untuk mempertegas kata sebelumnya. Si itu “tuh”. Nah, kata “tuh” itu kurang lebih penggunaannya.”

Gubrak!! Saya salah, dong. Jadi, selama ini semua orang Sunda yang ada kata tea di belakang nama bisa jadi punya arti nama yang sama dengan Kak Diday. Dan dengan lucunya saya malah memanggil mereka semua dengan kata tea alias teh. Tanpa klarifikasi dan tanya-tanya, saya justru menyimpulkan kalau orang Sunda suka minum teh sampai disematkan di belakang nama.

Konsep penggunaan tea di belakang nama ini mungkin sama dengan kebanyakan orang Aceh meletakkan nama kampung halaman asal di belakang nama. Mereka merasa nyaman dan dan bangga dengan asal daerah, apalagi kalau sudah terkenal. Sebut saja nama-nama seperti Sulaiman Tripa yang berasal dari Kuala Tripa. Ada Muchlis Gayo yang berasal dari Takengon dan beliau meletakkan nama sukunya di belakang nama. Ada juga senior saya yang justru lebih femes dengan nama pena daripada nama asli, Junaidi Mulieng yang berasal dari Simpang Mulieng, Aceh Utara. Bahkan saya merasa kalau namanya Junaidi saja jadi kedengaran asing.


[Photo: Pexels/Samson Katt]

Kalau Kang Diday mengikuti konsep penamaan Aceh, mungkin namanya bukan Diday Tea, tapi Diday Cilegon atau Diday Bandung atau Diday Sunda. Nah, inilah awalnya saya berkenalan dan akhirnya masuk ke buku yang berjudul Apa Kabar Hari Ini?

Judul Nyentrik, Isi Menarik

Membaca judul Apa Kabar Hari Ini? saya merasa buku ini sangat SKSD alias sok kenal sok dekat dengan pembacanya. Namun kebanyakan di dunia nyata, orang yang sering dijuluki dengan SKSD memang orang yang asyik. Kita merasa nyaman berteman dengannya bahkan berbagi cerita dalam ruang tawa tanpa sungkan.

Saya menemukan hal ini dari buku Apa Kabar Hari Ini? seperti membaca status Facebook panjang. Kebetulan, saya juga suka menulis status Facebook panjang-panjang. Seperti kebetulan yang sangat betul-betul, ya. Setiap bab memiliki hikmah luar biasa. Bahkan saya seperti melihat diri saya di fase yang lain saat beberapa bab sudah selesai dibaca.

Cermin Pertama: Dialog Lima Belas Juta

“Uang yang kita belanjakan untuk membeli buku atau “membeli” ilmu, kemampuan baru, dan pengetahuan baru pasti akan kembali kepada kita dengan jumlah yang jauh lebih besar.”

Saya setuju dengan kutipan pembuka di atas dan saya melakukannya. Akan tetapi berada di lingkungan orang yang tidak satu frekwensi memang membuat kita jadi terlihat aneh. Bagaimana tidak, jumlah lima belas juta itu terlalu bernilai untuk membeli sesuatu yang lebih besar.


[Photo: Pexels]


“Ya, ampun, Kak! Kenapa kamu bodoh sekali. Padahal dari segi usia kamu itu jauh lebih tua daripada aku, Kak. Kenapa kamu nggak pakai otak saat keluarin duit. Kalau nggak mau atau nggak tahu mau dibawa kemana uangnya, kasih saja aku,” begitu komentar seorang rekan ketika aku mengatakan uang hibah penelitian sebesar 15 juta sudah dibelikan buku.

Saya merasa tidak bersalah untuk membeli buku dari uang penelitian. Toh, uang itu memang diberikan untuk pengembangan diri. Pengembangan kapasitas dosen. Bukan untuk membuat pagar rumah yang memang saat ini saya sangat butuhkan, kan? Namun di mata banyak orang saya bodoh.

Padahal buku-buku yang saya beli itu tidak mubazir. Saya membeli buku-buku yang ada kaitannya dengan kebutuhan mahasiswa karena mahasiswa kekurangan referensi dari perpustakaan. Pun daerah kami tinggal bukan daerah yang akses ke toko buku mudah. Ditambah lagi, mahasiswa saya sebagian besar dari keluarga tidak mampu. Jadi, membeli buku-buku dengan uang hibah penelitian adalah bentuk investasi saya untuk penerus generasi bangsa.

Lantas si rekan berkata, “aku serius banget ikut ajuin proposal penelitian tahun ini karena punya target. Aku ingin beli laptop baru. Bagi kita, laptop ini adalah cangkul untuk bekerja. Kenapa kakak nggak beli laptop saja, Kak? Uang lima belas juta itu kakak bisa dapat dua laptop kayak milikku, lho.”

Saya dicerahami habis-habisan, lho. Bukan hanya satu orang, tapi oleh banyak orang karena dianggap bodoh dan tidak punya otak menggunakan uang. Mereka tidak tahu saya untung banyak dengan membelikan buku-buku itu. Memang para mahasiswa itu tidak bisa mengembalikan buku yang sudah saya beli. Mereka tidak akan menggantinya.

Kemudahan yang mereka dapatkan ketika menulis dan sidang karena referensi yang saya beli adalah kemudahan bagi saya. Saya tidak perlu memijit kening lagi saat berhadapan dengan bundelan skripsi miskin referensi. Tidak sama sekali. saya justru mendapatkan hal besar dengan memudahkan diri sendiri untuk menulis jurnal tanpa harus ngeluh sana sini dan komen sana sini tentang terbatasnya referensi di perpustakaan.

Sayangnya, nggak semua paham bahwa ilmu lebih berharga daripada harta. Apa yang ingin saya capai pun orang tidak mau tahu selama itu tidak berkaitan dengan harta benda. Saat saya membelanjakan uang lima belas juta untuk buku, orang-orang mengkalkulasikan apa yang bisa saya habiskan jika terlalu bodoh membelanjakan uang.


[Photo: Pexels/ Ryan West]


“Akhir tahun kamu bisa buat DP mobil, Fa. Tinggal nambah lima juta lagi yang bisa kamu cicil dari sekarang untuk mobil itu lumayan banget. Beli buku? Untuk apa, Fa?”

“Pagar rumah, lho, lebih urgen. Kalau borosmu beli buku itu masih kayak gini. Jangankan pagar rumah, bayar iuran komplek bulanan saja kamu bakalan ngadat, Fa.”

“Kapan suksesnya kalau nggak bisa kelola uang dengan baik. Uang segepok kok dipakai untuk beli sampah.”

What? Sampah?

Ya, bagi sebagian orang, buku yang sudah selesai dibaca bukan disimpan, tapi dibuang seperti sampah. Satu sisi saya ingin nangis, di sisi lain saya merasa kasihan perbedaan sudut pandang ini.

Cermin Kedua: Usus Buntu Gadungan

“Kondisi tubuh seringkali bergantung pada suasana hati. Hati yang galau akan membuat tubuh bereaksi dan bisa tiba-tiba menimbulkan penyakit.”

Kalimat di atas memang benar adanya. Meskipun dalam hal ini kasus saya dan Kang Diday Tea berbeda. Kalau Kang Diday karena gebetannya menikah dengan lelaki lain, kalau saya karena menunggu pengumuman kelulusan ASN Kemenag pada tahun 2018.

Ceritanya saya salah melihat formasi jumlah yang diterima. Formasi yang saya terima tertulis bahwa satker tempat saya bekerja sekarang menampung dua orang untuk formasi umum dan dua orang untuk formasi cumclaude. Awalnya saya tidak begitu berharap pada CPNS ini, apalagi di awal saya sudah merasa kalah.

Siapa yang menyangka kalau tiba-tiba nama saya masuk dalam daftar yang lolos ke tahap Seleksi Kamampuan Bidang (SKB) bersama dua orang lain. Saya kenal salah satunya adalah adik angkatan saya di kampus. Dia juga lolos ke tahap SKB. Saya masih bahagia karena paling-paling yang tersingkir hanya satu.

Entah kepercayaan diri dari mana, saya yakin sekali kalau saya akan masuk dalam salah satu yang akan lolos. Kemungkinan besar yang akan bertarung itu adik angkatan saya dengan nama lain yang saya tidak kenal. Kebahagiaan saya hanya sebentar, karena tiba-tiba suami saya yang merusak momen percaya diri dan bahagia itu.

“Dari mana tahu mereka menerima dua orang? Kalau totalnya dua iya,” kata suami dengan tenang.

“Nggak. Masing-masing dua. Kalau totalnya empat. Kalau mereka mengubah kebijakan maka tidak ada yang tersingkir. Semuanya akan lulus,” kata saya masih pede.

Lantas dengan ketenangan sempurna suami menunjukkan pengumuman resmi dengan formasi yang jelas tertulis di sana. Total dua orang, satu untuk formasi umum dan satu untuk formasi prestasi. Ketiga calon peserta terdaftar di formasi umum dan formasi prestasi kosong.

Jreng, jreng! Mulailah saya galau. Bukan karena aroma gagal menjadi PNS itu yang membuat saya galau. Bagi saya gagal itu sudah biasa. Akan tetapi, kegagalan untuk pindah rumah yang membuat saya galau.

Sejak mengikuti SKB dan melihat apa kualifikasi lawan saya, kegalauan semakin nyata. Malahan saya mulai sakit. Demam, mencret, dan mual. Berulang kali saya ke rumah sakit tapi nggak ada hasilnya. Obatnya hanya satu, pengumuman!

[Photo: Pexels]

Begitu pengumuman kelulusan keluar dan teman saya dari Meulaboh menelepon mengatakan saya lulus. Saya sujud syukur dan menangis sejadinya. Akhirnya saya pindah rumah!

Sebenarnya, kalau saya ikhlas dan berserah pada Allah SWT semua masalah selesai. Sebagai manusia, saya masih terkesan ‘terlalu memaksa’ kehendak. Seolah-olah tanpa lulus ASN saya nggak akan pindah rumah. Padahal rumah sudah ada dan tinggal di tempati. Kesabaran saja yang setipis tissue.

Posting Komentar

0 Komentar