Buku Psichology of Money yang ditulis oleh Morgan Housel belakangan menjadi buku yang kerap direkomendasikan oleh bookfluencer. Psichology of Money sempat menjadi trending dan salah satu buku nonfiksi yang wajib banget dibaca setidaknya sekali seumur hidup. Begitu kata para bookfluencer dalam ulasannya.
Sebagai orang yang tidak terlalu ikut trend bacaan
yang sedang hype, saya hanya membeli
dan menimbun buku tersebut. Menunggu sampai mood
membaca benar-benar menghampiri dengan senang hati, sehingga saya dapat
mengulas dengan ikhlas dan jujur. Bukan sekedar ikut trend dan tergolong update bacaan.
[Photo: Created by Canva] |
Sampai akhirnya, setelah menimpun lebih dari
setahun akhirnya giliran si Psichology of
Money ini mendapat titah untuk menemani hari-hari saya. Entah mengapa,
tetiba saja saya ingin membaca buku ini tanpa alasan. Bukan karena rekomendasi
para bookfluencer, mungkin karena
pengaturan keuangan saya yang sedang kacau sejak awal tahun. Berapa yang ada
statusnya cukup, stress pun pelariannya check
out barang di Shopee.
Saya tidak membaca buku Psichology of Money saja. Sambil membaca buku ini, ada beberapa
buku yang berkaitan dengan finansial lain yang saya baca. Dua di antaranya buku
Beli Karena Butuh (Andi Sri Wahyuni)
dan Kakeibo (AE Zen) yang
mendampingi. Tentu saja, artikel tentang finansial yang selalu menjadi tujuan
jelajah ketika berselancar di dunia informasi maya juga menjadi bagiannya.
Tidak semua buku yang saya baca dimulai dari kata
pengantar. Khusus untuk Psichology of
Money ini saya tertarik dengan kata pengantar penulis. Saya akui gaya
penulisan dan terjemahannya cukup bagus. Saya pun tertampar dengan sebuah
kutipan di dalam kata pengantar yang disampaikan oleh penulis.
Pengelolaan uang tidak bergantung pada kecerdasan. [Photo: Pexels] |
“Mengelola
uang dengan baik tidak ada hubungannya dengan kecerdasan Anda dan lebih banyak
berhubungan dengan perilaku Anda. Dan perilaku sukar diajarkan, bahkan kepada
orang-orang yang sangat cerdas.” (Housel, 2021: xviii).
Seketika saya teringat kejadian belakangan yang
cenderung buang-buang uang. Dulu ketika masih mahasiswa S2, teman saya memberi
istilah dengan kata-kata ‘belanja untuk sampah’. Kali ini terjadi lagi. Kutipan
dalam buku Psichology of Money
menjadi sebuah refleksi untuk kejadian pada hari Minggu pagi yang basah.
Belanja
Dapur Via Kurir
Bagi masyarakat yang tinggal di Meulaboh, tentu
sudah tidak asing dengan keberadaan jasa kurir untuk titip ambil belanjaan,
pesan makanan, dan belanja ke pasar. Saat ini bukan hanya satu, tetapi ada
beberapa pelayanan kurir sekaligus. Saya biasa menggunakan jasa mereka
belakangan meski pengantaran ke tempat saya lumayan pricey. Ini salah satu sentilan kuat dalam kata pengantar buku Psichology of Money, orang berpendidikan
belum tentu cerdas dalam finansial.
Saya mengakuinya. Meski sudah hitung-hitungan
sedemikian rupa, saya pun bisa salah dan terjebak dengan euforia belanja tanpa
berpindah ini. Dulunya saya kerap belanja bulanan melalui kurir karena jarak
yang harus saya tempuh dari rumah ke pasar memang lumayan jauh. Apalagi sejak
saya memiliki bayi dan sulit keluar karena tidak ada yang jaga. Ongkir Rp 17
ribu itu sudah terkatagorikan dalam biaya untuk waktu dan ketenangan hati
ketika meninggalkan anak.
Selama ini tidak pernah ada masalah. Saya mengirim
pesan, kemudian dibalas admin, lalu kurir menelepon, pesanan diantar sesuai
pesanan. Sebagai orang dengan karakter plegmatis, saya suka hal-hal yang detil.
List belanjaan pun saya tulis sedetil mungkin dengan tujuan agar kurir tidak
bingung dan tidak perlu menelepon bolak balik. Saya tidak tiap menit bersama
ponsel toh.
Belanja daring bagian dari solusi inovasi.
[Photo: Pexels]
Kali ini saya terkejut. Saat admin mengirim tarif
jasa yang bisa buat beli bakso tiga porsi. Saya tanya, kenapa terlalu mahal,
apa salah hitung. Sebenarnya saya mau cancel
belanjaan, tapi kurir sudah masuk pasar dan menelepon saya untuk
konfirmasi. Kasihan kurir, saya tetap lanjut belanja dan memperlurus urusan
tarif jasa dengan admin.
Sementara kurir belanja, admin mengirim kembali
daftar belanjaan dengan kode-kode yang berbeda. Ternyata itu kode berdasarkan
tempat belanjaannya. Beda tempat, tambah Rp 2 ribu. Saya agak kaget, karena
yang tersebar di promo media sosial belanja apa saja masuk katagori pasar.
Tentu saja, sebagai emak yang sedang belajar
menata kembali cara berbelanja saya mempertanyakan ini. Jawaban admin sungguh
membuat saya mengerutkan kening. Katanya, “iya, Kak. Ini karena kakak
menuliskan nominal di orderannya. Kalau nggak ditulis nominal, baru dihitung
pasar. Hitungan kita perkilo ya, Kak.”
Lho, lho. Dulu tidak begitu, kenapa sekarang
begini. Sebagai orang dengan karakter plegmatis, lantas saya menjelaskan alasan
saya membuat nominal. Apalagi kalau bukan agar kurir nggak telp bolak balik.
Selain menghemat kuota dan pulsa, kurir juga lebih berbelanja. Sebagai
pelanggan yang kecewa, saya menyarankan agar hal seperti ini dijelaskan pada media
sosialnya.
Jawabannya memang baik. Mereka mempertimbangkan
saran saya dan mengucapkan terima kasih. Tarif jasa juga berkurang karena
ternyata mereka juga ada kesalahan perhitungan. Awalnya mereka melihat ada lima
tempat belanja, ternyata setelah saya cek hanya ada empat. Mereka memperbaiki
dengan pengurangan tarif jasa. Saya pun ikhlas dan terima, sekaligus menjadikan
pengalaman ini sebagai pelajaran.
Pengalaman adalah harga dari sebuah pelajaran hidup. [Photo: Pexels] |
Kenyataan lainnya apa yang terjadi di belakang
saya. Sepertinya kurir dan admin marah-marah dan sepakat mengerjai saya. Tidak
selama biasanya, kurir sampai di depan rumah dengan belanjaan yang tidak
banyak. Saya menyambutnya dengan pertanyaan, “berapa totalannya, Pak? Tarif
jasa kurang Rp 2 ribu, kan?”
“Belum saya hitung!” jawabnya ketus. Kurir
meletakkan semua belanjaan di teras. Termasuk ikan yang tidak bagus-bagus amat
kualitasnya. Aroma dan airnya sampai mengundang lalat.
Di tangan saya sudah ada uang sebesar Rp 200 ribu
rupiah. Kurir memerintah saya untuk menggunakan kalkulator. Dia juga sudah
memilah beberapa tumpuk belanjaan sesuai dengan tempat belanja.
“Saya yang belanja, bukan admin. Saya yang tahu
berapa tarif jasa, bukan admin!” katanya dengan intonasi tinggi. Saya sempat speechless. Meski begitu, saya turuti
juga untuk menghitung belanjaan dengan kalkulator ponsel saya.
Hasilnya saya harus membayar tarif jasa sebesar Rp
60 ribu. Tentu saja saya kaget, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Tanpa basa
basi lagi si kurir pergi melewati jalan lembab setelah hujan mengguyurr sejak
pagi. Serius, kali ini saya menyesal menggunakan jasa kurir untuk belanja.
Inovasi
Perusak Stabilitas Keuangan
Sekali dua kali, apalagi jika pesannya barengan
dengan teman-teman lain. Belanja dengan jasa kurir ini bukanlah hal yang
merugikan. Apalagi jika rembukan ramai-ramai. Terkadang Cuma butuh pengeluaran
seharga parkir saja untuk belanja. Sekali dua kali lebih mudah dan diuntungkan.
Selanjutnya candu yang didukung mager akhirnya menjadi gaya hidup.
Kemudahan belanja daring adalah candu. [Photo: Pexels] |
Belanja dengan metode ini tanpa kita sadari
merusak stabilitas keuangan pribadi. Bagaimana tidak? Kemudahan justru membuat
kita tidak sadar membayar tarif yang sedikit demi sedikit justru menjadi jumlah
yang besar. Belum lagi jika ada kejadian belanja yang kita pesan tidak sesuai
ekspektasi, semisal ada bahan makanan yang busuk. Kita terpaksa membuangnya
bukan?
Terkadang demi memikirkan hemat ongkir atau
menggenapi minimal belanja justru terjebak membeli barang yang tidak
dibutuhkan. Tanpa sadar juga, barang yang tidak dibutuhkan yang dianggap akan
dibutuhkan nanti menjadi senjata yang paling tajam untuk membuat kita ‘jatuh
miskin’ di awal bulan.
Dalam kata pengantar buku Psichology of Money, ini pula yang coba disampaikan oleh Morgan
Housel tentang jatuhnya seorang konglomerat. Bagaimana seseorang yang sangat
cerdas bisa jatuh miskin karena pengelolaan yang salah. Tanpa kita sadari,
banyak orang yang membuat kesalahan dalam pengelolaan keuangan.
Satu kutipan dari buku Psichology of Money yang berkaitan dengan kejadian menggunakan jasa kurir untuk belanja ini cukup jleb. Dalam buku Psichology of Money Morgan Housel berkata, “Anda harus memberi ruang untuk kesalahan. Anda harus merencanakan rencana Anda tak berjalana sesuai rencana.”
Hmmm, harga sebuah pengalaman cukup mahal, ya!
2 Komentar
Ini merupakan salah satu buku favoritku. Beli karena terpengaruh bookfluencer, banyak yang bilang bukunya bagus. Fomo lah diri ini. Tapi, nggak nyesel. Bukunya emang sebagus itu dan berguna banget untuk orang yang boros kayak saya
BalasHapusHahaha. Kok sama ya
Hapus