Rapat Kerja (Raker) merupakan suatu agenda tahunan yang kerap dilakukan oleh sebuah instansi secara berkala. Biasanya tempat pelaksanaannya akan keluar dari lokasi instansi berada. Yach, karena memang tujuannya bukan hanya untuk rapat sampai tengah malam, tetapi ada momen healing tipis-tipis untuk pesertanya.
Tahun
ini raker dilaksanakan di salah satu hotel baru dan cukup bergaung di Aceh
Tengah. Tentu saja, sebagai raker pertama untuk saya ini cukup berkesan. Selain
tidak jauh dari rumah, kegalauan saya untuk bayi berumur 18 bulan sedikit
teratasi.
[Photo: Pexels] |
Awalnya
saya bertekad tidak ikut. Beberapa teman mengatakan kalau raker tidak akan
sepadat yang dibayangkan. Beberapa yang lain menyarankan untuk ikut saja,
katanya sekalian pulang kampung. Saya memutuskan ikut dua hari sebelum surat
tugas dikeluarkan. Itu pun saya sempat berpikir untuk pulang lebih awal sehari
agar bayi saya terbiasa dengan neneknya. Sayangnya, beberapa armada yang saya
hubungi tidak berangkat dari Meulaboh.
Keputusan
untuk berangkat di Kamis pagi saya putuskan ketika mencari armada ke loket. Lalu
saya juga memutuskan untuk berangkat bareng bersama Nina dan Yulia, dua rekan
kerja yang ber-homebase di Jurusan
Syariah dan Ekonomi Islam. Saya pikir lebih aman berangkat dengan mereka dan
punya teman ngobrol di perjalanan. Lagipula keduanya sudah punya anak dan tentu
bisa mengatasi serta memahami anak saya.
Saya
sudah putuskan untuk turun di rumah dulu, setelah maghrib akan ke hotel diantar
oleh adik lelaki. Ternyata rencana berubah. Mopen L300 yang awalnya janji akan
berangkat pukul sembilan pagi mengubah rencana untuk berangkat pukul sepuluh. Itu
pun bukan berangkat, mereka menunggu penumpang satu orang lagi karena katanya
ada empat orang yang membatalkan orderan.
Lima
orang yang sudah pasti berangkat pagi itu bertambah dua orang lagi dari
instansi kami. Kami tidak memesan rombongan, tetapi kebetulan jadi rombongan. Mobil
baru benar-benar bergerak pada pukul dua belas kurang tujuh menit. Kami meninggalkan
komplek perumahan saya tinggal dan melaju ke Aceh Tengah melewati jalur
Beutong.
Saya
pikir kami akan makan siang di RM. Aceh Setia, satu-satunya warung nasi di
hutan antara gunung Singah Mata dan Gunung di dekat Tanoh Depet. Ternyata tidak,
Bang Yaumil (supir) memilih makan di Simpang Peut Nagan Raya. Menunya enak dan
harganya juga lebih terjangkau. Meski ada drama bayi saya muntah di warung nasi
orang. Untungnya ada kamar mandi dan bisa membersihkan si bayi dan mencuci
separuh pakaian yang terkena muntah.
Perjalanan
selanjutnya aman. Meskipun saya dapat merasakan perut si bayi kembung dan
bunyi-bunyi angin terdengar halus. Dia bisa tidur nyenyak dan tidak rewel
sampai tiba ke hotel. Turun di rumah batal, akhirnya saya turun di hotel karena
beberapa pesan masuk dan telepon ke Whatapp saya selama perjalanan. Something happened.
Faiza
mengirimkan pesan di Whatapp tentang kamar kami. Katanya kamar 444, triple four. Angka cantik, semoga saja
pemandangannya juga sama cantik. Begitu pikir saya. Tidak ada pikiran aneh-aneh
dengan mengaitkan mitos ini itu dari negara sana sini.
Saya
masuk ke kamar yang bukan terlihat saja nyaman. Begitu kaki menginjak ke sana,
kamarnya juga nyaman. Memang ada minus-minusnya, seperti keset yang terlupakan
di depan pintu kamar mandi. Wastafel yang tidak berfungsi. Faiza juga
mengatakan kalau air panasnya tidak berfungsi. So far so good selain dua hal tadi yang memang agak sering terjadi
jika pesan kamar kolektif untuk rombongan. Meski raker pertama, tetapi ini
bukan pengalaman menginap di hotel pertama untuk urusan pelatihan atau
sejenisnya.
Usai
mandi dan berganti pakaian, saya mengantar anak ke rumah. Sebelum maghrib
tentunya. Di lorong kamar kami, si bayi sangat riang gembira. Saya menyuruhnya
melambaikan tangan pada Faiza. Si bayi mengikuti dan tak henti melambaikan
tangan sampai masuk lift. Faiza mengantar sampai ke depan hotel, si bayi masih
melambaikan tangan. Begitu menyadari Faiza tidak ikut. Dia menangis keras
sekali, “amaahhhhh izaaa..!!”
Usai
maghrib, saya kembali ke hotel dan makan malam di sana. Tidak ada yang aneh
selain obrolan ini itu tentang kejadian ‘orang dewasa yang lucu’ di tiap
kegiatan. Saya makan banyak karena makanannya enak. Kebetulan ada sambal terasi
khas Gayo yang memang cocok di lidah. Tentu saja saya nggak menyia-nyiakan
momen bahagia memberi perut makanan enak.
Kami
ikut pembukaan seperti biasa, mendengarkan pemateri menyampaikan informasi,
foto-foto, dan coffee break tengah
malam. Satu yang saya hindari, tidak menyentuh kopi karena insomnia saya tanpa
kopi saja sudah lumayan parah. Tanpa diduga, saya malah bertemu dengan adik
kelas yang sudah bekerja di IAIN Takengon sebagai staf humas. Dulu dia
menyelesaikan S2 di Nanjing Normal University dan mendapatkan istri impor dari
Pulau Jawa. Dia seorang model.
Kami
bercerita banyak tentang kegiatan sehari-hari dan bagaimana kehidupan setelah
kuliah. Yach, normalnya orang pulang dari luar negeri lah. Kami berfoto bertiga
tambah Heri. Saya baru tahu kalau Heri teryata seniornya. Saya nyaris tidak
mengenal adik kelas saya ini, kalau saja dia tidak menyapa dengan sapaan, “Kak
Olive.” Meski agak memalukan dipakai di Aceh, tapi ini nama populer saya ketika
di China dan teman-teman hanya mengenal nama Olivia Khairina. Ntahlah, mereka
agak keseleo lidah menyebut Ulfa menjadi Ulfia dan terpelintir menjadi Olivia.
[Photo: Pexels] |
Malam
itu si bayi belum begitu normal dengan misyiknya. Berdua dengan Faiza kami
melaju ke rumah untuk menjemput si bayi. Saya mempercayakan Faiza yang menngenderai
sepeda motor pinjaman dari salah satu panitia. Selain Faiza lebih tinggi, jam
terbangnya lebih banyak, dia juga terbiasa dengan jalanan model apapun. Jujur
saja, mata saya agak kurang awas dengan jalanan malam karena hampir tidak
pernah keluar malam. Bisa terhitung jari untuk keluar malam.
Cerita
seru kami dimulai. Faiza dan saya memilih masuk ke kamar. Si bayi tidak jadi
tidur. Dia memilih main dulu. Berputar ke sana kemari sambil melihat ini dan
itu. Lagaknya seperti petugas uji kelayakan kamar hotel. Semua dia periksa tanpa
terkecuali. Saya sampai menutup telepon kamar dengan kain bedong karena dipakai
si bayi untuk menelepon jasa layanan melalui nomor-nomor pintas.
Faiza
turun ke aula. Katanya ada momen foto jurusan Tarbiyah dan Pendidikan Islam. Sepeninggal
Faiza, saya dan si bayi sibuk berdua. Lari-lari, ketawa sana sini, dan nonton drama
China di Anteve. Ada drama Legenda dan
Cinta Pendekar Rajawali yang sudah pernah saya tonton pada tahun 2020. Di TV,
Li Yitong nggak secantik di HP. Wajahnya agak-agak buram dan pancaran imutnya tertutupi
aura debu TV yang melekat.
Si
bayi cukup aman. Bahkan ketika saya pamit ke kamar mandi dan shalat dia biasa
saja. Tenang di atas ranjang dengan remote TV di tangan. Dia suka meniru
gerakan silat yang dilakukan oleh Kwee Ceng dan Hua Rong. Satu yang agak aneh,
tapi saya nggak sadar. Si bayi suka melambaikan tangan seperti melambaikan
tangan pada seseorang. Biasalah, dia suka lambaikan tangan pada Li Yitong yang
muncul di TV.
Ketika
Faiza kembali, dia langsung masuk ke dalam selimut. Sementara saya terserang
sindrom insomnia karena terlalu lelah dan sudah lewat jam tidur. Si bayi sudah
tidur, tetapi saya tidak bisa memejamkan mata. Begitu mata terpejam, si bayi
malah menangis. giliran saya menenangkan si bayi dan mata mulai sayu. Saya malah
melihat Faiza bangun.
[Photo: Pexels] |
Faiza
bangun? Ya, Faiza bangun. Saya pikir Faiza ke kamar mandi, tetapi tidak
terdengar suara pintu kamar mandi terbuka atau tertutup. Tidak juga suara
airnya. Saya tetap memilih tidur.
Paginya
saya bersiap untuk mengantarkan si bayi dengan Faiza ke rumah. kami berencana
naik becak jika tidak ada yang bisa meminjamkan motor. Saya bertanya pada
Faiza, “semalam Fai ada bangun?”
“Ada,”
jawab Fai.
“Ke
kamar mandi?”
“Iya.”
Pikiran
mulai berimajinasi kemana-mana. Hari Jumat acara hanya berlangsung setengah
hari. Ba’da Jumat peserta punya kegiatan mandiri. Faiza memilih ke Bur Telege,
sedangkan saya mengunjungi anak ke rumah. Sesampai di rumah kami tidur sampai
sore. Sebelum maghrib saya kembali ke hotel dan mandi. Usai maghrib keluar dari
kamar sendiri.
Ada
tiga orang pekerja di depan kamar sedang mengangkat sejenis sofa lebar seperti kasur.
Sofa itu diletakkan di depan kamar kami untuk menutupi tangga. Memang ada
tangga yang baru dibangun dan agak gelap menuju ke lantai lima. Faiza pernah
mengajak untuk lewat tangga itu semalam. Saya menolak dan mengajak menggunakan
tangga yang ‘normal’ saja. Ntah mengapa, saya agak kurang sreg dengan tangga
itu.
“Untung
ingat, ya. Kenapa nggak dari kemarin?” tanya salah seorang pelayan dengan
bahasa Indonesia berlogat Gayo.
“Lupa
aku, Bang. Udah tu, kek gini dulu,” kata yang satunya sambil melihat posisi
matras itu.
Saya
langsung menuju ke Ananda Cafe untuk menikmati makan malam. Ternyata orang
kedua setelah Pak Mukhsin. Sebentar kemudian Mikhral dan Royyan datang untuk
bergabung. Faiza dan teman-teman baru kembali selepas maghrib. Saya menemani Faiza
di kamar, lalu menemaninya lagi makan malam. Ada nila goreng, tapi Faiza hanya
tersisa kepalanya doang. Dia terlambat.
[Photo: Pexels] |
Malam
itu si bayi menangis kencang. Mamak tidak bisa mengendalikannya lagi. Sedangkan
penutupan baru berlangsung. Meskipun panitia sudah mengatakan jangan
meninggalkan ruangan dulu, tapi saya tetap meninggalkan ruangan dan menunggu
Mamak dan adik laki-laki mengantarkan si bayi ke hotel.
Awalnya
saya berpikir untuk membawa si bayi ke aula. Si bayi nggak mau masuk setelah
beberapa menit berdiri di luar aula. Akhirnya saya kembali ke lantai empat. Tumben,
nyali saya agak ciut kembali ke kamar sendiri. Belum lagi si bayi yang terus
melambaikan tangan. Tangga sudah ditutup dengan rapat dan tinggi.
Begitu
kartu akses berbunyi, saya meletakkan kartu sebagai pengisi daya kamar. Terpikir
di pikiran, bagaimana kalau anak ditidurkan saja terus. Kemudian saya kembali
ke aula dengan tetap memantau anak dari video call. Ada dua hp yang keduanya
aktif WA. Satu saya tinggalkan di kamar, satu lagi saya bawa ke aula.
Pikiran
itu cepat tersingkirkan. Pilihan tepat adalah tetap tinggal di kamar dan
menerima resiko apapun. Hanya sebuah pesan penting untuk Faiza yang terkirim
dan menunggu jawabannya di kamar. Faiza memang kembali sudah agak larut. Saya yakin
foto bersama minus saya.
Malam
itu Faiza langsung tepar. Saya juga, begitupun si bayi yang menutup aktivitas
dengan drama rewel. Insomnia saya tidak kambuh karena kebanyakan tidur. Saya yang
berusaha melawan kantuk dengan main game dan scroll instagram. Sialnya, usaha
ini gagal.
Di
antara kantuk dan sadar, saya melihat Faiza berjalan cepat ke arah pintu. Seperti
ke kamar mandi. Jalannya cepat, seperti melesat. Wajahnya seperti bukan Faiza
juga. Saya melirik ke kiri, memperhatikan betul selimut yang membungkus Faiza. Selimut
bergerak, dan Faiza memang di sana. Tidak ke kamar mandi.
Baiklah,
Faiza tidak kemana-mana detik ini. Saya memilih tidur dan bangun di pagi hari
yang cerah, sejuk, dan menyenangkan. Agenda pagi Sabtu tersusun rapi. Si bayi
akan dijemput pulang ke rumah neneknya, saya akan bekerja di kamar hotel untuk
membuat instrumen penelitian atau ngeblog.
Rencana
berubah, saya malah ikut Faiza dan kawan-kawan keliling. Saya tidak menolak
saat diajak, tanpa mereka pun saya nggak akan kemana-mana. Akan tetapi, satu
hal yang saya sangat penasaran. Apakah Faiza menyadari ada keanehan?
[Photo: Pexels] |
Faiza
hanya mengatakan dia merasa tidak nyaman harus bolak balik ke kamar mandi di
dekat mushalla. Saya pikir karena pintunya berat. Kata Faiza auranya agak aneh
dan horor. Saya tidak membantah, karena kesan pertama saya terhadap kamar mandi
itu memang begitu.
Di
dalam numerologi China, angka empat identik dengan kematian. Angka empat di
baca si sama dengan pelafalan si yang berarti mati. Biasanya
orang China akan menghindari angka empat berulang seperti 404, 414, 440, 444,
dan seterusnya. Untuk angka triple empat
di kamar kami, tidak ada pikiran aneh apapun yang singgah. Saya lupa soal fengshui dan segala ‘oleh-oleh’
pengetahuan dari Cina sana. Terpenting tidur nyenyak di salah satu hotel
terbaik di kota ini. Aman!
0 Komentar