Mimpi dan Salju Pertama

 Aku masih ingat hari itu. Hari aku berjanji berulang kali pada Ayah, tetapi tidak sekalipun aku menepatinya. Permasalahanku bukan karena mengingkari apa yang ingin aku tepati. Aku hanya menunda. Ternyata penundaan ini berbuah penyesalan selamanya.

Berawal pada akhir November, jam digital di ponsel menunjukkan angka delapan. Di musim dingin, gelap lebih cepat menyelimuti kota. Lampu menerangi kota dengan berbagai warna. Dingin menyelimuti di tiap sudut. Tanpa penghangat ruangan, aku bisa beku seperti ikan di dalam kulkas emak.

[Photo: Pexels]


Lantunan suara Pingkan Mambo menyanyikan lagu Pergi Untuk Kembali mengalun dari ponsel buatan China. Kulirik nama yang muncul di layar. Ayah Mama. Kubiarkan ponselku terus berdering hingga beberapa kali.

Ada sebuah pesan yang dikirimkan untukku.

 ‘Kenapa tidak diangkat, Nisa. Apa kamu baik-baik saja? Atau ada kelas?’

Belum sempat aku membalas, Ayah Mama menelepon lagi. Kali ini aku menggeser gambar telepon warna hijau ke bagian atas. Memilih menerima telepon mereka daripada membalas pesan yang akan memotong pulsaku lebih besar.

“Nisa, Ayah rindu. Kapan kamu pulang?” Tanya Ayah lembut setelah mengucapkan salam. Pertanyaan paling to the point dari seluruh panggilan sejak aku tiba di Beijing tiga bulan yang lalu.

“Ayah, ih. Baru juga tiga bulan. Kan Nisa sudah bilang akan pulang liburan musim panas. Libuarannya panjang dan Nisa bisa menabung sedikit. Ntar Nisa bawa oleh-oleh.”

Ayah diam beberapa detik. Kemudian terdengar pertanyaan lain setelah tarikan napas panjang, “Liburan ini kamu mau ngapain, Nis?”

“Ayah, penah dengar festival es di Harbin nggak?” tanya Nisa semangat. “Nisa mau ke sana deh bareng teman-teman. Mau lihat salju lebat, Yah. Kapan lagi Nisa ke dekat kutub utara. Dekat Rusia, lho, Yah. Katanya budaya di sana juga masih dipengaruhi oleh budaya Rusia.”

Kali ini Ayah terkekeh, “Kamu benar-benar ingin menjadi menjadi penjelajah dunia, Nis? Kenapa kamu tidak tulis dan bagikan pengalaman kamu? Biar semua orang ikut merasakan pengalaman kamu bermain salju. Daripada kamu cuma jalan-jalan, habiskan uang, dan pamer di sosmed. Tidak ada manfaatnya.”

“Tenang, Ayah. Ayah akan membaca tulisan Nisa kali ini tentang salju.”

“Janji, ya. Ayah kok sudah banyak sekali mendengar janjimu.”

Percakapan kami ditutup dengan janji dariku untuk ayah. Janji untuk menulis tentang salju pertamaku. Janji memiliki blog dan menulis tentang Beijing yang luar biasa pesonanya. Aku sendiri tahu kemampuanku, aku belum bisa menepati janji itu satu persatu. Aku terlalu lelah memikirkan keingintahuan orang lain sementara aku butuh hiburan.

* * *

Seminggu setelah perbincangan di telepon dengan Ayah, tiket menuju Harbin sudah kami beli. Bermodal kartu pelajar, kami bisa mendapatkan setengah harga untuk tiket kereta dan tiket untuk semua festival nantinya. Tak terbilang senangnya aku. Beberapa kali aku kirimkan chat pada Ayah untuk mengabari kegembiraan ini.


Kusisipkan sebuah janji menulis tentang Harbin di akhir chat. Bukan itu saja, aku juga mengirimkan link blog yang masih kosong untuk meyakinkan ayah bahwa aku akan segera menulis tentang perjalananku. Kuberi harapan, Ayah akan menjadi orang pertama yang akan membaca semua tulisan perjalananku dan salju pertamaku di Harbin.

Ayah hanya membalas dengan emo. Kalau bukan senyum, pasti jempol. Tidak biasanya Ayah seperti ini. Biasanya ayah akan memberikan semangat dan membuatku kembali berjanji.

Tiba di Harbin, Mama meneleponku. Menanyakan posisiku. Terdengar janggal karena menelepon interlokal tapi lebih banyak diam. Mama tidak membahas perjalanaku yang terlalu mahal. Tidak pula menanyakan kapan aku pulang. Mama hanya mengatakan hati-hati, kemudian memutuskan telepon.

Tiga hari di Harbin, aku sangat menikmati salju lebat dan festival es. Aku benar-benar merasa di negeri dongeng. Tidak aku sadari selama tiga hari kami tidak berkomunikasi. Aku dan Ayah serta Mama. Tidak satupun pesan dari mereka masuk ke ponselku. Aku juga tidak bertanya.

Kami pulang di hari keenam dengan tawa lepas dan berbagai kebahagiaan. Aku teringat untuk menuliskan perjalananku di Harbin. Harusnya aku sudah menuliskannya di hari keberangkatanku dari Beijing. Sekali lagi, aku terlalu malas mewujudkannya. Nanti saja ketika lelahku sudah hilang dan aku bisa menuliskannya dengan baik. Meskipun hanya di blog, aku ingin menulis rapi dan profesional. Agar ayah benar-benar bangga dengan tulisanku.

Dua hari sepulangnya dari Harbin, aku memilih bersantai dulu di asrama. Aku sudah memegang laptop, tapi malas menulis. Akhirnya aku justru menonton YouTube. Belakangan banyak konten bagus di YouTube. Mulai daily vlog sampai podcast. Semua menyenangkan.

Suara Pingkan Mambo terdengar dari ponselku. Nama Ayah Mama muncul di layar. Aku mengangkat dengan malas. Kusapa sekedarnya saja. Mama bertanya posisiku. Kujawab di kamar. Lama kami diam tidak ada bahasan. Aku menikmati tontonanku, Mama dengan tontonannya. Aku menebak begitu.

“Nisa, kamu pulang? Kamu sudah libur, kan?” tanya Mama tiba-tiba.

“Sudah, Ma. Nisa nggak pulang. Harga tiket kan sedang mahal. Lagian kalau Nisa pulang sekarang cuma bisa liburan dua minggu di sana. Nggak sesuai dengan duit yang dikeluarin buat tiket. Nisa mau jalan-jalan saja untuk modal menulis. Nisa mau nulis cerita traveling untuk Ayah.” Jelasku.

Mama menarik napas berat, “Ya, sudahlah. Jadi, kapan kamu menulis?”

“Ntar, Ma. Nisa kan perlu persiapan. Cek foto, bikinn watermark. Siapa tahu Nisa dikontrak jadi kontributor majalah travel selama di sini.”

Mama diam. Percakapan kami terputus begitu saja. Ada perasaan tidak enak merayap dalam hati. Kutepiskan perasaan itu sejauh mungkin. Hanya perasaan. Mama tidak marah. Ayah pun tahu aku sibuk.

* * *

Seminggu setelah telepon dari Mama. Aku terbangun tiba-tiba. Perasaanku tidak enak. Tiba-tiba aku teringat Ayah. Oh, ya. Tulisan itu.

Kubuka laptopku di atas kasur. Masih berselimut tebal, aku mulai mengetik paragraf pertama di blog. Aku ingin memulai ceritaku dengan kisah mengapa aku di Beijing.

Baru paragraf pertama, mataku teralih keluar jendela. Benda putih melayang-layang di udara. Kudekati jendela. Semakin lama semakin banyak. Semakin lebat. Udara sedikit menghangat. Aku membuka jendela, mengulurkan tangan untuk menangkap benda-benda putih beterbangan di luar jendela.

Dingin.

Salju pertama di Beijing.

Ponselku berdering. Kututup jendela kamar, kemudian berjalan kembali ke balik selimut. Kemudian mengambil ponsel. Nama Adik Kesayangan muncul di layar. Agak malas aku mengangkat telepon.

“Hei, aku lagi nonton salju turun. Kamu mengganggu saja,” omelku pura-pura merajuk. Adikku diam. Tidak langsung bicara. Aku tidak sabar, lantas bertanya, “Kamu kok diam?”

Selanjutnya terdengar isak tertahan, “Kak Nisa. Ayah sudah meninggalkan kita.”

Langit seolah runtuh. Air mataku luruh. Mataku beralih ke luar jendela. Salju semakin lebat.

“Dik, bilang sama ayah. Kak Nisa sedang menulis cerita perjalanan Kak Nisa untuk ayah baca. Jangan pergi sekarang.” Aku menangis sesenggukan. Semakin lama semakin sakit dadaku menahan gejolak di dada.

Sambungan terputus telepon terputus. Tinggal aku dan air mata yang tidak bisa diajak kompromi. Salju turun semakin lebat, menutupi permukaan tepi jendela berdebu dengan es putih.

Di depanku, laptop menyala. Tidak satu katapun tertuang di sana. Janjiku pada ayah belum terwujud.

Posting Komentar

0 Komentar