Labi-Labi, Transpor Lokal Legend di Aceh Pernah Menjadi Ruang Komunikasi Antar Budaya

 Pernahkah kalian mendengar kata labi-labi? Bagi yang suka membuka KBBI setiap mendapatkan kosa kata baru, tentu akan menemukan makna ini sebagai keluarga hewan-hewanan. Labi-labi merupakan ikan dengan jenis kura-kura berpunggung (cangkang) lunak yang merupakan anggota suku Trionychidae. Ia disebut lunak karena sebagian perisainya terdiri dari tulang rawan dan tempurung punggungnya dilapisi oleh kulit tebal yang licin.

Labi-labi yang saya maksud dalam tulisan ini bukanlah labi-labi jenis hewan, tapi jenis kendaraan umum yang cukup populer di Aceh pada tahun 90-an sampai 2000an. Orang Aceh yang tidak mengenal labi-labi bisa dipastikan dia termasuk generasi zilenial zona kota.

[Photo: Search by Google]

Saya ingat ketika masih kecil dulu. Kendaraan kami satu-satunya adalah motor CB keluaran Honda yang dipakai Ayah. Ia sanggup mendaki bukit tinggi dan terjal. Keluar masuk hutan, mengangkut hasil tani ke pasar, dan banyak lagi yang bisa ia lakukan. Usianya lebih tua dari usia saya. Motor itu masih bisa beroperasi sampai saya lulus kuliah. Saya ingat betul, setelah Ayah meninggal pun adik saya masih menggunakan motor tersebut karena masih bisa bergerak. Padahal usianya sangat tua.

Satu-satunya kendaraan yang beroperasi di kota pada tahun akhir 90an sampai akhir 2000an adalah labi-labi. Sepupu saya yang tinggal lama di Bandung menyebut ini angkot paling aneh yang pernah terlihat di Indonesia. Menurut saya justru unik. labi-labi itu mirip dengan mobil patroli polisi, tapi bukan dengan dinding terbuka dan bangku panjang saling membelakangi.

Labi-lagi itu seperti mobil pickup dengan posisi lantai lebih rendah, dindingnya tertutup dengan jendela sepanjang dinding. Kursinya rendah, sempit dan pendek. Ketika berada di dalam labi-labi, kita duduk berhadapan dengan lutut saling bertemu untuk orang dewasa. Sedangkan anak-anak masih bisa berdiri kalau kursi penuh.

Muatan satu deretnya itu antara 6-8 orang. Kalau labi-labi penuh, anak sekolahan suka duduk di pangkuan penumpang yang datang lebih dulu atau temannya. Bahkan kita berani memberi izin orang asing yang naik di sepanjang jalan untuk duduk di pangkuan kalau labi-labi penuh. Etapi, khusus untuk sesama jenis, ya. Soal ini Aceh masih sangat menjunjung etika.

Salah satu keseruan naik labi-labi.
[Photo: Search by Google]


Anak laki-laki suka pulang dan pergi sekolan naik labi-labi dengan cara gelantungan. Seperti kernet yang meneriakkan tujuan labi-labi itu. Mereka suka bergelantungan seperti itu. Seru  dan asyik tanpa memikirkan resiko yang akan terjadi. Padahal kalau dipikir-pikir bahaya banget, lho. Resikonya tinggi.

Namun transportasi lokal yang satu ini bukan saja legend-nya angkutan umum di Aceh. Ia juga menjadi ruang komunikasi antar budaya terutama dalam konteks nonverbal. Ia menunjukkan rasa sosial, peduli, dan silaturahmi yang tinggi antar sesama penumpang.

Bagaimana tidak? Ketika labi-labi penuh misalnya, komunikator (penumpang yang datang lebih dulu) dan komunikan (penumpang yang datang kemudian) memulai komunikasi yang unik.

Begitu labi-labi penuh, penumpang yang datang belakangan (komunikan) akan masuk ke dalam labi-labi karena buru-buru. Dia akan memilih berdiri di lorong sempit. Orang yang berada di dekatnya (komunikator) akan mengangkat tasnya dan melihat ke arah si komunikan. Tidak ada bahasa verbal, hanya lirikan dan sikap yang menunjukkan bahasa nonverbal.

Si komunikan akan duduk di pangkuan komunikator sampai dia mendapatkan kursi kosong dengan adanya penumpang lain turun. Kemudian si komunikan akan memulai komunikasi dengan ucapan “makasih, ya.” Silaturahmi pun terbangun.

Tak jarang, bermula dari naik labi-labi, pertemanan meluas. Para penumpang saling bertanya asal, sekolah, dan alamat rumah. Dari logat bicara, garis wajah, dan tempat tinggal seringkali terdeskripsikan etnis sang penumpang. Di dalam labi-labi tidak ada yang namanya orang hebat dan tidak. Murid dari sekolah unggul atau biasa saja. Identitasnya sama semua, yaitu penumpang labi-labi.

Itu dulu, ketika labi-labi masih eksis di Aceh dan semua anak sekolahan dapat menikmati jalan-jalan gratis dengan cara numpang bolak balik satu rute, lalu turun dengan bayar tarif normal anak sekolahan. Labi-labi mulai bersaing dengan becak pada tahun 2010-an. Kehadiran becak dengan fasilitas yang unik juga menggusur keberadaan labi-labi meski transportasi legend ini masih beroperasi.

Kendaraan pribadi di Aceh mulai menggeser eksistensi labi-labi.
[Photo: Pexels]

Becak-becak motor yang dibuat model tuk-tuk di Thailand dilengkapi dengan musik. Motor yang mengangkut juga motor gede yang kecepatan larinya berkali lipat dari labi-labi. Ongkosnya memang sedikit lebih mahal. Akan tetapi dengan kecepatan dan ruang privasi yang didapatkan, becak menjadi pilihan yang mulai diutamakan.

Sekarang becak mulai bertebaran. Apalagi di masa sulit pasca pandemi, becak seolah menjadi jalan pintas para pengais rezeki untuk melanjutkan hidup. Labi-labi mulai ditinggalkan. Satu dua supir labi-labi masih mencari penumpang pada jam-jam sibuk anak-anak berangkat sekolah dan pulang sekolah. Sebagian labi-labi lain pensiun dini. Ada pula yang mengubah bentuk dari pengangkut penumpang di jalan menjadi kedai sayur berjalan.

Labi-labi dengan kedai sayur bergerak ini lebih menguntungkan dibandingkan menunggu anak sekolahan berangkat pagi ke sekolah atau menunggu mereka pulang. Menurut supir labi-labi langganan saya dulu, dia bisa berangkat pagi-pagi sekali menjajakan sayur mayur keluar masuk kampung. Seringnya baru masuk setengah kampung saja dagangannya sudah habis. Ini jauh lebih menguntungkan dibandingkan mencari penumpang di jalanan.

Langkanya labi-labi di jalan Aceh bukan tanpa sebab. Kehadiran berbagai jenis sepeda motor dan mobil dengan harga murah atau cicilan rendah memberi kemudahan bagi masyarakat untuk memiliki kendaraan pribadi. Tawaran down payment yang rendah, syarat dokumen yang tidak ribet, pilihan yang banyak, semakin memudahkan para pengguna transportasi memiliki kendaraan impiannya. Apalagi anak-anak sekolahan juga diperbolehkan ke sekolah dengan sepeda motor bahkan mobil pribadi. Semuanya semakin mudah.

Bus Trans Kutaraja di Banda Aceh
[Photo: Search By Google]


Labi-labi bukan saja lenyap di kota-kota seperti Banda Aceh. Bahkan di kota kecil labi-labi seperti hilang jejak. Semakin kecil kotanya, semakin anak muda tidak mengenal labi-labi sebagai transportasi lokal. Setidaknya setiap rumah mereka sudah memiliki kendaraan pribadi berupa sepeda motor.

Di Banda Aceh, transportasi umum tidak total hilang. Meskipun labi-labi sudah langka terlihat, dinas perhubungan memberi solusi lain untuk menghindari macet. Ada bus Trans Kutaradja namanya. Bus besar biru ini sangat nyaman. Muatannya banyak, rute tempuhnya juga luas. Namun tetap saja masih banyak yang enggan menggunakan transprtasi umum dengan berbagai alasan. Salah satunya alasan waktu. Katanya bus trans ini terlalu lelet. Tidak gercep seperti naik kendaraan sendiri.

Soal kenyamanan sebenarnya bisa diadu. Bus trans dilengkapi dengan AC dan kursi yang empuk. Cukup nyaman untuk kelas transportasi umum. Sayangnya kehadiran ojek online juga memberi dampak terhadap transportasi umum. Taksi online memberikan privasi sepenuhnya kepada penumpang dan pelayanan yang sesuai permintaan penumpang. Mau tak mau, bus pun terancam tergusur dari padatnya jalanan kota.

Padahal misi bus trans ini cukup mulia. Mengurangi macet dan polusi, kehadiran bus trans sebagai solusi. Setelah bus trans yang berusaha bertahan dengan kehadiran taksi online, angkutan umum apa lagi yang akan muncul beberapa tahun ke depan, ya?

 

Posting Komentar

0 Komentar