Mengubah Garis Nasib Fly To Beijing

 Minggu, 1 September 2013

Katanya, saya membuat keputusan yang salah. Memilih keberangkatan sangat mepet dengan jadwal daftar ulang. Menurut saya, ini adalah pilihan terbaik dan tercepat. Meskipun saya bisa berangkat tiga hari yang lalu, tapi banyak sekali pertimbangan yang kurang makan terjadi.

Visa saya baru keluar seminggu lalu. Di hari setelah saya mengambil visa ke loket JNE, bersama dengan sepupu saya langsung ke travel agent yang direkomendasikan oleh teman. Sebesar Rp 5,5 juta yang saya tarik dari ATM di Sp. Galon Darussalam juga berpindah tangan ke meja resepsionis travel agent tersebut. sebagai gantinya, selembar tiket penerbangan dari Banda Aceh ke Kuala Lumpur dan Kuala Lumpur ke Beijing tergenggam sebagai gantinya. Itu pun one way ticket, alias pergi saja.

Beragam komentar juga masuk ke telinga kanan dan kiri. Ada yang berkomentar lebih baik menunda keberangkatan. Ada yang mengatakan lebih baik menyerah ke China dan mengambil yang lebih baik. Maksudnya ke United Kingdom yang baru saya terima Letter of Admission (LoA) tepat di hari saya mengambil visa ke JNE.

[Photo: Pexels]

Sebagai manusia tentu saja saya galau. Di satu sisi saya ingin mengambil ke Eropa. Siapa yang tidak mau kuliah di Eropa? Terlihat keren sudah pasti, tidak peduli apakah kita lulusan dengan nilai pas-pasan atau memang mencengangkan. Semua oke di mata orang. Eropa, bok! Sayangnya, orang tidak tahu bagaimana pertaruhan nasib saya kalau ke Inggris sana.

Banyak orang pikir, mendapat LoA sudah pasti mendapatkan beasiswa, tapi ada juga yang masih pertimbangan. Artinya banyak hal yang harus saya perjuangkan sebelum berangkat ke Inggris untuk mendapatkan beasiswa. Kemungkinan tidak mendapatkannya pun besar. Inilah posisi saya saat ini. Saya baru mendapat LoA, baru diterima di kampus tersebut. Banyak hal yang harus saya perjuangkan untuk tahapan beasiswanya.

Cina berbeda, di LoA saya langsung mendapatkan informasi apa saja yang akan ditanggung oleh beasiswa. Selain tiket pesawat, semua sudah ditanggung oleh beasiswa. Ini yang paling penting. Kejelasan.

Lantas Ayah saya memberi nasehat, “semua orang ingin ke Eropa, Amerika, Australia. Siapa yang tidak ingin ke sana? Tapi ada satu hal yang perlu kita ingat, hikmah apa yang akan kita dapat setelah berangkat ke Cina. Negara yang sama sekali tidak dianggap keren oleh banyak orang? Kamu akan bertemu dengan orang-orang dari berbagai negara dulu. Baru nanti kamu bisa membuat keputusan untuk tetap ke Inggris atau ke Cina.”

 Tian'anmen [Photo: Pexels]

Meskipun saya kurang setuju, saya percaya ada hikmah yang belum saya tahu apa. Saat ini yang sudah jelas soal funding. Cina jelas karena beasiswanya sudah tertera di sana. Modal berangkat ke Cina juga sudah jelas berapa duit. Apalagi saya punya pengalaman ke Cina bagian selatan tahun lalu. Ini menambah kekuatan kepercayaan saya kepada Ayah yang menyarankan untuk ke Cina dulu.

Ayah menambahkan, “kamu punya waktu setahun untuk mempertimbangkan ke Inggris.” Ayah menunjukkan catatan yang tertulis di bagian akhir LoA. FYI, my dad speaks english better than I do. Jadi, Ayah tidak mungkin keliru memahami tulisan yang tertulis di sana.

Dari sanalah cerita saya dimulai. Kegalauan saya yang memilih tanggal keberangkatan mepet dengan jadwal daftar ulang juga berdasarkan referensi teman-teman yang sudah lebih dulu di Cina. Mereka berkata kalau keberangkat terlalu awal akan memorot kantong lebih dalam. Biaya nginap di losmen Cina sangat mahal dan kemampuan bahasa Cina yang di bawah kata bisa juga rentan berhadapan dengan penipuan.

Saya juga sudah menghubungi paguyuban anak Indonesia di Beijing dan belum mendapatkan balasan. Mungkin efek libur panjang, tidak ada yang membalas email komunitas, sehingga sampai akhir Agustus saya juga masih abu-abu akan disambut siapa dan bagaimana menuju ke kampus.

Tekad saya sudah bulat. Saya memang harus ke Beijing dengan atau tanpa teman. Nasib saya tidak akan berubah dengan komentar dan analisis orang-orang. Bukankah manusia menganalisa sesuatu berdasarkan sudut pandang dan hidup yang mereka jalani? Kurikulum hidup kita tentu saja hanya kita yang tahu. Proses yang komentator lewati dan saya lewati juga berbeda. Atas keputusan ini pula, saya memutuskan untuk berangkat ke Beijing untuk melanjutkan kuliah magister setelah setahun belajar bahasa di Communication University of China.

Saya tidak tahu cerita apa yang akan menanti di depan sana. Sebanyak apa yang akan saya ceritakan setelah berada di Beijing. Sesibuk apakah saya nantinya. Semuanya masih misteri.

[^_^]

Tulisan ini ditulis dalam penerbangan dari Banda Aceh ke Kuala Lumpur dengan maskapai Air Asia pada tanggal 1 September 2013.

Posting Komentar

0 Komentar