Tidak Ada Pencapaian Tertinggi Sebelum Mati

 Setiap tahun, di awal atau di akhir tahun tentunya akan selalu muncul pertanyaan. Terkadang pertanyaan itu sama sekali tidak berpengaruh apapun terhadap hidup. Ada kalanya sangat berpengaruh karena jawabannya menjurus ke pernyataan sensitif. Saya pernah mengalami krisis kepercayaan diri ketika pertanyaan tersebut diajukan oleh orang-orang yang mungkin saja peduli atau pura-pura peduli.

Apa pencapaian tertinggi dalam hidupmu?

Waktu itu saya berusia 23 tahun. Kondisi finansial saya mulai mundur karena mulai tidak aktif menyetor tulisan. Tidak juga ikut proyek ini dan itu dengan dosen atau teman-teman. Tabungan saya bukannya bertambah, tapi malah semakin menipis. Ditambah lagi saya sedang melakukan penelitian skripsi yang budgetnya melebihi penelitian disertasi.

Ya, ini bukan berkaitan dengan finansial saja. Ini lebih kepada kualitas pendidikan. Tiga dari beberapa teman dekat saya sudah menyelesaikan jenjang sarjana. Mereka juga mulai menebar surat lamaran kerja kemana-mana. Ada yang ke bank, perkantoran, atau memberanikan diri membuka bisnis sendiri.

[Photo: Andrea Picquadio-Pexels]

Saya? Masih berkutat dengan skripsi yang tidak kunjung kelar di tahun kelima. Pertanyaan kapan wisuda, kapan sidang, dan kapan-kapan lain diikuti dengan nasihat agar segera menyelesaikan kuliah. Semuanya memvonis seolah-olah saya tidak pernah peduli dengan kuliah saya yang tak kunjung selesai. Padahal ada faktor penghambat yang skripsi keteteran. Itu bukan sepenuhnya dari diri saya sendiri.

Pada masa itu orang-orang mengatakan bahwa menyelesaikan skripsi dan mendapatkan ijazah sarjana adalah pencapaian tertinggi seorang anak untuk orang tuanya. Bahkan ada yang mengatakan kalau orangtua hanya ingin melihat anaknya memakai toga setidaknya sekali seumur hidupnya. Itulah bentuk kesuksesan paling nyata dari orang tua.

Pernyataan itu tidak sepenuhnya benar, tapi juga tidak salah. Untuk latar belakang orangtua saya yang tidak memiliki ijazah sarjana, tentu saja ada benarnya. Kebahagiaan mereka ketika saya berhasil menggenggam ijazah sarjana dan berfoto dengan mereka dengan toga. Ini adalah hasil terbaik dalam hidup.

Benarkah? Mungkin. Menggenggam ijazah sarjana bukan akhir dari hidup. Itu bukanlah pencapaian tertinggi. Selama manusia masih hidup, maka deretan pencapaian akan terus diraih. Tentu saja dengan angka dan harapan yang lebih tinggi dari sebelumnya. Tidak mungkin seseorang melakukan sesuatu atau memimpikan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang lebih rendah dari hidupnya.

Manusia baru bisa dikalkulasikan pencapaian tertingginya setelah dia mati. Akumulasi prestasi selama hidup dihitung dan dibandingkan dengan kegagalan yang pernah dicapai. Umumnya seseorang dinyatakan sukses atau tidak setelah namanya diumumkan diikuti dengan kata “telah berpulang ke rahmatullah.” Nah, saat itu pula pencapaian tertingginya dalam hidup disebutkan.

Di akhir Desember 2021 silam, saya menonton sebuah drama China berjudul Miss Crow With Mr. Lizard. Drama ini menceritakan tentang seorang arsitek berbakat dengan karya yang diakui dunia tapi tidak bisa bersikap hangat. Sikapnya ini dipengaruhi oleh kondisi jantungnya yang tidak sama dengan kebanyakan orang normal. Dia memakai jantung artifisial yang bisa diisi ulang dayanya. Setiap hari dia bersiap menghadapi kematian. Namun dia memiliki 100 target yang harus diselesaikan sebelum mati. Pencapaian tertinggi yang ingin dicapai adalah memenangkan penghargaan tertinggi untuk arsitek.

Pertemuannya dengan Jiang Xiao Ning yang juga bekerja sebagai asisten pribadi Gu Chuan (Allen Ren) melupakan target hidupnya yang terakhir. Dia baru menyadari pencapaian tertinggi dalam hidupnya bukanlah penghargaan tertinggi di bidang arsitek, tetapi memiliki keluarga dan bisa mencintai seperti orang normal. Tiba-tiba saja Gu Chuan tidak ingin mati, dia kembali berjuang untuk tetap hidup sebagai manusia yang bisa merasakan cinta seperti manusia normal.

Dari drama tersebut, Gu Chuan membuat ekspektasi pencapaian tertinggi dalam hidupnya tetap hidup dan bahagia dengan orang yang dicintai. Ekspektasi yang umum dan sederhana. Sebagian orang malah beranggapan hal-hal seperti bukan pencapaian dalam hidup. Kebanyakan manusia memang akan menikah, memiliki anak, membangun keluarga, dan menunggu kematian. Namun dari drama ini kita belajar sesuatu, yaitu untuk menghargai hidup yang kita jalani dan menempatkannya sebagai target yang harus dijaga selalu.

Tidak semua orang memiliki kehidupan yang normal. Di luar sana banyak orang-orang dengan penyakit tertentu justru sedang menghitung mundur sisa waktunya di dunia. Setiap detik yang mereka lalui harus dibayar mahal dengan berbagai treatment agar tetap bisa melewati hari dengan orang-orang tersayang.

Jadi, apapun ceritanya, capai keinginan dalam hidup sebelum maut memisahkan roh dan jasad. Hargai hidup hari ini, karena kita tidak pernah tahu kapan janji dengan sang khaliq akan tiba.


Posting Komentar

0 Komentar