Dua Kali Lipat

Cerpen Terbaik pada event menulis cerpen dengan tema Anak Yatim yang diselenggarakan oleh Jejak Publisher pada Juli 2021

-o0o-

Aku sudah menghitung lembaran beraneka warna dengan berbagai macam tokoh pahlawan nasional di tanganku. Sejumlah uang yang aku kumpulkan selama setahun dari dua koma lima persen tiap pemasukanku. Banyak atau sedikit, sampai nisabnya atau tidak. Jumlah itu tetap aku sisihkan untuk zakat. Tidak tenang rasanya bila tidak kubersihkan hartaku untuk yang berhak. Terutama untuk anak-anak yatim yang jelas sangat membutuhkannya.

Kata orang, gajiku saat ini belum sampai nisabnya untuk dizakatkan. Akan tetapi aku memiliki kepercayaan lain. Jika aku berpikir tidak sampai, mungkin sampai aku mati tidak akan pernah sampai. Aku yakin sekali dalam hartaku ada hak orang lain yang dititipkan padaku. Meski seribu rupiah tetap aku sisihkan untuk yang berhak. Akan aku bagikan setiap bulan Ramadhan untuk mereka yang membutuhkan.

[Photo: Pexels]

Tahun ini berbeda. Aku sudah menambah dua nama di daftar penerima hasil tabungan setahun. Salah satunya adalah sepupuku yang bukan saja yatim, dia juga juga piatu dan fakir miskin. Nama mereka berada di antara sederet nama lain yang berjumlah lebih dari dua puluh orang.

Anehnya aku merasa berat memberikan tabunganku kepada mereka, sepupuku yang baru saja kehilangan ibunya setelah sekitar empat tahun menjadi yatim. Ada sesuatu yang mengganjal di hati setiap kali ingin memberi. Seperti ada yang menahan, antara ego dan iblis. Mereka bekerja sama menahanku untuk memberi.

“Berikan mereka walau sedikit. Bagaimana pun mereka anak yatim yang berhak menerima. Semua syarat lengkap pada mereka. Anak yatim kan anak yang mulia, Priska,” Mama berkata untuk merobohkan keraguanku berhari-hari.

Ini bukan pertama kali Mama berkata begitu. Sudah sejak awal aku menghitung uang dan memasukkan ke dalam amplop, Mama selalu berkata kalimat yang sama. Mama bisa membaca keraguanku dan aku masih keras dengan pendirianku.

“Apa yang membuatmu ragu memberi pada mereka, Priska. Mereka masih saudaramu. Kau lebih tahu bagaimana hidup mereka daripada orang lain,” Mama melanjutkan kalimatnya. Bertanya tentang keraguanku yang tak beralasan.

“Mama tahu bagaimana gaya hidup mereka. Sama sekali tidak mencerminkan anak yatim. Bukan seperti kehidupan orang susah. Gaya hidupnya melebihi gaya hidupku. Mereka lebih mirip selebgram daripada anak yatim,” kataku akhirnya. Uneg-unegku keluar juga.

“Astaghfirullah, Priska. Berikan hak mereka, kamu tahu mereka berhak. Urusan gaya hidup itu urusan mereka. Jangan sampai niat baikmu kepada orang lain terhapus karena kamu mengabaikan saudaramu sendiri. Utamakan saudaramu yang lebih membutuhkan terlebih dahulu, baru orang lain. Apalagi mereka anak yatim. Anak-anak yang mulia,” ceramah Mama lagi.

“Bagaimana aku memberi jika tidak ikhlas, Ma?”

“Kenapa kau tidak ikhlas hanya pada mereka. Apa kau pikir yang lain tidak punya kekurangan?”

“Tapi aku tidak melihatnya, Ma. Aku tidak melihat cara hidup mereka seolah orang paling kaya padahal miskin.”

“Ikhlaskan. Semua biar urusan mereka dengan Allah. Mereka anak yang mulia. Tidak ada yang kau rugikan bila memberi pada mereka. Itu urusan mereka.”

Aku meninggalkan Mama ke kamar. Ribut dengan Mama berujung tidak menyenangkan. Sedihnya Mama kerap membuatku kualat. Jadi aku akhiri percakapan ini dengan tidak menjawab dan memilih ke kamar. Dalam hati aku hanya berkata, Mama berkata begitu dan memaksa karena mereka masih saudara dari sebelah Mama. Anak-anak yatim itu adalah anak dari adik kandung Mama.

---

Semua dana yang aku niatkan untuk anak yatim sudah tersalurkan. Tidak ada yang tersisa. Dari dua puluh daftar, hanya mereka yang tidak aku kirimkan. Anehnya, setelah dibagi-bagi dengan jumlah yang sama, justru pas-pasan dan tidak terbagi untuk mereka. Jadi, aku anggap saja Allah pun ridha kalau aku tidak memberikan pada mereka.

Mama paling marah saat mengetahui soal ini. Mama mengatakan aku hanya membuat alasan untuk menolak memberi. Kukatakan saja alasan awal, “bagaimana hati kita tergerak untuk memberi jika mereka saja berlagak sombong seperti itu, Ma. Cara mereka berbicara seolah mereka tidak membutuhkan bantuan kita, Ma.”

“Itulah mengapa Allah memberi kita kehidupan untuk berhadapan dengan anak yatim. Di situlah Allah akan menguji kita, seberapa mampu ita bisa memuliakan mereka meskipun sikap mereka sangat menyebalkan. Ujian berhadapan dengan anak yatim begitu. Kamu seperti tidak pernah Mama kasih pendidikan agama saja!” Mama malah mengomeliku.

Aku tidak peduli apa yang terjadi ke depan. Mama tidak bicara denganku sampai beberapa hari hanya karena keponakannya tidak mendapatkan apa-apa dariku. Mama malah mengeluh pada adikku yang ditanggapinya dengan dingin saja. Selain ikut diam, aku bisa apa?

[Photo: Ketut Subiyanto-Pexels]

Seminggu kemudian, aku sangat terkejut dengan apa yang terjadi. Saat aku hendak mengambil uang di ATM. Justru rekeningku kosong melompong. Padahal aku tidak pernah mengambil uang sepeser pun di sana. Aku panik, aku menangis. Uangku yang hilang tidak dalam jumlah sedikit. Ada dua jutaan dan itu bernilai something untukku.

Aku pulang. Mengadu pada Mama. Sama seperti beberapa hari lalu, Mama diam saja. Rasa kesalnya padaku masih berlipat ganda. Aku pun tidak bisa berbuat banyak selain bersabar dengan sikap Mama yang menurutku terlalu berlebihan. Sebaliknya aku pergi ke bank, mengurus segalanya sebagai komplain. Anehnya lagi, tidak ada data transaksi yang tercatat di sistem.

Ini aneh. Aku punya saldo dua jutaan dan itu lenyap tanpa bekas seperti disihir. Tidak ada tindak lanjut dari bank, aku pun hanya pasrah. Menangis dan mengingat-ingat apa yang aku lakukan terakhir kali sampai mendapat hukuman seberat ini. Berulang kali aku menangis karena satu hal terlintas di kepalaku.

“Itu kualat namanya. Tidak memberikan hak untuk mereka yang berhak menerimanya,” Mama berkata di saat bersamaan ingatanku muncul. Apa hak mereka sebanyak itu? Aku merasa kesal dan tidak adil.

Aku diam. Aku kehilangan uang berkali-kali lipat dari yang harusnya aku sisihkan untuk mereka. Menyesal pasti, tapi aku tidak bisa apa-apa lagi. Tanpa sepengetahuan Mama, aku mengambil uang dengan jumlah dua kali lipat yang aku berikan kepada anak yatim lain dan mengirimkan untuk mereka.

Hatiku sedikit tenang meskipun sedihku masih tersisa.

---

“Priska, ponselmu berdering dari tadi, lho,” teriak Mama dari dapur. Aku memang sedang mengecas ponsel di dapur.

Aku mengambil ponsel. Ada nomor asing yang memanggil di sana. Agak malas aku merima telepon. Suara perempuan dengan gaya bahasa seperti customer service mengalun lembut. Dia mengaku sebagai PJ sebuah event. Aku lupa pernah mengikuti event tersebut. Saking lamanya proses yang berlangsung.

“Tolong dikirimkan nomor rekening dan nomor NPWP ya, mbak. Kita akan kirimkan hadiahnya ke rekening setelah dipotong pajak lima persen,” katanya.

“Baik, mbak. Terima kasih.”

Telepon berakhir. Aku memfoto kartu NPWP dan buku rekening. Kemudian mengirimkan ke email yang disebutkan oleh perempuan bersuara mendayu itu.

[Photo: Anna Tarazevich]

Aku tidak mengecek apapun lagi. Tidak berharap berapa nominal yang aku terima. Pikiranku masih dikacaukan dengan tabiat jelekku yang melihat anak yatim banyak gaya.

Seminggu kemudian, aku menerima SMS Banking dengan informasi saldoku bertambah sepuluh juta rupiah. Aku membelalakkan mata. Kaget dan tidak percaya. Tanpa menunggu lagi, aku menstarter motorku menuju bank cabang terdekat. Antrian tidak begitu lama. Aku hanya perlu meletakkan buku rekening di meja Customer Service dan mengatakan print.

Kerja CS ini terkenal cekatan. Hanya sebentar saja dia sudah memanggil namaku. Aku mengambil kembali bukuku. Membukanya perlahan. Mataku terbelalak menatap nominal yang bertambah di sana.

Benar. Sepuluh juta rupiah lebih sedikit.

Air mataku nyaris bobol dari pertahanan. Tak kuasa menahan haru. Hal pertama yang aku lakukan setelah keluar dari bank adalah masuk ATM. Kutekan kalkulator di ponsel, menghitung jumlah zakat yang harus aku keluarkan. Kemudian mentransfer zakat dan sedekah untuk dua sepupuku yang sudah yatim itu.

Aku pulang dengan lega. Kukatakan pada Mama tentang hari ini. Mama tidak bereaksi berlebihan, tapi kalimatnya sungguh membuatku seperti tertampar.

“Tidak ada ruginya membuat anak yatim senang, kan? Selain hatimu senang, kamu bahkan dapat balasannya dua kali lipat. Saat kau sakiti mereka, kau akan mendapat balasan dua kali lipat. Saat kau buat mereka senang, kau juga akan mendapatkan balasan dua kali lipat. Bahkan kali ini berlipat-lipat,” tutur Mama.

Aku diam saja. Dalam hati, aku membenarkan.

---

Kota Tasawuf, 20 Juni 2021

Posting Komentar

0 Komentar