Inspirasi Ngewarkop dari Pelajar Beijing

Kebiasaan duduk di warung kopi untuk bekerja bukanlah kebiasaan saya pada awalnya. Bahkan nongkrong berjam-jam di warung kopi tidak bisa saya tolerir untuk diri sendiri. Saya risih sebagai cewek berada di warung kopi. Namun, lima tahun belakangan bekerja atau belajar di warung kopi alias coffee shop seperti menjadi bagian dari hidup saya.

Suami saya yang kurang menyukai perempuan menghabiskan waktu di warkop pun kaget. Setahu beliau, saya bukan perempuan warkop. Jangan heran jika bertemu dengannya tanpa istri. Ia lebih memiih menghabiskan waktu di warkop seorang diri. Tanpa ditemani istri. Ya, karena beliau kurang nyaman melihat wanita di warung kopi. Ini bukan soal agama dan budaya, apa yang tidak beliau sukai berpulang pada keputusan pribadi.

Kebiasaan baru ini dimulai pada awal tahun 2014. Ketika itu saya sedang menempuh pendidikan magister di Communication University of China. Di sana saya tinggal di asrama. Banyak hal yang bisa dilakukan di asrama dengan kapasitas internet unlimited. Tahun pertama berkualiah di sana, saya memang nyaman melakukan segala hal di kamar. Terutama urusan belajar.

Cappucino, satu-satunya kopi yang aman untuk saya.
[Photo: Ulfa Khairina]

Kata siapa tidak nyaman belajar di kamar hanya bermodal baju kaos longgar dan celana panjang tidur. Sambil mendengar playlist favorit dan 'selingkuh' tipis-tipis. Sesekali belajar, sesekali donwload film, bersosmed ria, tidur-tiduran, sampai makan dengan gaya super kebiasaan tanpa perlu menjaga sikap di depan orang lain. Sedap betul, kan?!

Pada tahun kedua saya di Beijing, perubahan mulai muncul. Teman saya bertambah. Kamar saya juga dijadikan markas untuk ngumpul. Mereka selalu tahu jika saya ada di kamar. Mereka datang dengan berbagai kepentingan. Ada yang memang membahas soal kuliah, menyelesaikan tugas bersama sampai haha hihi. Kebanyakan memang untuk haha hihi. Jika mereka sudah berkumpul di kamar, siapa yang bisa melarang atau mengusir dengan alasan, "Saya mau belajar?"

Sekali dua kali saya mengikuti arus. Namun lama kelamaan kenyamanan saya sebagai mahasiswa yang dibiayai oleh China Scholarship Council (CSC) melemah juga. Saya merasakan sendiri jika tugas saya keteteran. Tujuan saya ke Beijing dalam hal kuliah tidak menargetkan nilai bagus. Namun jika semua keteteran bukan saja nilai cukup yang melayang. Saya bisa didepak dengan mudah.

Salah satu teman saya yang jarang berkumpul dengan teman-teman lainnya kerap meninggalkan asrama pagi dan kembali petang. Saya bertanya padanya, "Kamu kemana setiap hari dengan laptop? Bekerja?"

Dia menjawab, "Iya. Saya bekerja di coffee shop. This is my habit. Kamu bisa join  denganku sesekali. Tidak perlu bekerja. Hanya menikmati suasana saja."

Saya menerima tawaran ini. Satu hari saya ikut dengannya. Saya ikut membawa laptop dan buku. Saya sangat terkejut ketika melihat banyak mahasiswa CUC atau pun BISU yang berkumpul di coffee shop dengan kesibukan masing-masing. Mereka tidak nongkrong untuk bergosip. Mereka mengerjakan tugas kuliah sambil berdiskusi.

Kenapa tidak di perpustakaan saja? Itu pertanyaan besarnya.

Minat mahasiswa lokal China dalam belajar sangat tinggi. Setiap mahasiswa berebutan masuk perpustakaan. Jangan harap akan mendapatkan tempat duduk jika datang ke perpustakaan sudah jam sembilan pagi. Mahasiswa lokal sudah mengantri sebelum perpustakaan buka. Mereka sudah berbaris di depan pintu perpustakaan. Kemudian langsung mereservasi meja dengan meletakkan laptop, air minum, dan buku di sana. Lalu mereka kembali ke kelas untuk kuliah dan kembali ketika kuliah usai.

Begitu seterusnya setiap hari. Lalu bagaimana dengan tipikal mahasiswa saya yang mempersiapkan diri di pagi hari dengan mandi, dandan, ngampus pada jam sepuluh pagi? Mendapatkan sebuah kursi di perpustakaan adalah keberuntungan.

Satu lagi, perpustakaan sepi bagaikan kuburan. Jadi, saya dan teman-teman pun tidak berani berkutik di perpustakaan. Bisik-bisik saja bisa mengganggu ketentraman orang lain belajar. Jadi, jangan heran jika mahasiswa lokal memilih coffee shop untuk berdikusi.

Perlahan saya mengikuti kebiasaan ini. Bukan untuk gaya-gayaan atau mengikuti anak-anak lokal biar terlihat sama. Tidak sama sekali. Alasan pertama, saya harus menghindar dari kamar untuk belajar. Alasan kedua, saya sering tidak mendapatkan tempat di perpustakaan.

Kebiasaan ini kemudian berlanjut ketika kembali ke Aceh. Di Aceh, bukan karena perpustakaannya penuh dengan mahasiswa belajar. Perpustakaan di Aceh lumayan parah. Perpustakaan dijadikan sebagai tempat bergosip. Para pengunjung tidak segan berbicara dengan suara keras dan tertawa ngakak tanpa peduli beberapa orang yang memang serius belajar. Bahkan para pustakawannya juga ikut bersuara keras.

Anehnya, beberapa warung kopi lebih senyap dibandingkan perpustakaan. Perlahan, kebiasaan yang saya rencanakan untuk tinggalkan setelah menikah ini muncul lagi. Kebiasaaan itu terjadi sampai sekarang. Ketika saya hendak bekerja dan tidak ada internet, sementara kuota minim. Mau bekerja di rumah bisa rebutan laptop dengan anak. Akhirnya warung kopi menjadi pilihan.

Alasannya sama. Warung kopi lebih senyap dari perpustakaan. Ditemani segelas kopi, saya bisa melakukan apa saja di sini. Mau kerja, main game, sampai terkantuk-kantuk dengan modal tidak sampai Rp 20 ribu saja. Bisa jadi juga kurang.

Posting Komentar

0 Komentar