Delapan Hari Tanpamu

AKU MENATAP layar ponsel yang tidak berdering sejak tadi. Harusnya ada telepon masuk dari Dio sejak pagi. Entah itu Whatapps, Wechat, atau BBM. Tidak ada satu pesan pun masuk hari ini. Apa dia tahu aku sedang bersama lelaki? Ah, dia temanku. Teman sekelasku yang banyak membantuku dalam banyak hal. Lagipula dia tidak mungkin tertarik padaku. Kami berbeda dalam banyak hal.
“Mungkin dia sedang bekerja lembur dan tidak ingat untuk memegang ponsel, Sha. Oil sering kali berbuat demikian padaku. Aku hanya mencoba mengerti dia. Kurasa kamu juga bisa berbuat begitu. Ini konsekuensi long distance relationship, kan?” Temanku May, berkata untuk menenangkan. Kekasihnya berada di Bangkok, bekerja di pemerintahan.

“Biasanya dia akan mengirim satu pesan saja. Sekedar bertanya kabar atau mengabari aku soal pekerjaannya. Aku kenal suamiku, May.” Jelasku pada lelaki asal Thailand ini.
“Mungkin kamu harus berinisiatif untuk meneleponnya lebih dulu,” sarannya lagi. Aku tidak menanggapi sarannya. Menelepon dari Beijing ke Banda Aceh sangat mahal. Aku lebih suka menunggu Dio meneleponku. Lebih hemat dan lebih murah. Lagipula ini zamannya berkomunikasi dengan jaringan internet. Jauh lebih hemat.

Aku terus mengiriminya pesan. Bertanya padanya mengapa tidak menghubungiku. Aku mengatakan ngambek. Aku bercerita ini dan itu. Tidak ada balasan. Dibaca pun tidak. Kemana dia? Suamiku mendadak menghilang. Ah, inilah resiko jika sudah menikah tapi tinggal berjauhan. Apa yang dia lakukan di sana aku tidak tahu. Apa yang aku lakukan dia juga tidak tahu. Ketika kami larut dalam cemburu, komunikasi terputus.
*
“Sudah tiga hari dia tidak ada kabar,” kataku pada Deny, teman perempuanku asal Kamboja. Dia anti perselingkuhan, anti LDR, dan sangat realistis. Cara pikirnya sama seperti perempuan Indonesia kebanyakan. Mungkin karena kami sama-sama orang Asia Tenggara.
Deny menyarankan seperti apa yang dianjurkan oleh May. Kujelaskan padanya, sudah ratusan pesan aku kirimkan ke semua platform percakapan yang dia punya. Dia tidak peduli. Bahkan membaca pun tidak. Padahal pesannya masuk. Aku malah curiga dia memiliki hubungan dengan perempuan lain. Bukankah lelaki tidak bisa hidup jauh dari perempuan?
Teori itu dibenarkan Deny dan dibantah oleh May. Bagi May semuanya tergantung kepada personal masing-masing. Dia dan kekasihnya akan menikah dua atau tiga tahun lagi. Mereka tidak akan saling menyakiti. Mereka sudah berkomitmen dalam hal ini. May bahkan tidak akan tergoda kepada perempuan secantik apapun. Bagiku dan Deny, ketidaktergodaannya kepada perempuan karena dia sangat tertutup dan tidak terlihat berminat pada perempuan lain. Di matanya, Oil satu-satu perempuan tercantik di dunia. Oh, ada satu lagi. Ploy, adik kandungnya.
“Lelaki punya kesempatan dan kemampuan untuk menyembunyikan perselingkuhan. Mereka tidak terdeteksi. Sementara perempuan tidak. Mereka bisa mudah sekali terdeteksi. Dalam hal ini aku merasa tidak adil sekali terlahir sebagai perempuan, Tisha.” Retorika Deny.
“Apa suamiku sedang berselingkuh?” Tanyaku lirih pada diriku sendiri. Aku mengucapkan dalam bahasa Inggris. Sehingga kedua temanku tahu apa yang sedang aku pikirkan.
No way! Pikirkan hal yang lain, Tisha. Bisa saja suamimu sedang sakit. Tapi dia memikirkan dirimu yang sedang sibuk dengan kuliah. Jadi dia putuskan untuk tidak menganggu harimu. Berpikirlah positif. Kalian para perempuan selalu berpikiran jelek.” May bersuara dengan intonasi tinggi. Deny sampai terbengong dengan suara May yang tidak biasanya.
*
“Dio, apa kamu baik-baik saja? sudah seminggu sejak terakhir kali kita face time, kamu menghilang. Dio, harusnya kamu tahu aku sedang sibuk kuliah. Tidak perlu menghukumku seperti ini. Aku baik-baik saja dan tidak macam-macam. Aku kangen kamu. Love you,” kukirimkan pesan suara ke wechat Dio, juga ke Whatapps. Pesan itu hanya dia dengar, tanpa balasan. Ini membuatku semakin sedih.
Aku dan Dio berpacaran selama tujuh tahun. Pada tahun keenam, aku mulai jenuh dengan hubungan kami yang tidak jelas. Aku memutuskan untuk mengakhiri. Tapi tidak ada cara. Dio terlalu baik, aku juga tidak mau hidup tanpa kejelasan. Keberuntungan berpihak padaku untuk mengakhiri tanpa menyakiti. Aku meninggalkannya untuk kuliah ke Beijing. Dua tahun penuh rintangan, pertengkaran, kupikir kami sudah berakhir. Tidak begitu kenyataannya. Di saat aku sudah menyerah, Dio melamarku dan kami menikah.
Kami banyak melihat pasangan suami istri berjauhan setelah menikah. Keduanya masih bisa saling berbahagia meskipun berjauhan. Mereka tetap bisa saling bersama dan memamerkan foto mesra meskipun sesekali bertemu. Kami berdua juga yakin akan bisa seperti ini. Aku kembali ke Beijing dan Dio tinggal di Banda Aceh. Kami berkomunikasi melalui kecanggihan alat komunikasi saja. Dua kali sehari, pagi dan malam. Untunglah perbedaan waktu tidak berbeda jauh. Hanya satu jam lebih cepat waktu di China.
“Kita bisa melewatinya, Sha. Jika aku bisa bertahan untuk setia sebelum kita menikah, kenapa aku harus menyerah menunggu setahun lagi saat kita sudah menikah,” begitu kalimat yang keluar dari mulut Dio ketika aku memintanya untuk datang ke Beijing dan tinggal bersamaku. Sebentar saja. Agar Dio tahu kehidupanku di sana.
“Apa kamu percaya aku? Aku akan sibuk sekali di tahun terakhirku.” Aku masih mencoba membujuknya.
“Aku tidak akan pernah menikahimu jika tidak percaya kamu. Aku percaya kamu, selama kamu tidak merusak kepercayaanku,” dan kalimat ini pula yang menerbangkan aku kembali ke Beijing.
Mengingat itu semua, aku sangat terharu. Menghadapi kenyataan saat ini, aku sangat terpukul. Semudah itu dia melupakan dan menyiksaku dalam perantauan. Dia tidak pernah mengerti bagaimana susahnya aku ketika bangun pagi tidak menemukan pesan balasan darinya. Mungkinkah Dio sudah tidak percaya lagi padaku? Tapi kami sudah menikah!
*
Dua hari berlalu sejak Dio mendengar pesan suaraku dan membaca semua pesan selama seminggu. Dia tidak menghubungiku. Aku semakin gelisah. Jika hubungan kami akan berakhir seperti ini. Sudahlah. Aku juga tidak punya kekuatan untuk mengembalikannya. Mungkin memang beginilah akhir cerita kami. Aku sudah pasrah.
*
Hari ke delapan penantianku. Kutemukan sebuah pesan balasan di Wechat. Hanya sebuah suara panggilan di sana, “Tisha.”
Aku lega, setidaknya aku tahu dia baik-baik saja. Setidaknya aku tahu kalau Dio tidak melupakan aku. Cepat-cepat aku balas pesan itu dengan balasan lebih panjang.
Kutanyakan kondisinya, kemana saja selama delapan hari, apa yang menyebabkan dia meninggalkan aku. Apa yang terjadi dengannya. Dio kembali mengabaikan pesanku. Sepanjang hari.
Menjelang tidur, sebuah panggilan melalui video call muncul di Wechat. Aku sangat gembira dan menerima panggilan itu segera. Kuabaikan tesis dan hasil penelitian yang menumpuk di depanku. Apapun kondisinya aku sangat senang. Aku akan menjawab panggilan ini. My mood booster.
“Tisha, maaf, aku menghilang beberapa hari ini. Aku kecelakaan. Parah. Aku nyaris meninggal dan kamu nyaris menjadi janda kembang.” Katanya sambil tertawa. Dia memperlihatkan beberapa bagian yang masih penuh perban.
“Apa? Kenapa tidak ada yang mengatakan padaku, sayang?” Kalimat yang disampaikan padaku lebih dari yang aku bayangkan. Aku benar-benar terkejut.
“Aku melarang mereka menyampaikan padamu. Aku tidak mau tesismu terganggu dan kamu, kan, tahu benar. Aku tidak mau semua orang repot. Apalagi jika kamu sampai pulang ke Banda Aceh hanya untuk menjagaku.” Dia tertawa seolah apa yang dia alami ini hanya luka gores. Dio melanjutkan, “Sekarang aku sudah baik-baik saja. Sudah bisa berjalan. Itu kan yang penting. Aku masih hidup dan kamu gagal jadi janda.”
Kutarik napasku dalam-dalam. “Dio, tahukah kamu aku sudah nyaris bunuh diri karena prasangka. Aku cemburu setengah mati atas apa yang aku tidak mengerti.”
Dio tertawa. Dia mengakhiri telepon dan mengatakan tidak akan menghubungiku selama dua hari ke depan untuk sebuah urusan penting. Apapun itu, I love you… [ ]

Cerita ini dipublikasikan di Basajan.net

Posting Komentar

0 Komentar