Dilema Bahasa Mandarin dan Komunikasi Antar Budaya

Ketika saya kuliah S2 dulu, tinggal di asrama adalah pilihan bagi setiap mahasiswa asing. Kita bisa tinggal di asrama kampus atau tinggal di luar dengan menyewa flat dengan biaya sendiri. Bagi sebagian mahasiswa asing dengan biaya sendiri, tinggal di luar kampus memang pilihan. Selain lebih bebas, mereka memang punya dana yang mencukupi untuk sewa kamar di luar kampus yang bisa dikatakan tidak murah. Bagi mahasiswa seperti saya yang cenderung kere, tinggal di asrama kampus adalah solusi paling mantap. Apalagi semuanya sudah ditanggung oleh beasiswa. Apa lagi yang dipusingkan?

Hampir tiga tahun lamanya, saya sangat diuntungkan dengan roommate yang dipilih. Rommate pertama berasal dari Amerika Serikat, dia menyewa flat di luar kampus. Dia hanya pulang ke kamar untuk beristirahat beberapa jam sebelum masuk kuliah lagi. Saya tinggal dengannya selama dua tahun.

Berbagi kamar dengan orang asing memiliki tantangan yang besar.
[Photo: Pexels]

Dia mengatakan saya sebagai best roommate ever, karena saya kerap menutupi keberadaannya tidak di kampus dengan berbagai alasan. Sebenarnya sama-sama menguntungkan. Saya tidak diberi roommate lain dan dia tidak dalam masalah atau kick out  dari kamar. Memiliki rommmate sepertinya sangat menguntungkan. Pertama, dia jarang di kampus. Dia juga tidak pelit berbagi ilmu. Dalam hal ini saya menggarisbawahi sebagai grammar checker. Ya, dia bisa sesekali mengecek tugas kuliah saya yang didominasi dalam bahasa Inggris.

Sisi lainnya, ketika dia kebetulan nginap di asrama, saya bisa berlatih bahasa Inggris dengannya. Saya bercerita banyak dan dia menjadi pendengar yang baik. Hasil akhirnya saya beri nilai sendiri. Ketika saya bercerita hal-hal lucu, dia tertawa terbahak. Ketika saya bercerita sedih, dia ikut meneteskan air mata. Ketika saya bercerita pengalaman seram, dia juga meringkuk ketakutan dan ikut menjerit. Dia adalah indikator peningkatan Bahasa Inggris saya setiap waktu.

Roommate kedua saya berasal dari Belgia. Dia seorang aktris di Beijing. Yach, dia memang orang Belgia keturunan China. Dia punya rumah di Beijing. Keuntungannya, dia tidak punya banyak barang. Setiap musim pakaiannya dari rumah diganti dengan pakaian yang ditinggal di asrama. Keberadaannya di asrama nyaris tidak ada. Sehingga saya menguasai kamar di lantai delapan seorang diri.

Berbagi kamar dengan orang asing tidak hanya mencoba mengerti satu sama lain,
kita juga belajar tentang budaya mereka.
[Photo: Pexel]

Keberadaannya yang jarang di asrama tercium oleh teman sekelasnya asal Pakistan. Gadis itu licik sekaligus pintar. Dia tahu caranya mengambil hati roommate selebritis saya dan akhirnya dengan rasa bersalah roommate saya pindah tiga bulan jelang kelulusan. Sedih pasti. Selain itu, saya mendapatkan ganti dengan rommate asal Korea Selatan. Saya sudah mengenalnya sejak pertama kuliah di Chuanmei.

Sama halnya dengan roommate asal Amerika, si cewek Belgia ini juga membagi banyak hal kepada saya. Dari dia saya kenal yang namanya luxury brand, termasuk kosmetik mewah sekelas Chanel. Barang yang dia pakai semuanya branded dan tampang serta isi dompetnya memang mendukung. Dia juga tidak kuliah dengan beasiswa, dia kuliah dengan sistem self-founded. Sejak sekamar dengan dia, saya perlahan belajar otodidak membedakan barang ori dan KW. Selama ini saya sering kali terjebak dengan barang KW, sejak tinggal dengan dia menyentuh jadi tidak pede dengan barang KW.

Ada satu tas Michael Kors yang saya sukai dan dia punya. Dia berniat menghadiahi saya benda itu. Tote bag hitam yang super elegan ketik disentuh dan ditenteng. Ketika saya cek harganya di marketplace, otomatis saya menolak pemberian itu. Mungkin dia tersinggung, tapi saya tidak peduli. Sesuatu yang mahal pasti mengharapkan balasan yang mahal pula.

Setiap dia pulang kampung ke Belgia sana atau kebetulan ada keluarganya yang datang dari Belgia, pasti saya ketiban barang mewah. Mulai dari sekotak coklat mahal sampai kosmetik mewah seperti YSL, Lancome, dan lain-lain. Wanginya itu, hmm... jangan tanya. Luar biasa mewahnya.

Dia juga anaknya baik, pekerja keras, dan punya cara pandang tidak seperti aktris kebanyakan. Dia jarang meginap di asrama. Lebih banyak menghabiskan waktu dengan pacarnya di apartemen mereka. Jadi, saya lebih sering menghabiskan waktu sendiri di kamar. Fokus mengerjakan tesis.

Saya sama sekali tidak tertarik dengan Korea Selatan.
Memiliki roommate asal Korsel adalah sebuah tantangan.
[Photo: James Lucian | Pexels]

Setelah dia 'dicuri' oleh teman sekelasnya, saya berganti roommate dengan mahasiswi S1 asal Korea Selatan. Bisa dikatakan, saya sempat menangis karena kepergian teman saya ini. Malam esoknya dia datang dengan beberapa blok post it dan buah potong. Kami makan bersama. Saya tahu dia ingin membayar rasa bersalahnya karena meninggalkan saya tiba-tiba. Saya tidak masalah lagi, toh roommate baru saya juga anak yang baik.

Hikmah besar saya dapatkan ketika berganti roommate. Dia tidak mampu berbahasa Inggris, mau tidak mau saya berbicara bahasa mandarin. Bahasa Mandarin sudah lama tidak terpakai, mau tidak mau saya gunakan lagi untuk mempermudah komunikasi di antara kami. Kami berbicara banyak, mulai dari obrolan tentang didepak gadis Pakistan yang membarter dirinya dengan roommate saya sampai berbincang tentang hidup.

Bahasa mandarin kami  bisa dikatakan sama-sama kacau. Bahasa Mandarin dia beraksen Korea tanpa shengdiao (nada) dan Bahasa Mandarin saya terikut gaya dia. Sampai akhirnya kami sama-sama menertawakan cara kami berkomunikasi di depan gadis lokal yang merupakan orang China.

Dia bertanya, "Women shuo de hua ni mingbai ma? (Kamu ngeri nggak kami bicarakan apa?)"

Si gadis China menggeleng, "Ni shuo de shenme huayu? (Kalian ngomong bahasa apa?)"

Saya dan rommate Korea tertawa ngakak. Kami menjawab bareng tanpa komando, "Bahasa Mandarin!"

Di antara semua memori manis tentang roommate Korea saya, inilah momen paling memorable yang pernah ada. Kami berkomunikasi dengan Bahasa Mandarin dan lucu-lucuan di depan orang China yang nggak ngerti kami sedang ngomongin apa.

Pada akhirnya, saya paham beberapa hal. Sebagai seorang perempuan muslim yang membatasi diri dengan hal-hal yang tidak sesuai dengan diri saya, banyak hal yang menciptakan jurang di antara daya dan para roommate. Semua bukan tanpa alasan. Komunikasi antar budaya memang masalah paling besar yang kami hadapi.

Gaya hidup rapi adalah salah satu tantangan hidup dengan orang asing.
[Photo: Pexels]

Hambatan yang saya alami ketika bersama si Amerika memang bukan serta merta hal yang buruk. Seperti kebanyakan anak muda lainnya, dia lumayan berantakan. Dia juga berasal dari negara rasis yang sangat anti Islam. Hal paling saya hormati dari dia adalah soal menghargai orang lain. Terutama prinsip saya sebagai seorang muslimah. Ketika teman lelakinya datang, dia tidak pernah memberi izin msuk ke dalam. Jika teman lelakinya ada di luar, dia akan berbisik-bisik mengingatkan agar saya memakai kerudung. Kami tidak pernah membahas soal agama, apalagi berkaitan dengan teror WTC yang terjadi tahun 2001 silam. Tidak pernah!

Bagi dia, saya terlalu rapi dan perfeksionis. Ini yang membuat dia sedikit terkekang dengan menjadi roommate saya dan memilih tidur dengan kekasihnya. Yach, selain dia juga memang suka tinggal dengan kekasihnya sejak dulu.

Hambatan ketika tinggal dengan gadis asal Belgia lebih menantang lagi. Saya sedikit shock dengan kebiasaan tidurnya. Dia tidur di siang hari dan bergadang di malam hari. Dia juga merokok, meskipun tidak pernah merokok di kamar. Dia punya teman dekat lelaki, bahkan ketika temannya datang dia tidak basa basi langsung mempersilahkan temannya masuk. Terkadang saya dalam kondisi tiduran dengan posisi paling nyaman.

Sama halnya dengan rommmate Korea Selatan, dia juga minum minuman beralkohol. Dia pernah minum sebotol Wisky dan teler sampai pagi. Dalam kondisi setengah sadar dia berteriak kepada saya dengan rasisnya, "Olivia, you are boring girl! Kamu tidak bisa menikmati hidup. Just cheat your rule once won't grab you to the hell!"

Ah, orang mabuk nggak usah didengarin. Namun tetap saja kepikiran dengan kata-katanya. Karena masalah yang sama juga muncul dengan rommate sebelumnya dan setelahnya. Urusan agama. Bedanya, rommmate Korea Selatan tidak langsung sadis begitu. Dia masih menjaga walaupun sesekali saya menebak mereka bergosip tentang saya dengan teman-teman senegaranya.

Roommate Korea saya pernah tinggal di Indonesia selama dua belas tahun. Jadi, dia sangat paham bagaimana orang Indonesia. Dan lagi, setiap tahun dia selalu mendapat rommmate asal Indonesia. Meskipun baru saya yang muslim dan tidak ngefans berat dengan Korea seperti yang para pendahulu saya lakukan.

Masalah budaya dan agama memang masalah sensistif ketika berteman antar negara. Namun bukan berarti hambatan yang terlalu kaku sehingga tidak bisa diubah. Jika aturannya kaku, kita jangan. Tetap berteman tanpa melanggar prinsip dan norma yang kita anut.

Posting Komentar

0 Komentar