Dear, Olivers! Pernahkah kalian merasa tiba-tiba berada di suatu tempat dan malah seperti mimpi di siang bolong? Saya pernah, kaget karena coret triplist ke Lombok setelah delapan tahun. Lho, kok delapan tahun? Iya, ceritanya juga panjang.
Tentu banyak pertanyaan
yang muncul. Kenapa sampai delapan tahun? Ngapain saja selama itu? Masa iya
nabungnya nggak pernah cukup selama delapan tahun?
Salah satu ikon di bandara Lombok [Photo: Liputan 6] |
Berawal dari Tesis
Saat menulis tesis dulu,
saya sangat semangat ingin mengkaji pariwisata Indonesia. Beberapa topik
komunikasi pariwisata ditolak oleh supervisor. Pembimbing saya ini mau saya
menulis tentang orientalisme di Asia Tenggara, sementara saya sama sekali gagal
paham dan tidak tertarik soal ini. Padahal Indonesia yang dijajah oleh Belanda
selama 100 tahun lebih sudah menjadi cikal bakal westernisasi, kan?
Pokoknya saya nggak
tertarik, deh. Saya tetap keukeh dengan
jurnalisme warga, media baru, atau komunikasi pariwisata. Paling nggak
komunikasi internasional, lah. Ternyata setelah merenung panjang, saya malah
mendapatkan keempat topik ini dalam sekali jalan. Saya mengkaji kegiatan
jurnalisme warga di YouTube yang dilakukan oleh para pelancong asing di
Indonesia. Nah, tebak gimana senangnya saya!
Kehidupan memulai menulis
tesis ini lumayan penuh drama. Selama dua minggu saya nggak tidur bikin coding sheet untuk mengkaji
kecenderungan para wisatawan di Indonesia. Saat itu saya yakin banget Bali
menjadi destinasi utama. Ya, iyalah, kalau ngomongin Bali sepertinya semua
warga dunia tahu.
Sangat mengejutkan ketika
temuan saya justru Lombok, bukan Bali. Catat! Lombok, Nusa Tenggara Barat. Bukan
Bali, lho, ya. Jadi kebayang, kan? Saya berkutat dengan puluhan video Lombok
selama dua minggu untuk menemukan kesamaan dari pilihan wisatawan dunia itu.
Jawabannya cuma satu: pantai yang tidak ramai.
Saat menonton video
Lombok ini, saya mulai berpikir kalau bisa berkunjung ke sana. Syukur ada yang
memberi anggaran untuk langsung melakukan penelitian. Ini saya ucapkan dalam hati
sebagai doa. Meskipun setelah tesis saya selesai, tidak pernah ada lagi nama
Lombok dalam kepala dan hati.
Liburan Teman Bule
Saat saya masih berjuang
dengan tesis, teman saya mengirimkan kabar kalau dia berada di Indonesia. Saya tentu
senang kalau mereka antusias dengan liburan ke Indonesia. Saya menebak dia
datang ke Bali, tapi ternyata bukan. Dia liburan ke Lombok. Waktu itu dia baru
mendarat di Jakarta dan akan terbang ke Lombok. Dia juga bertanya rekomendasi
tempat di Lombok dari saya.
Saya belum pernah ke
Lombok, tapi malah dimintai rekomendasi. Janggal sekali menjawabnya. Bermodal dari
video yang saya tonton selama dua minggu, satu persatu rekomendasi saya
berikan.
Liburan teman bule saya
ini lumayan seru. Sampai di Lombok dia demam tinggi. Bukannya ke dokter, dia
malah mengikuti petuah orang lokal alias mencoba pengobatan tradisional dari
dedaunan. Saya ngakak, dong. Bule bisa juga percaya hal beginian. Etapi, it’s okay. Kapan lagi dia berada di
Indonesia dengan kondisi yang Indonesia banget.
Lombok sebagai salah satu tempat surfing [Photo: Pexels] |
Kode Dua Tahun Terakhir
Saya nggak pernah
terpikir untuk ke Lombok setelah pulang ke Indonesia. Menikah, punya anak,
membesarkan balita, bekerja dengan ikatan dinas, dan menjalani long distance marriage sangat menguras
tenaga. Keinginan terbesar saya cuma punya banyak waktu untuk tidur di akhir
pekan tanpa gangguan tangis anak. Itu adalah momen yang mewah banget.
Selama dua tahun
terakhir, justru kesibukan saya semakin padat. Keinginan beristirahat semakin
tinggi. Bahkan sekali dua kali saya juga memberi kode pada suami untuk traveling. Nasib punya partner hidup nggak suka jalan, liburan
mewahnya adalah tidur. Akhirnya saya hanya melihat-lihat saja foto perjalanan
teman ke luar negeri, ke luar pulau, kemana saja.
Kalau ada yang mengatakan
saat kita bermimpi dan berdoa, alam semesta ikut mengaminkan. Mungkin saja
kalimat itu benar. Kode dua tahun terakhir selalu mengarah ke Lombok. Baik dari
buku yang saya baca, obrolan dengan suami, tontonan di YouTube, bahkan beberapa
tempat. Saya mengabaikan tanda itu semua. Karena dalam pikiran semua bentuk
perjalanan adalah mustahil.
Izin Tak Terduga
Awal September, saya mengirimkan
abstrak untuk konferensi internasional yang diselenggarakan oleh kampus saya
mengajar. Saat itu pula pembahasan tentang kongres nasional mengalir. Tahun ini
dilaksanakan di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Saya nggak begitu tertarik karena
anggaran yang harus dikeluarkan lumayan besar.
Kaprodi saya berkata, “kalau
kakak mau pergi, coba tanyakan pada abang. Kalau sudah oke, langsung kita
ajukan telaah. Untuk ketersediaan anggaran dan lain-lain, biar saya tanyakan ke
bagian umum dan keuangan.”
Saya katakan oke, tapi
yakin sekali suami akan keberatan untuk bilang yes. Setelah pulang ke rumah,
saya berpikir bagaimana cara menyampaikan tujuan ini. Apa kalimat yang tepat.
Tentu saja tidak mudah, karena anak terkecil saya berusia tiga tahun. Itu
artinya dia akan ditinggal bersama ayah dan keluarga neneknya selama lima hari.
Tak disangka, saat saya
mengajukan izin kepada suami langsung dijawab yes. Bahkan ketika saya katakan
kalau harus menalang anggaran terlebih dulu. Izin tak terduga itu saya dapatkan
dan membuat saya galau. Bagaimana dengan anak? Namun akhirnya saya tetap
memutuskan pergi karena tiga hal berikut:
[1] Membangun Relasi
Berada di kongres,
seminar, dan kegiatan yang melibatkan banyak orang bukan saja menghirup udara
baru dunia kerja. Kegiatan seperti ini juga membangun relasi dengan banyak
orang. Ini pula yang saya pikirkan saat memutuskan untuk pergi. Setidaknya ada
relasi untuk publikasi ilmiah. Percaya nggak percaya, dunia dosen itu lumayan
rumit. Publikasi ilmiah pun terkadang
butuh relasi yang disebut orang dalam.
[2] Butuh Waktu Dari Kejenuhan Kerja
Lima tahun bekerja tanpa
cuti yang berarti, saya merasa butuh waktu dari kejenuhan kerja. Salah satu
caranya adalah meninggalkan kantor dan tidak mengingat apapun yang berkaitan
dengan pekerjaan. Maka undangan ini adalah solusi yang sangat kuat untuk meninggalkan
meja kerja meski nggak sampai seminggu.
[3] Melihat Lombok dari Luar Layar
Selain kode yang terus
muncul, mungkin ini juga sebuah kode kuat untuk melihat Lombok dari luar layar.
Keberangkatan kali ini serius untuk mencoret triplist delapan tahun silam saat menulis tesis.
Berdamai dengan Situasi dan Kondisi
Bagi working mom, berdamai dengan situasi dan kondisi seperti makanan
yang membosankan. Apalagi jika itu berkaitan dengan urusan anak. Tentu saja
setelah mendapat izin suami dan berbagi peran selama ditinggal perjadin, ada
hal lain yang harus dilakukan. Bagi saya yang paling berat adalah cara memberitahu anak tentang perjadin.
Saat anak mulai ngedrama
nggak mau ditinggal atau hati kita mulai goyang, disitulah letak tantangannya. Saatnya
saya mulai mencari kosa kata yang baik dan membuat anak merelakan emaknya healing sekejap. Berdamai dengan situasi
dan kondisi ternyata nggak semudah mencoret triplist
ke Lombok setelah delapan tahun. Tidak, Olivers!
Coret Triplist!
Dalam berbagai hal, saya
yakin selalu ada hasil dari setiap proses. Termasuk usaha meluluhkan hati anak.
Prosesnya sangat mendebarkan dan menguras air mata. Apalagi selama ini saya
nggak pernah meninggalkan anak di luar jam kerja. Namun akhirnya saya
melakukannya selama 5x24 jam dan anak menerima dengan lapang dada.
Demi apa? Demi coret triplist ke Lombok setelah 8 tahun cuma dijadikan materi untuk penelitian tesis. Meskipun langkah saya tidak jauh, tapi saya yakin akan kembali dengan cerita baru dan kesempatan yang baru lagi.
Tentu saja, dalam perjalanan singkat ini ada nama yang harus saya ucapkan terima kasih. Suami yang dengan rela berbagi peran dan memberi kesempatan jalan lebih jauh.
22 Komentar
Asik bacanya kak. Santai. Kereen pokoknya.
BalasHapusMakasih, Pak Kaprodi. Semoga menikmati perjalanan virtual bersama Oliverial
HapusAkhirnya berangkat ya mba. Setelah penantian panjang. Berat memang meninggalkan anak. Tp syukur anak bisa mengerti ya. Semangat
BalasHapusIya, Mbak. Perjalanan yang tidak disangka-sangka, tapi tidak begitu dinantikan.
HapusEntah kebetulan apa memang iya, ketika kita mempunyai keinginan semesta ikut mendoakan.
BalasHapusSetuju banget, Mbak. Itu benar adanya.
HapusJangan takut bermimpi ya mbak, entah kapan selama kita tetap memegang mimpi itu ada aja jalan untuk mewujudkannya
BalasHapusbtw setelah kembali pastinya membawa energi lebih untuk mewujudkan mimpi berikutnya
Benar, Mbak. Seperti ada energi untuk kembali dengan tujuan merekam jejak dalam kata. Semangat bermimpi!
HapusWih selamat Kak Ulfa, akhirnya bisa coret triplist ke Lombok dengan dinamika perjalanannya yang unik selama 8 tahun.
BalasHapusSo inspiring, ini semua tentang menabung doa yang tak terputus sampai akhirnya menjadi kenyataan yang indah
Benar, Pak Yonal. Selalu ada kemungkinan di antara hal-hal tak mungkin.
HapusSecara nggak langsung ngajarin aku untuk percaya dengan impian. Aku pernah berada di posisi nggak percaya dengan cita-cita karena keadaan yang kualami. Tapi yang namanya impian atau cita-cita itu kan harus ada usaha. Satu hal yang kusadari manusia itu berencana tapi Tuhan yang menentukan. Bukan berarti kita nggak berusaha sama sekali, tapi tetap harus ada batasan ekspektasi.
BalasHapusKalau dari kisah Kak Ulfa ini, Kak Ulfa udah mengerahkan segala usaha, dan ternyata Tuhan punya rencana terbaik di waktu yang tepat
Benar, banget, Kak.
HapusNilai plus dari Lombok itu memiliki keindahan alam seperti Bali, tetapi dalam versi yang lebih sepinya, ya. Jadi ingat novel Tere Liye yang berjudul Sunset Bersama Rosie. Setting tempatnya di Lombok. Sayang, itu jadi novel Tere Liye yang nggak mau saya baca ulang. Hehe.
BalasHapusSaya justru penasaran alasan kenapa nggak mau dibaca ulang. Hehehe
HapusWah senangnya bisa coret triplist ke Lombok. Tempat yang jadi list aku juga sih, hihi. Semoga aku juga bisa mewujudkannya seperti kak Ulfa. Berat banget emang kalau mau perjalanan jauh ninggalin anak, tapi demi kesempatan baik, Alhamdulillah yaa anak dan suami juga mendukung.
BalasHapusInsyaallah suatu hari juga akan coret triplist-nya, Mbak.
HapusPasangan yang bisa saling memahami adalah karunia Tuhan. Kesempatan yang muncul berkat kuatnya keinginan adalah karunia. Mantap, akhirnya kesampaian ya, Kak.
BalasHapusAlhamdulillah. Akhirnya sampai.
HapusPerjalanan yang melelahkan ya pasti kak, padahal masih perjalanan Indonesia tapi pasti terbayar sudah ketika impian sudah terwujud. Btw cerita ketemu singkat sama orang Lombok itu belum dimasukin ke cerita inikah? Atau beda part lagi?
BalasHapusAda part khusus tentang beliau yang akan ditulis, Kak. Qadarullah, kesibukan udah nggak bisa diprediksikan lagi.
HapusTernyata dunia publikasi ilmiah juga membutuhkan orang dalam, ya. Sepertinya pekerjaan dalam bidang apapun membutuhkan relasi yang baik, ya salah sstunya bisa menemukan orang dalam itu, ya?
BalasHapusBahasa halusnya mitra, Mbak. Untuk mempercepat proses terbit dan sangat ngaruh untuk akreditasi juga. Adanya kerja sama publikasi penilaian utama dalam akreditasi bidang penelitian.
Hapus