Man itu lelaki yang usianya lebih tua dua dari saya, dia sedang melanjutkan pendidikan doktoral di fakultas yang berbeda. Pengalamannya internasionalnya lumayan. Dia pernah menjadi dosen di sebuah kampus swasta kecil di Bangkok. Menurut ceritanya, dia memiliki tiga orang kakak perempuan dan dua di antaranya sudah usia menikah tapi memilih single forever.
Man anak bungsu, sedangkan saya anak sulung. Saya pikir
inilah alasan kami bisa cocok. Saya yang bersikap dewasa karena memiliki tiga
orang adik, dia yang kekanakan karena dimanja tiga orang kakak. Faktor dibesarkan
oleh keluarga yang dominan perempuan membuat Man lebih kemayu, bahkan banyak
yang mengira dia itu seorang gay. Padahal
tidak. Saya tahu dia masih normal meski agak feminim.
Tembok Cina yang panjang di atas puncak gunung. [Photo: Pexels] |
Satu hal yang membuat saya kaget tentang Man, ternyata dia fobia ketinggian. Namun saya juga
tidak menyangka setelah turun dari pendakian kedua dengan cable car, saya juga mendadak takut ketinggian. Kaki saya ngilu
saat berada di tempat tinggi.
Yakin
Usaha Sampai
Saya lupa pernah mendengar kalimat yakin usaha sampai di sebuah iklan, tapi
lupa pernah mendengarnya dimana. Slogan ini pula yang membuat saya yakin akan
baik-baik saja naik ke atas sana tanpa berpikir akan pingsan ataupun mendadak
mati di atas tembok Cina sana. Tentu saja saya akan turun dengan selamat dan
sehat-sehat.
Kami masih makan di tempat biasa, di salah satu
restoran yang direservasi kampus untuk menikmati makan siang yang mewah. Meski mewah
yang dimaksud itu seringkali tidak sesuai dengan lidah kami dari berbagai anak
bangsa. Tentu saja, sebagai lidah Aceh yang lebih akrab dengan asam sunti dan rempah
panas, aroma minyak wijen dari chinese
food sama sekali tidak bersahabat dengan lidah saya.
Saya makan demi bertahan hidup dan menikmati
pengalaman sebagai manusia yang terasing di dunia asing. Itu saja. Namun pengalaman
kuliner yang saya dapat di tembok Cina sungguh berkesan.
Berada di meja yang tertulis muslim table ini sama sekali bukan tujuan utama saya. Maksudnya saya
nggak bermaksud wisata kulineran di sini, jadi sasaran menu yang saya makan
masih sama dengan kunjungan ke tembok Cinasebelumnya. Saya tetap menikmati gongbao
jiding (ayam kungpaw) dan tumis buncis dengan cabe kering. Saya tidak
meyentuh makanan lain yang menurut saya beraroma menusuk dan menyengat.
Usai makan siang yang sama saja nikmatnya itu,
kami melanjutkan perjalanan dengan bus ke kampus. Saya duduk di bus
berdampingan dengan Man. Di belakang kami Jhennya dan Antoine duduk bersama
sambil melihat-lihat foto di kamera Man. Jhennya teman saya asal Rusia yang
tergabung dalam no lonely club. Sementara
Antoine berasal dari Switzerland berada di kelas lain.
Dalam beberapa trip, saya memperhatikan jarang
sekali mahasiswa asing berbaur. Mereka akan memilih bergabung dengan teman
senegara, sezona wilayah, atau sebenua. Anak-anak Asia Tenggara persendirian
sering berkumpul jika ada trip seperti ini. Teman-teman sekelas juga akan
berkumpul bersama ketika bergabung. Kecuali mereka benar-benar persendirian. Padahal
tujuan trip adalah untuk mendekatkan seluruh mahasiswa agar berbaur seperti
keluarga.
Tiba di asrama, saya langsung terkapar. Tidur
karena lelah setelah membasuh diri dengan air hangat. Saya melewatkan shalat
maghrib. Saya terbangun kembali tengah malam dengan kondisi badan segar. Pantas
saja yisheng (dokter) bilang untuk terus beraktivitas
dan olahraga selama mengosumsi obat rasa kecoak
itu. Ternyata khasiatnya memang sedahsyat itu.
My
Yaqin is Return
Saya tidak membatalkan keberangkatan ke tembok
China. Itu artinya yaqin (uang
jaminan) saya juga tidak hangus. Saya
bisa mengambil yaqin kembali dengan
penuh tanpa pemotongan.
Uang seratus yuan yang saya ‘tabung’ di bangongshi (kantor) bisa menjadi hak
milik tanpa drama. Uang itu langsung saya manfaatkan untuk makan pizza di I Do pizza dengan Man, Gaby, dan Helland
bersama.
Pizza sebagai makanan penyelamat untuk warga asing yang tidak terbiasa dengan chinse food. [Photo: Catscoming] |
Kami bercerita perjalanan trip kami. Fobia yang
diderita oleh Man menjadi bahan tertawaan saya. Sementara Gaby dan Helland
menunjukkan sikap prihatin terhadap Man. Mereka berempati dengan apa yang
dialami oleh Man selama di tembok Cina. Memang tidak mudah, tapi Helland
menyarankan untuk menyembuhkan diri sendiri perlahan. Dia juga bercerita bahwa
pacarnya memiliki masalah yang sama sebelumnya, kemudian dia membuat terapi ala
dia demi menyembuhkan kekasihnya.
Gaby bercerita tentang liburan ‘panas’ mereka di
Tianjin. Saya dan Man yang notabene orang Asia Tenggara yang masih tabu pada
hal-hal begitu memilih diam sambil menunduk. Sibuk memainkan ponsel. Gaby dan
Helland sibuk becerita dan berbagi pengalaman romantisme mereka bersama pacar.
Kami baru kembali bergabung dengan obrolan
keduanya ketika Gaby bercerita agak sulit menjalin hubunan dengan kekasihnya
yang berasal dari Malta. Mereka terbentur pada keyakinan. Gaby katolik yang
punya komitmen tidak mungkin pindah agama menjadi Islam. Sementara kekasihnya
asal Malta juga sama. Tidak mungkin pindah agama dari Islam ke agama lain. Kecuali
mereka memilih hidup satu atap beda agama.
Gaby bertanya pada saya soal Islam. Gaby mengakui
berat menjalani kehidupan sebagai Islam dengan gaya hidupnya yang bebas. Sementara
kekasihnya tidak mau pindah agama.
“Bukankah kalian selama ini sudah hidup bebas
tanpa berjalan di aturan agama? Aku rasa untuk hidup bersama kalian tidak perlu
memikirkan agama, jika selama ini kalian sudah mengabaikannya,” celetukan
Helland membuat kami bertiga langsung terdiam.
Jadi sejak obrolan dimulai, saya menempatkan
masalah Gaby dari sudut pandang saya yang taat aturan dan menolak hidup bebas,
apalagi free sex. Sementara Man
menempatkan posisinya dalam aturan yang nggak jauh beda dengan saya. Dia menempatkan
kekasih Gaby yang sedang berpikir bagaimana melanjutkan hubungan dengan Gaby
karena agama.
Kami terlalu overthinking,
hanya Helland yang benar-benar logis mencerna apa yang terjadi di antara Gaby
dan pacarnya. Ini bukan soal siapa akan mengikuti siapa. Pernikahan bagian dari
gaya hidup dan komitmen bersama yang akan dijalani oleh Gaby asal Ekuador
dengan kekasih Malta-nya.
(T.A.M.A.T)
0 Komentar