Ketibaan saya di bandara tersibuk kedua di dunia tepat pada pukul satu dini hari. Tidak ada yang menjemput, tidak tahu medan pertarungan, dan saya seorang diri. Masa muda saya tergolong nekat untuk seorang gadis yang kemampuan bahasa Inggris pas-pasan dan bahasa mandarin nol besar. Cuma tekad untuk belajar dan doa yang menjadi pondasi untuk bertahan.
Di arrival
hall Beijing Capital International Airport
(BCIA), saya tidak tahu siang atau malam. Di dalam gedung bandara lampu terang
benderang, tapi saya menyeret koper ke sana kemari seorang diri.
[Photo: Pexels] |
Saya pernah mendengar dari seorang kawan ketika di
Xiamen dulu, China cukup ramah muslim. Bertolak belakang dengan pemberitaan
media selama ini. Di China, setiap kampus wajib memiliki kantin halal untuk
mahasiswa muslim. Sekolah juga wajib memberi izin kepada siswanya yang
merayakan hari besar agama Islam.
Saya rasa ini pula yang membuat saya akhirnya
terdampar di ibukota China tanpa terencana. Saya memilih Beijing sebagai salah
satu destinasi pendidikan tanpa alasan. Karena kampus bagus yang saya incar ada
di kota ini, maka saya yakin ini tempat yang tepat untuk saya.
Teman saya yang kuliah di bagian lain China lantas
pernah berkata, pilihan saya terlalu tinggi. Tidak sadar diri dan kemampuan.
Tiga pilihan kampus yang saya sasar semuanya berada di grade tinggi. Alasannya sederhana, karena saya tidak paham. Bukan
karena faktor gengsi.
Di kursi bandara, saya duduk dengan tatapan awas
ke sekeliling. Berharap ada yang saya kenal keluar dari pintu kedatangan
internasional. Meskipun kemungkinan ini sangat kecil, tapi saya tahu bukan
tidak ada yang tak mungkin di dunia ini.
Sesekali saya melirik pada jam besar yang
tergantung di arrival hall. Angka
digital warna merah yang tanda titik duanya berkedap-kedip rasanya lama sekali
berganti. Saya akan membuka mata sampai pagi. Artinya selama tujuh jam karena
tidak tahu harus kemana.
Tidak ada kawan yang menjemput. Harusnya saat
keluar dari pintu kedatangan internasional, saya langsung saja menyapa lelaki
berkulit hitam dengan poster bertuliskan Communication
University of China. Mininal saya punya petunjuk menuju kampus.
Stigma buruk tentang orang kulit hitam mendorong
sisi ekstrovert saya tenggelam di bawah logika. Akhirnya saya terduduk menunggu
pagi. Kalau dikatakan penyesalan, inilah penyesalan saya. Tidak menyapa pemilik
poster itu.
Setengah jam kemudian, dua orang pemuda keluar
dati bandara. Mereka berdua backpacker.
Setiap tahun menabung untuk melancong keliling dunia. Melihat setiap sudut kota
di dunia dengan modal ransel dan hubungan pertemanan internasional. Namanya
Aziz dan Afif.
Aziz pelajar di Greenwich University, London. Dia kuliah dengan biaya orangtua dan
bekerja part time di London. Katanya
lumayan untuk anggaran backpacker.
Tampangnya biasa saja, tapi dia ramah dan tidak pelit bicara.
Afif lebih diam, dia calon pilot. Kuliah di salah
satu sekolah penerbangan terbaik Malaysia. Hobinya memang jalan-jalan melihat
dunia, itu pula alasan dia menjadi seorang pilot.
Kedua pemuda ini bersahabat sejak kecil. Mereka
jarang bertemu karena kesibukan masing-masing, tapi perjalanan adalah waktu
yang tepat untuk quality time
persahabatan mereka. Mereka berencana menghabiskan waktu sebulan di China, tapi
hanya seminggu di Beijing. Beberapa tempat touristy
yang bersejarah sudah dicatat.
Tian'anmen Square sebagai salah satu tempat touristy di Beijing. [Photo: Pexels] |
Aziz ingin kunjungi tempat bersejarah, tapi Afif
ingin makan enak. Rencana itu sudah dia katakan sejak mereka lepas landas dari
KLIA. Aziz berulang kali mengingatkan tidak mudah untuk mencari makanan halal
di Beijing. Afif sepertinya bukan orang yang terlalu ketat urusan makanan.
Selama bukan babi dan tidak mengandung babi, dia tidak peduli.
Dia mengulang kembali cerita ketika backpackeran
ke Jepang tahun sebelumnya. Mereka bisa hidup dengan makanan yang muslim friendly. Dimana-mana ada kantin
yang muslim friendly.
"Tak ada beda lah antara Beijing dan
Tokyo," kata Afif dalam bahasa Melayu.
Aziz masih tidak mau mewujudkan wisata kuliner.
Dia berkeras untuk berkelana dengan sejarah, keindahan arsitektur kota, dan
lain-lain. Bukan kuliner. Titik.
"Ziz, sudah tiba di Beijing, tidak seru tanpa
ke Wangfujing," rayu Afif.
Saya pernah dengar Wangfujing, spot destinasi
wisata mancanegara untuk kaum berduit. Barang mahal, bermerek, dan cocok buat
mereka yang tidak tahu mau membawa uang kemana.
Saya tertawa mendengar perdebatan kecil mereka.
Dalam kepala saya mengingat semua apa yang mereka inginkan dan katakan. Luar
biasa kedua teman baru saya ini. Punya banyak uang, keliling dunia dan selalu
punya cara menikmati masa muda.
Aziz menolak dan berkeras mengingatkan Afif soal
halal haram bukan sekedar mengandung babi atau tidak. Afif diam sesaat, mencari
peluang untuk meracuni Aziz lagi. Aziz lantas pamit shalat Isya. Saya tinggal
bersama Afif di lobi. Itu pun perintah Aziz agar Afif menemani saya dulu.
Jangan sampai saya ditinggal sendiri. Sementara itu Aziz berkata pada saya,
kalau mau tidur tidur saja. Ada Afif yang menjaga koper kami.
Saya senang bukan main. Bertemu teman baru yang
menyenangkan dan perhatian. Cowok ganteng pula. Terutama Afif, tampangnya lebih
cocok menjadi aktor daripada pilot. Airmukanya seperti ada blasteran bule.
Afif memang ditugaskan untuk menjaga saya dan
koper kami. Kenyataannya Afif malah molor. Saya yang malah menjaga koper kami
bertiga. Aziz kembali cukup lama. Dia ronda keliling bandara sampai ke lantai
tak terhingga.
Selama Aziz mencari tempat shalat, Afif malah
tidur. Saya membuat pertemanan baru lagi. Ada lelaki bermata sipit baru
mendarat. Dia menyapa saya dengan salam.
Saya membalas sapaan dengan jawaban salam pula.
Dia memperkenalkan diri dengan nama Artem Tsoy, pemuda asal Korea Utara.
Saya baru tahu kalau orang Korut namanya bisa unik
dan bahasa Inggrisnya bagus. Bahasa mandarinnya apalagi. Dia kuliah Bisnis di Beijing Foreign Studies University.
Setelah berbincang lama dengan Artem, saya baru
tahu ngeh kalau dia dan keluarganya migrasi ke Rusia. Di negeri Putin itu
mereka mengganti kewarganegaraan dari Korut menjadi Rusia. Namanya pun ikut
berganti. Tsoy tentu marganya yang diterjemahkan dalam bahasa Rusia. Saya tidak
bertanya apa marganya di Korea, tapi saya menebak Choi.
Dia banyak bercerita tentang keluarganya,
kondisinya di Beijing, satu tahunnya di Beijing, dan pertemanannya. Umumnya
teman-teman Artem berasal dari Kazastan dan Azerbaizan. Katanya, di lingkungan baru mereka dia lebih bisa diterima.
Mendengar cerita Artem, hati saya hangat. Saya
melihat Islam di lingkungan Artem. Bahkan sikap Artem tidak terlihat sebagai
Korut atau Rusia. Saya melihatnya sebagai orang yang memiliki hati yang tulus.
Dia kaget saat mendengar cerita saya. Dia juga
mengajak saya untuk menumpang taksi yang akan menjemputnya. Nanti dia bisa
antar saya dulu, lalu melanjutkan perjalanan ke kampusnya yang lebih jauh.
Saya menolak dengan alasan menunggu pagi. Meski
saya seorang diri, saya tidak lantas percaya dan terima mentah-mentah tawaran
orang asing.
Aziz kembali dan ikut bercerita dengan Artem. Aziz
lebih hati-hati dalam bersikap. Artem meninggalkan bandara begitu taksinya
tiba. Dia juga meninggalkan nomor ponsel, id wechat, dan beberapa kosa kata
dalam bahasa mandarin untuk bekal saya.
Aziz kembali sibuk membangunkan Afif untuk shalat
Isya. Afif tampaknya sangat lelah. Dia bisa tidur dalam posisi duduk tanpa
terpengaruh gangguan kiri kanan. Saya berjalan ke sana kemari. Membuat
pertemanan baru lagi.
Seorang gadis lokal duduk di kursi dengan laptop
McBook yang terbuka. Dia ditemani pacarnya yang tidak bisa berbahasa Inggris.
Dia nimbrung ngobrol dan komen ini itu tetapi dengan cara tidak menyenangkan.
Tiba-tiba dia menawarkan diri menjadi guide dan menawarkan harga fantastis.
Saya kaget. Bukannya tadi dia menyapa dan mengajak berteman? Kenapa tiba-tiba
tawarin jasa?
Aziz mengambil alih percakapan dan menolak. Aziz
berbohong mengatakan saya sedang menunggu pagi dan menemani mereka. Sementara
mereka sudah berjanji akan dijemput seseorang sampai subway mulai beroperasi.
Si gadis bernama Amanda tidak percaya. Dia minta
bukti kalau saya tinggal di Beijing dan mahasiswa di Chuanmei. Dia kaget dan
memuji saya yang bisa tembus di sana. Bagi saya biasa saja. Justru saya ingin
lulus di Xiamen atau di bagian selatan lainnya. Bukan Beijing, bukan Chuanmei.
"Ulfa tak perlu percayakan dia, ya. Dia tak
baik," kata Aziz dalam bahasa Melayu. Saya mengangguk dan membenarkan.
Amanda terlalu memaksa. Jenis manusia ini pasti penipu terselubung.
Saat terang mulai turun, saya memutuskan untuk
meninggalkan bandara dan menuju ke kampus. Saya berpamitan pada Aziz dan Afif.
Aziz mengingatkan, "Ulfa, tak perlu percayakan semua orang. Take care yourself. Contact us as soon as
possible you get internet."
Entah kenapa. Saya terharu.
Di depan bandara saya mendapat taksi dengan
berbagai penawaran tak masuk akal. Akhirnya saya mendapat taksi dengan harga
600 RMB. Sebelumnya di atas 1000 RMB.
Sopir taksi yang saya sapa shifu ini luar biasa baik. Dia mengajak saya bicara dalam bahasa
mandarin. Saya berusaha memahaminya, begitupun si shifu ini. Ajaib! Percakapan dasar saya bisa dimengerti oleh shifu ini.
Tiba di depan gerbang kampus, sopir taksi berhenti. Lalu menurunkan koper di tepi jalan. Katanya dia tidak bisa masuk ke dalam. Saya tercengang. Padahal saya baru memuji beliau orang yang baik. Ternyata saya masih ditipu.
Untung saja saya sudah mempelajari rute ke kampus melalui google map satelite. Saya sudah hapal bentuk gedung rektorat. Jadi saya tidak merasa ditipu oleh si shifu ini sepenuhnya.
0 Komentar