Writing for Healing, Pelarian Atau Produktivitas?

 “Ya, ampun. Keren banget masih bisa nulis. Padahal kan sibuk sekali Anda bekerja, ngurus anak, dan kesana kemari. Produktif ya, Buk!” komentar itu tidak hanya mengandung sebuah pujian, tapi juga mengandung ledekan.

Gimana nggak? Pada ujungnya saat seorang emak-emak berprestasi dengan karyanya, selalu ada orang yang akan melirik sisi kurangnya. Apa sih yang dia nggak bisa? Itu sering banget terjadi dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Seharusnya woman support woman, malah yang terjadi woman push woman dalam makna yang negatif.

[Photo: Pexels]

Padahal di balik seseorang ingin menjadi famous sebagai penulis ataupun alasan lainnya. Selalu ada bih why yang dia tidak ungkapkan ke publik tentang apa yang mendoronganya menulis dan menjadi produktif. Alasan itu nggak semata-mata soal ambisi. Ada pula soal psikologi, seperti saya misalnya.

Si Ambivert Labil

Pada dasarnya saya memiliki keempat kepribadian yang seimbang, tapi ada masa-masanya salah satunya menjadi dominan. Sebagian orang yang mengenal saya mengatakan saya introvert, sebagian lainnya menganggap saya introvert. Saya suka bertemu orang banyak, membuat pertemanan dan seru-seruan dengan mereka. Di waktu yang lain, saya nggak suka ngumpul sekedar haha hihi tanpa tujun. Apalagi kalau nongkrong-nongkrong untuk memperbaiki feed Instagram. Ini juga big no bagi saya.

Lantas saya menemukan sebuah artikel yang menjelaskan tentang ambivert. Ambivert ini gabungan dari ektrovert dan introvert. Katanya orang dengan kepribadian ambivert bisa lebih fleksibel dalam menghadapi berbagai situasi dan lingkup pergaulan sosial. Orang dengan kepribadian ini bisa menikmati situasi sendiri atau sedang bersama teman-temannya.

Ambivert juga memiliki kepribadian tertutup.
[Photo: Pexels]

Kata orang dan ciri yang disebutkan dalam artikel tersebut, setidaknya ada tujuh ciri-ciri yang menjadi kepribadian ambivert. Pertama, bisa menjadi pendengar dan teman bicara yang baik. Kedua, merasa nyaman saat sendiri maupun bersosialisasi. Ketiga, memiliki kemampuan mengatur sifat. Keempat, memiliki rasa empati yang tinggi. Kelima, bisa memberikan keseimbangan. Keenam, terkadang menikmati ketiga menjadi spotlight. Ketujuh, orang lain memberikan persepsi yang berbeda.

Setelah saya pikir dan renungkan, apa yang menjadi ciri di atas juga saya miliki. Meski poin terakhir menjadi kekurangan sekaligus kekuatan, tapi saya cukup menikmati ketika menjadi ambivert.

Menikmati Peran Introvert

Salah satu kelebihan yang diberikan Allah kepada orang introvert adalah keterampilan observasi yang kuat karena mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk memahami dan mengamati lingkungan. Ini benar adanya, saya suka mengamati dan menuliskannya kembali. Makanya menulis menjadi salah satu cara pengembangan diri yang efektif untuk dipilih.

Saya sangat tertarik dengan bidang mengamati dan menulis, ini juga sebuah alasan untuk menjawab pertanyaan big why menulis. Rasanya lebih plong ketika bisa menjalani peran seorang introvert  yang saya miliki.

Write You, Heal Me

Bagi saya menulis itu sebuah terapi jiwa. Jika ada masalah dengan manusia, saya lebih suka membiarkannya berlalu. Akan tetapi, jangan pikri saya tidak emosi. Terkadang emosi yang menggelegak tidak bisa ditahan-tahan lagi. Jadinya semua emosi itu saya tumpahkan pada tulisan-tulisan, tentang apa saja pelampiasannya adalah menulis.


Menulis menjadi bagian dari menenangkan diri.
[Photo: Pexels]

Sebagian dari cerpen-cerpen saya atau catatan terlahir dari kisah nyata yang saya jalani di real life. Sayangnya, kebanyakan cerita pendek yang berdasarkan dari luapan emosi itu memang suda tidak ada lagi. Ikut hilang ketika laptop saya meledak dan datanya nggak bisa dikembalikan lagi. Ya, sudahlah! Saya ikhlas.

Menulis juga membuat saya melepaskan beban yang menyangkut di kepala. Contohnya saja ketika saya mengalami suatu peristiwa. Menulis satu-satunya cara membebaskan pikiran yang berlalu lalang memenuhi ingatan. Kalau bagi sebagian orang menulis untuk melawan lupa, bagi saya justru menulis untuk melupkan.

Saya sangat merasakan manfaat menulis ini untuk menyembuhkan diri sendiri ketika ayah saya meninggal. Waktu itu saya sedang berada di China dan menjalani semester satu kuliah. Tentu saja, informasi kematian adalah kejutan. Informasi berpulangnya ayah saya justru bukan saja kejutan, tapi jarum-jarum es yang menusuk hati dan membekukan hati saya sebagai manusia.

Setiap waktu saat air mata nggak terkontrol dan keinginan meratap muncul, saya mengontrol diri dengan mengambil buku tulis dan pena. Saya menulis apa yang ingin saya ungkapkan tentang keadaan. Saya tidak peduli saat menulis air mata justru membasahi lembar-lembar buku. Terpenting saya mengobati diri dengan menulis.

Cara ini sangat ampuh. Saya ikhlas dan bisa menerima keadaan. Percaya bahwa takdir dan kematian adalah hak prerogatif Allah. Tidak ada yang bisa melawan kehendak-Nya, tapi harus diambil hikmahnya.

Saat saya membaca kembali buku itu, saya bertanya-tanya pada diri sendiri. Bagaimana saya bisa bertahan hingga saat ini. Dari seseorang yang berjuang menenangkan hati dengan menulis, sampai seseorang yang mendampingi orang lain untuk bertahan melalui tulisannya.

Menjaga Kewarasan Dengan Menulis

Kalau boleh ge-er, menjadi ME itu sangat melelahkan. Kepribadian ambivert yang akdang-kadang juga bisa terluka. Kehidupan nyata yang tidak seindah kisah romansa novel atau dracin bikin bucin. Semuanya hanya bisa disembuhkan dengan menulis.

Ya, menulis.

Menulis dapat menjaga kewarasan saya dari aktivitas lika liku kehidupan yang nggak ada habis-habisnya. Karena hidup memang butuh treatment dari diri sendiri, saya memilih menulis sebagai treatment. Bukan sekedar produktivitas, apalagi pelarian.

Posting Komentar

0 Komentar