Negara mana yang membuat kamu ingin sekali melihat sistem pendidikannya secara langsung? Kebanyakan jawaban tentu negara Finlandia, karena negara ini dinobatkan sebagai negara yang punya sistem pendidikan yang bagus. Iya, apalagi letaknya di Eropa. Kebayang bagaimana excited-nya melihat dan merasakan langsung sistem pendidikan di sana.
Saya jutsru ingin melihat pendidikan di Jepang.
Ya, Jepang! Sejak pertama kali mengenal Jepang dari berbagai referensi, saya
jadi pengen banget berada di sana dan ikut merasakan sistem pendidikan Jepang.
Ternyata doa saya diijabah, tapi agak belok sedikit ke negara tetangganya,
Cina.
Pendidikan bagi masyarakat Cina menjadi prioritas utama. [Photo: Pexels] |
Terbang ke negeri tirai bambu ini sama sekali
tidak pernah ada dalam mimpi saya. Apalagi referensi saya tentang pendidikan di
sana juga minim. Satu-satunya kenangan tentang pendidikan di Cina terlintas
dari serial Guruku Tersayang yang
saya tonton saat kecil. Kisah tentang seorang guru asal kota yang mengajar di
desa tertinggal. Itu saja.
Ketika mengajukan beasiswa ke Cina, banyak bisikan
kiri kanan yang memberi gambaran pendidikan negatif di Cina. Khususnya untuk
mahasiswa asing yang tidak ditolerir dengan bahasa Inggris. Namun, saya bukan
tipikal orang yang percaya apa yang tidak saya lihat secara langsung. Saya
mencari informasi melalui bantuan Mbah Google dan menemukan beberapa gambaran
tentang pendidikan di Cina. Apalagi jurusan yang saya inginkan, saya kaget
karena spesifikasi bidang komunikasi dan studi media lebih bervariasi daripada
di Eropa.
Bismillah, saya mulai memilih kampus dan jurusan.
Meski harapan saya untuk lulus di sana tidak besar. Saya agak kaget karena skor
TOEFL yang diminta untuk program taught
in english sebelas dua belas dengan kuliah di Amerika. Akhirnya saya
memilih untuk mengambil program bahasa mandarin, meskipun pada akhirnya saya
juga menyelesaikan studi dengan bahasa pengantar Inggris. Bagian ini ceritanya
panjang, akan ada sesi khusus untuk bercerita soal pindah jurusan ini.
Kampus
Internasional
Kata orang, Cina tidak welcome untuk warga negara asing khususnya untuk bidang pendidikan.
Kenyataannya tidak, penerimaan mahasiswa internasional di Cina melalui beasiswa
salah satu bentuk negara ini membuka diri pada kesadaran pendidikan
internasional. Proses seleksinya juga ketat, kemampuan bahasa yang diminta juga
nggak kaleng-kaleng. Meskipun pada masa saya ada toleransi dengan kemampuan
bahasa asing minus, tapi bisa lulus. Mereka akan digenjot lagi untuk belajar
bahasa mandarin setiba di kampus.
Tidak semua kampus di Cina membuka program
internasional, tapi untuk setiap kampus utama di tiap provinsi pasti ada kelas
internasional dengan bahasa pengantar Inggris. Sisanya, orang asing masuk
dengan mahasiswa lokal dengan sistem pendidikan Cina dan menggunakan bahasa
pengantar mandarin. Untuk yang kuliah di kelas bahasa mandarin, kebiasaan
santai kuliah di Indonesia agak sedikit ngos-ngosan bersaing dengan warga lokal
yang sudah rajin dari sononya.
Kelas internasional di Cina punya standar yang
berbeda dengan kelas lokal. Kebanyakan mengadopsi sistem pendidikan barat. Di
kampus saya dulu, dosen-dosen untuk mahasiswa asing dengan program bahasa
Inggris juga diimpor dari berbagai negara. Ya, visit lecturer sudah populer di Cina sejak tahun 2008. Tepatnya sejak
Olimpiade Beijing 2008 menjadi gerbang membuka diri bagi negara Cina.
Gedung rektorat Communication University of China, Beijing. [Photo: Search by Google] |
Dosen-dosen lokal yang mengajar di kelas
internasional juga lulusan dari luar negeri. Kebanyakan dari mereka lulusan
dari Eropa, Amerika, dan Australia. Bahasa Inggris mereka bagus-bagus, meskipun
ada satu dua yang masih lidah lokal dan prononsiasi bahasa Inggrisnya agak ting bu dong (nggak ngerti). Jumlah
dosen yang begini minim sekali. Biasanya, dosen di kelas internasional juga jam
terbangnya sudah internasional pula.
Les
Bahasa Inggris di Usia Dini
Soal pendidikan dengan kualitas internasional,
saya dibuat terkejut-kejut dengan sikap orang tua di Cina. Bagaimana tidak?
Anak-anak mereka sudah dimasukkan les bahasa Inggris dengan standar
internasional sejak usia dini. Bahkan orang tua tidak segan-segan membayar native speaker untuk menjadi language partner sang anak. Bayarannya
nggak tanggung-tanggung. Bisa tembus dua digit. Sayangnya, untuk kebangsaan
Indonesia, walaupun bahasa Inggrisnya cas cis cus peluang ini agak kecil.
Mereka butuh yang berambut pirang dan bermata biru serta kulit pucat meskipun
bukan native speaker.
Tingginya minat orangtua untuk menyandingkan
anak-anak mereka di kancah internasional juga memberi kesempatan besar untuk
dunia penerbitan. Banyak sekali buku belajar bahasa Inggris yang ditulis untuk
anak-anak belajar. Buku-buku ini juga sangat membantu saya dalam memahami
bahasa Inggris, khususnya grammer. Buku-buku
belajar bahasa Inggris dengan segala jenis konsep dengan mudah ditemukan di
toko-toko buku Beijing seperti Wangfujing
Book Store, Beijing Languange International Bookstore, Xinhua Bookstore, dan
lain-lain. Tentu saja, bagian yang paling mengagumkan adalah harga bukunya yang
sangat ramah di kantong.
Les
di Luar Negeri
Satu hal lagi yang mengejutkan saya, bagi
anak-anak yang kehidupannya menengah ke atas punya persaingan yang luar biasa.
Khususnya untuk mahasiswa semester akhir dan kesibukan kuliah tidak begitu
padat. Orang tua tidak segan-segan untuk mengirim anaknya les di luar negeri.
Orang tua akan ngeluarin fulus jor-joran demi kemulusan studi anaknya. Nggak
tanggung-tanggung, lho. Anaknya akan dikirim ke Eropa, Australia, atau ke
Amerika Serikat untuk belajar bahasa Inggris. Selemah-lemahnya dompet orang tua,
anak akan dikirim ke negara tetangga yang berbahasa pengantar Inggris tapi
biaya hidup tidak tinggi.
Saya pernah berbincang dengan mahasiswa lokal yang
menghabiskan waktu setahun di Vancouver, Kanada. Saya tentu penasaran kenapa
dia menghabiskan waktu setahun di sana dan terlihat tidak membawa pulang gelar
apapun. Apalagi menurut pengakuannya, di sana dia hanya traveling saja. Ternyata alasan nyatanya adalah belajar bahasa
asing. Tidak setiap hari masuk kelas, tapi di luar jam belajar di ruang kelas
mereka akan belajar langsung di lapangan.
Untuk kaum elit (ekonomi sulit) seperti saya,
jawabannya tentu fantastis. Bagaimana dia bisa melakukan aktivitas menyenangkan
seperti itu. Awalnya saya menebak ada beasiswa yang menanggung les elit si
kawan. Akan tetapi reaksinya sangat membuat saya terpojok.
10 Komentar
Wah keren.. semangat kak semoga bisa lulus
BalasHapusAmin. Semoga semua impian untuk menuju ke kampus impian selalu diijabah, ya
HapusKalimat terakhir bacanya ikutan nyess
BalasHapusHiks, iya banget lagi. Bisa ada sesimpel itu ngomongnya.
HapusKeren nih kalo bahas cina itu selalu iri dengan sistem pendidikannya..
BalasHapusOrang tua di Cina juga cuku antusias demi pendidikan anak...
Benar. Mereka nggak peduli penampilan asal anak bisa sekolah tinggi dan di tempat terbaik.
HapusSaya pernah melihat langsung pendidikan Jepang, Kak. Dan memang asyik bin kereeen
BalasHapusBenar. Pengen banget ke sana.
HapusUntuk ekonomi menengah ke atas memang bukan masalah, tapi untuk masyarakat menengah ke bawah, beasiswa jelas jadi incaran. Anakku bahkan sudah melirik ke sana.
BalasHapusBenar, Kak. Rasanya mau lanjut kuliah pun saya nunggu beasiswa lagi
Hapus