Episode Pecah Telur (Porsi Kedua)

 Bagi mahasiswa, bekerja sambil kuliah memang dijalani sebagai seru-seruan. ya, menghilangkan kegabutan karena punya kesempatan. Mahasiswa sekarang malah dengan bangga mengatakan, “mau beli iPhone, Bu. Sayang Mama kalau diporotin, kayaknya mau ngerasain saja gimana beli barang yang kita suka dengan uang sendiri.”

Oke, tidak masalah. Itu juga bagus, kok. Untuk benda semahal itu memang butuh usaha untuk mendapatkan dan menghargai nantinya. Kalau sudah tahu susahnya mendapatkan dan memperjuangkan, biasanya usaha melindungi juga sudah maksimal.


[Photo: Pexels]

Bagi saya yang termasuk dalam kelompok mahasiswa di bawah garis kemapanan sebagai mahasiswa, bekerja justru untuk tujuan yang lain. Awalnya saya ingin bekerja sebagai apa saja asal halal untuk memenuhi kebutuhan hidup di kota Banda Aceh yang mahal. Kemudian niat itu mulai bergeser untuk mencari pengalaman, lantas membeli mimpi, lalu ego.

Personal Color dan Mode Berpakaian

Semester lima dan menghilangnya saya dari kampus juga mengejutkan bagi sebagian besar teman-teman. Bukan saja karena tidak pernah bercerita apa-apa tentang kesibukan saya. Ke sana kemari dibayar oleh sponsor atau kantor, tapi kegiatan saya nyata. Apalagi tipikal saya tidak terlalu suka posting ini itu di Facebook.

Kesibukan kerja dan bertemu banyak orang dengan berbagai latar belakang membawa hal baru untuk saya. Gaya berpakaian saya berubah dari penyuka warna-warna gelap menjadi lebih cerah. Saya lebih suka memilih dan menggunakan pakaian yang girly dan juga karena berada di lingkungan yang menuntut berpakaian rapi. Saya mulai menemukan gaya berpakaian yang nyaman sejak menjadi editor di majalah lifestyle remaja bernama GET.

Seringnya meliput fashion dan menulis tentang fashion membuat saya belajar banyak. Apalagi ketika bertemu dengan para desainer, ikut pelatihan lifestyle reporting, dan bertemu konsultan fashion. Setelan andalan saya dari zaman old sampai akhir masa awal menikah sama: flare skirt dan blouse, tunik, blazer, cuffet, atau gathered. Saya paling suka berpakaian dengan gaya casual chic dan artsy. For your information, zaman saya semester lima belum ada trend gamis untuk anak muda dan abaya Cuma dipakai emak-emak.


Casual Chic Style
[Photo: IDN Times]

Lama menghilang dari kampus (selain jam kuliah kalau sempat) membuat orang tidak memperhatikan perubahan berpakaian saya yang berproses. Mereka hanya melihat ketika saya kembali ke kampus dan kaget pada make over yang terjadi. Tentu saja cas cis cus di belakang layar juga berisik seperti lebah.

Bussiness Trip

Selama bekerja, saya kerap mengikuti kegiatan yang diutus oleh kantor. Baik itu pelatihan atau workshop. Tempatnya bisa sangat jauh-jauh, umumnya ke luar daerah yang mengharuskan saya naik pesawat terbang. Pada masa itu saya merasa lebih sibuk daripada bupati. Dalam sebulan perjalanan yang saya tempuh bisa tiga sampai empat kota tanpa jeda. Kamar kos hanya tempat persinggahan sementara layaknya hotel.

Saking seringnya saya di luar, kamar kos sampai ditempati oleh teman kos lain. Saya memang punya kebiasaan tidak mengunci kamar karena percaya kepada mereka tidak akan mengganggu privasi saya. Namun setelah kejadian perjalanan saya yang lama, penilaian saya salah.

Suatu hari ada salah satu teman kos yang membuka kamar kos saya untuk ditempati oleh teman kampusnya yang menginap. Tanpa berniat menuduh, tapi beberapa koleksi novel saya hilang. Padahal novel-novel ini sangat sulit saya dapatkan. Saya menabung berminggu-minggu untuk melengkapi koleksi. Mungkin niatnya meminjam, tapi akhirnya jalan-jalan dan tersesat ntah dimana sampai tidak dikembalikan kepada saya.


Harry Potter adalah seri favorit sepanjang masa.
[Photo: Wizarding World]


Menulis dan Organisasi

Saking seringnya saya jalan-jalan, saya mulai merasa perlu menuliskannya. Apalagi menulis bagi saya bukan sekedar tugas kuliah atau kewajiban sebagai mahasiswa KPI-Jurnalistik dan pekerjaan. Saya mulai menemukan jiwa dalam setiap ketukan keyboard. Bahkan saya menemukan ketenangan seperti minum obat tidur setiap malam setelah menulis. By the way, saya punya insomnia parah. Katanya faktor genetik dari Ayah.

Blog yang sudah lama terbengkalai bernama Traveul-fa mulai saya aktifkan dengan catatan perjalanan dan makanan yang saya makan. Belakangan saya baru tahu jenis tulisan ini bernama travel writing  dan travel journalism. Isinya seputaran tempat makan, tempat nongkrong, kisah perjalanan dan lain-lain. Termasuk pertemuan saya dengan Nezar Patria yang menjadi mentor saya pada fellowship investigation reporting. Sayangnya blog ini sudah menghilang dari pencarian saat menggunakan VPN di China.

Kesibukan saya di organisasi juga bertambah. Apalagi di semester lima, posisi-posisi penting mulai diberikan kepada mahasiswa di semester ini. Dari semua kegiatan yang saya ikuti, hal paling berkesan adalah saat saya menjadi seksi acara seminar seminar KSR-PMI. Waktu itu kami mengadakan seminar kemanusiaan. Di sela kerja dan kuliah mengelola acara dan mencari narasumber.


Danau Laut Tawar
[Photo: Search by Google]

Sangat pesimis bagi saya untuk dapat menghubungi Prof. Muslim Ibrahim, saat itu menjabat ketua Majelis Ulama Indonesia (MPU) Aceh. Tidak disangka, tanpa banyak ninu-ninu beliau langsung mengiyakan permintaan saya melalui telepon. Di hari H, saya melihat sendiri bagaimana wibawanya guru besar lulusan Mesir itu berjalan gagah ke podium memenuhi undangan saya. Terharu dan senang sekali rasanya. Apalagi kami sempat mengobrol, saya seperti merasakan abusyik (kakek) hidup kembali di usia saya yang bukan lagi remaja.

Omongan di Balik Layar

 Setelah berbagai hal yang saya hadapi di semester lima, saya kembali ke kampus pada semester enam dan kontrak saya selesai dengan Irish Red Cross Society. Saya tidak berniat memperpanjang kontrak. Tiba-tiba saya sadar harus menyelesaikan apa yang sudah saya mulai.

Dilengserkan rekan untuk kuliah di Dublin City University adalah satu cermin kalau saya harus menyelesaikan semuanya. Jangan mudah percaya kepada orang lain, juga intropeksi diri. Saya meminta maaf kepada dosen PA karena tidak mendengarkan beliau.

Beliau menangis, tidak menyangka saya minta maaf. Padahal sikap dan tindakan saya di semester lima tidak merugikan beliau sama sekali. Beliau menandangani KHS saya yang hancur-hancuran dan menyerahkan kembali sambil tersenyum, tapi saya menerima sambil menangis. Kecewa pada diri sendiri, menyesal tiada arti.

Ketika berkumpul dengan teman-teman dekat, mereka bercerita banyak gosip dan komentar di luar sana. Saya menjadi omongan di kalangan dosen karena dianggap melalaikan kuliah, padahal mereka tidak masuk lagi di kelas saya. Dosen saya berubah semua dengan para praktisi. Mereka kecewa karena saya ‘tergoda uang’ dan menomorduakan fokus utama.


[Photo: Pexels]

Pada semester akhir, saya harus menggenapi SKS yang kurang untuk mendaftarkan KPM. KPM sudah dibuka, tapi saya tidak bisa mendaftarkan diri. Padahal saya punya keistimewaan tidak perlu mengikuti KPM karena pernah menjabat sebagai Sekretaris Umum Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Fakultas (MPMF) pada semester lima juga. Sayangnya, SK kepengurusannya hilang, dan pertinggalnya juga hilang di rumah ketua MPMF pada periode saya menjabat.

Entah bagaimana caranya, teman sekelas saya mengusahakan agar saya bisa ikut KPM atau bebas KPM. Tiba-tiba saja dengan status 12 SKS mata kuliah yang masih berjalan, saya terdaftar sebagai calon mahasiswa KPM. Saat tes KPM, tiba-tiba saya sakit dan pitam di depan penguji. Saya yakin sekali tidak lulus, saat pengumuman nama saya keluar dengan keterangan LULUS. Padahal teman-teman bilang beliau adalah salah satu dosen yang ikut mengghibah tentang saya.

Di sini saya belajar satu hal, tidak perlu percaya apa yang tidak kita lihat dan dengar sendiri. Apa yang keluar dari mulut orang lain tidak terverifikasi kebenarannya.

Di saat teman-teman mulai sibuk mempersiapkan proposal skripsi, saya sibuk masuk kuliah dengan adik kelas. Rasanya memang berbeda. Dosen menuntut saya harus tahu banyak di kelas adik kelas. Padahal saya sama nge-blank dengan yang lain.

Belum lagi pertanyaan pertama ketika melihat NIM saya sebagai senior, “kenapa ulang mata kuliah ini?”


[Photo: Pexels]

Berulang kali pula harus saya jelaskan, “saya belum ambil MK ini, Pak. Semester lima saya magang di Palang Merah Irlandia.”

“Apa yang kamu dapatkan di sana. Coba ceritakan pada kami semua. Ilmu yang kamu dapatkan di sana harus ada kaitannya dengan mata kuliah ini.”

Serius, saat saya harus berbicara di depan kelas, ada satu penyesalan yang selalu meneror. Penolakan ke Dublin City University, Irlandia. (T.A.M.A.T)

Posting Komentar

0 Komentar