Teruntuk Ney

 Aku mengenal Neyna sejak tahu caranya mengingat kenangan. Aku tidak pernah ingat bagaimana dia menangis dan selalu digendong oleh Ayah. Aku juga tidak ingat betapa lucunya dia ketika masih balita. Semua yang orang katakan tentang Neyna, dia adalah bocah paling imut sekampung ini. Aku tidak ingat bagaimana Neyna kecil dan tumbuh selucu yang orang tuturkan.

Aku mengenal Neyna ketika dia mulai berdiri dengan celana pendek lungsuran saudara-saudara setanah air. Duduk sambil tersenyum kaku, sama sekali tidak menunjukkan keramahan. Wajahnya tampak seperti cemburut saja. Pipinya montok. Neyna adalah bocah perempuan paling menyebalkan di mataku. Bahkan ketika kami beranjak remaja hingga dewasa bersama. Aku selalu mengingat Neyna dengan deretan dosa yang menyebalkan.

[Photo: Pexels]


Neyna pernah mencongkel celenganku hanya untuk membeli permen karet dua rasa di sekolahnya. Saat aku menangis dan marah diikuti rasa benci pada Neyna, dia muncul di hadapanku untuk mengembalikan uang sisa jajan itu. Neyna sungguh tdak mengerti, selembar uang hijau itu bisa membuatku bahagia dengan setumpuk komik Topeng Kaca.  Neyna tidak perah mengerti. Tidak sama sekali.

Neyna pernah memakai bajuku tanpa izin dan aku sangat marah. Setelah baju itu kotor, dia tidak pernah ada inisiatif untuk mencucinya. Di mataku Neyna adalah kerbau kecil pemalas. Bahkan untuk angkat pantat pun Neyna tidak sanggup. Kenangan lain tentang Neyna, aku selalu memarahiya karena pekerjaan rumah.

“Hari ini kamu yang cuci piring,” aku menunjukkan daftar piket yang dibuat oleh orang tua Neyna dan orang tuaku. Neyna hanya bertugas mencuci piring saja. Dia tidak perlu mencuci perkakas lainnya.

“Kan ditulis cuci piring, bukan cuci periuk,” itulah jawaban Neyna yang selalu membuatku naik darah.

“Aku  tidak mau sekamar denganmu!” bentakku suatu hari ketika menemukan kamar berantakan. Neyna tidak pernah bisa merapikan kamar, tapi dia selalu membuat kamar berantakan.

“Aku tidak mau pindah!” Neyna tanpa dosa selalu menjawab.

“Aku tidak mau kamu masuk ke sekolahku. Apa kata teman-temanku kalau aku punya adik bodoh sepertimu?!” Aku membuat Neyna menangis kehilangan percaya diri begitu lulus SMP. Dia berusaha keras untuk masuk yang sama denganku. Aku berdoa semoga Neyna tidak diterima. Neyna memang tidak lulus. Tapi untuk masuk sekolah lain pun dia sangat kesulitan.

Terkadang aku bertanya-tanya. Kenapa Tuhan menganugerahi dia wajah bak persolen tapi dengan isi kepala sangat minim. Aku kesal setengah mati pada Neyna. Aku tidak peduli jika ada orang berwajah cantik, tapi tidak oke otaknya. Karena aku tahu tampang dan otak jarang bisa jalan bersama.  Aku hanya mengesalkan ketika paket ini justru diberikan pada Neyna. Duniaku terasa terbalik.

“Maya, aku ingin membelikan hadiah untuk Neyna. Apa yang dia suka?” suatu hari pertanyaan itu muncul dari Fajar, teman sekelasku. Tidak perlu bertanya apa yang terjadi antara Neyna dan Fajar. Sudah aku tebak, mereka pasti sedang bersama. Mereka menghabiskan waktu dengan pacaran.

Sepulang sekolah kumarahi Neyna habis-habisan. Kenapa dia harus pacaran dengan Fajar, teman sekelasku. Aku sangat malu sampai tak berani melihat wajahnya. Ketika mereka putus, Fajar mengolok-olok Neyna dengan mengatakan perempuan cantik tidak punya otak. Emosiku melonjak sampai beberapa puluh derajat. Tubuh gempal Fajar melayang terjungkang di bawah pohon minyak kayu putih. Tidak ada yang membela Fajar. Mereka tahu dia salah karena menghina Neyna. Tidak ada pula yang menyelamatiku. Sebaliknya mereka menjaga jarak denganku. Teman-temanku mulai berkurang karena Neyna. Kalau saja dia tidak harus berurusan dengan Fajar.

“Kau selalu saja bersama para lelaki, teman-temanku terus saja menggunjing dan mengatakan kau gampang dibawa-bawa!” Aku memarahi Neyna lagi. Neyna dengan santainya hanya melenggang di depanku. Seolah aku tidak ada di depannya. Meskipun begitu, sikapnya tidak berubah. Selalu banyak yang naksir pada Neyna.

Iyalah, dia cantik.

Hingga dewasa menghampiri aku dan Neyna. Aku memiliki pekerjaan sambil kuliah. Kadang kala aku membeli hadiah untuk orang rumah. Kerudung, daster, baju kaos dan lain-lain. Piciknya, aku selalu memilih yang terburuk dan termurah untuk Neyna. Bagiku nilai tidak ada pengaruh apapun untuk Neyna. Dia tetap akan mencampakkan dimana saja dia mau. Dia tidak bisa menghargai barang yang aku berikan. Neyna memang begitu.

Neyna harus berjuang untuk menyelesaikan kuliahnya. Dia menerima pesanan jahitan sementara dia masih harus mengikuti ujian ke sana kemari. Dia keluar masuk kebun orang kaya untuk menerima upahan sebagai buruh pemetik kopi. Semua dia lakukan untuk menggenapi uang SPP kuliah yang tidak cukup-cukup. Aku masih tertawa saja memandang Neyna menderita. Aku tertawa lucu melihatnya bentol-bentol karena gatal.

Neyna tetaplah Neyna. Dia tidak berubah seiring masa. Dia masih perempuan yang cantik. Dia masih tidak bisa mengkompromikan antara tampang dan otaknya.

Sampai ketika dia lulus kuliah dan diterima bekerja di sebuah perusahaan swasta. Neyna menikmati gaji pertamanya seperti orang kalap. Dia lupa untuk menabung. Dia membeli ini dan itu. Sama seperti dulu saat dia berpacaran dengan Fajar, ketika orang mengomentari Neyna begini dan begitu aku pun ikut emosi.

Apa yang salah dengan Neyna tampil modis. Dia punya uang yang berhak dia keluarkan. Dia tidak mengemis pada mereka yang mulutnya berbuih bau menggunjing Neyna. Neyna tidak terpengaruh, tapi aku iya. Aku marah sekali ketika Neyna menjadi omongan. Omongan orang dan ketidaknyamananku menambah kadar benci pada Neyna.

Neyna adalah Neyna. Dia selalu ada di rumah untuk Ayah dan Emak ketika aku jauh di perantauan. Dia mengorbankan uangnya untuk membeli makanan enak ketika Ayah sakit. Dia menggunakan uangnya ketika semua perkakas dapur bocor. Dia menempatkan dirinya dalam lilitan kredit ketika usia Ayah dan Emak mulai mulai lanjut. Itulah Neyna.

“Neyna, aku tidak punya lunch box untuk aku bawa ke mana saja,” keluhku pada Neyna. Tepat ketika kami terlalu tua untuk saling membenci.

Neyna tidak berkata apapun. Di awal bulan, seorang kurir datang ke rumahku. Mereka membawa paket dengan nama pengirim Neyna Alika. Isinya satu set lunch box yang aku inginkan. Tapi Neyna adalah Neyna. Aku tidak mengerti jalan pikirannya.

“Aku tidak bisa membayar uang kontrakan tahun ini,” aku tidak bermaksud meminta. Aku hanya ingin mengeluh. Kurasa Neyna orang yang tepat untuk mengeluh. Neyna lah yang melunasi dengan pertinggal kata, aku harus membayar begitu aku punya uang. Aku melupakan hutang itu, Neyna tidak pernah meminta.

Itulah Neyna. Dia bukan hanya memiliki tampang yang luar biasa. Dia juga mempunyai hati yang luar biasa. Hanya satu kata yang ingin aku sampaikan padanya. Dia adalah adik perempuan satu-satunya dan selalu menjadi satu-satunya dalam hidupku. Neyna, terimakasih untuk hidup yang kita bagi dalam suka dan duka. Ketika waktu mendewasakan kita, tidak pernah tahu kapan waktu yang tepat untuk mengatakan maaf.

Aku adalah Mazaya, kakak yang paling pengecut. Kakak yang tidak berani meminta maaf terang-terangan. Ayolah, Neyna! Berikan satu kata untukku. Walaupun kata, “Iya” untuk ungkapan bahwa kau memaafkan semua dosaku dunia akhirat. Karena ruang yang kita tempati sekarang tidak lah semudah dulu untuk saling menyentuh jemari.

Posting Komentar

0 Komentar