Berbincang tentang perjalanan, tentu banyak sekali kisah yang bisa dibagi. Baik itu suka ataupun duka, ditambah lgi berbagai macam pengalaman ‘asing’ yang membekas. Terutama jika berkaitan dengan perjalanan malam dan segala bentuk kehororannya. Tidak terkecuali saya. Di balik berbagai kisah yang tertuang dalam traveliner, ada saja cerita lain yang mengikuti.
Semua bermula dari sebuah
nama. Seunapet, sebutan untuk tempat di jalan pegunungan Seulawah yang
menghubungkan dua kabupaten, Aceh Besar dan Pidie. Nama itu sudah beken sejak
saya kecil, meskipun saya tidak begitu tertarik dengan ceritanya. Sampai saya
mengalaminya sendiri.
Tahun 2005, ketika saya ke
Banda Aceh untuk melanjutkan kuliah di Banda Aceh diantar oleh Mamak. Mobil
L300 yang kami tumpangi berhenti lama di jembatan kembar tapi sama itu. Ada
kecelakaan maut yang menewaskan beberapa orang. Jenazahnya sudah dibawa
ambulan, tapi petugas berseragam polisi dengan rompi hijau stabilo masih
berjaga di situ. Menertipkan lalu lintas dan... menemani seorang gadis muda
bermain darah.
Bermain darah? Ya, saya
melihatnya begitu. Meskipun korban sudah dipindahkan, darah masih berceceran di
aspal. Saya tidak bisa melihat darah. Anyirnya langsung menggoyangkan alam
bawah sadar. Demi menghindari hal-hal yang tidak saya inginkan, saya memejamkan
mata.
Sepintas saya mendengar
cekikan dari luar. Mata saya kembali membuka. Ada seorang gadis muda dengan
pakaian merah jambu sedang bermain darah. Tangannya menyentuh darah di aspal
sampai memenuhi telapak tangannya. Sesekali dia menjilat. Kemudian tertawa.
Tatapannya kosong. Anehnya, tidak ada yang mempedulikan sikap gadis muda ini
sama sekali. Termasuk si polisi.
Perjalanan akan selalu memberi berbagai cerita. [Photo: Pexels] |
Saya merasa aneh. Kenapa
orang-orang jadi cuek dengan gadis itu? Ini kan berbahaya.
Mobil yang saya tumpangi
berjalan pelan melewati jembatan. Melewati gadis dengan darah yang dianggapnya
seperti cat tumpah di ujung jembatan. Keganjilan baru terlihat nyata. Bagian
bawah gadis itu tidak tampak dan tidak menjejak ke aspal. Hari itu pun menjelang
maghrib.
Jantung saya berdegup
kencang. Berulang kali saya membaca ayat-ayat apa saja yang ada di kepala.
Mulai dari ayat kursi sampai Alfatihah. Apa saja. Selama itu menenangkan saya.
Kami tiba di Banda Aceh
pada malam hari, usai Isya. Tuan rumah yang kami datangi menyambut ramah.
Mereka tampak bahagia dengan kedatangan kami. Berbagai cerita mengalir sebagai
pelepas rindu. Mulai dari kondisi Takengon yang semakin ramai sampai kejadian
di Seunapet.
“Jembatan itu memang
sering makan korban. Hantunya pun suka sekali mengganggu. Tiap tahun ada saja
korban kecelakaan di sana,” kata Cek Li, lelaki berusia 50 tahunan yang
merupakan tetangga kami di Takengon. Anaknya semua berkuliah di Banda Aceh. Dua
di antaranya sebaya dengan saya.
“Banyak lo, Wak, yang pernah
lihat hantunya. Pakai baju pink,” tambah Eka menimpali. Dia teman sebayaku.
Mereka asyik bercerita,
sedangkan saya sedang mengingat sesuatu. Baju pink, itu persis yang dipakai
oleh gadis muda yang bermain darah. Saya tidak bercerita kepada mereka bahwa
saya melihatnya juga jelang maghrib saat macet di Seunapet.
Setelah hari itu, cerita
tentang Seunapet berlalu begitu saja. Sesekali cerita itu muncul ke permukaan.
Musiman.
Beberapa kali saya pulang
ke kampung orang tua di Sigli seorang diri. Berbagai cerita dari sopir L300
mengisi perjalanan kami. Mulai dari penumpang yang genit menggoda sopir sampai
pengakuan para sopir yang memiliki simpanan. Kebanyakan mereka adalah mahasiswi
yang kuliah di Banda Aceh dan menjadi langganan tetap pulang pergi.
Satu perjalanan usai
lebaran, saya menumpang L300 rute Sigli ke Banda Aceh. Isinya kebanyakan
mahasiswa. Satu deret yang harusnya diisi oleh tiga penumpang dipaksa untuk
lima orang dengan alasan lebaran. Ongkosnya juga naik dua kali lipat. Waktu itu
ongkos dari Sigli ke Banda Aceh hanya Rp 15 ribu dan naik menjadi Rp 35 ribu.
Demi masuk kuliah on time, para
penumpang membayar saja meski mengomel.
Ketika mobil L300 memasuki
Seulawah, aura yang kami rasakan agak aneh. Gadis di samping saya berwajah
pucat. Dia menutupi hidungnya dengan kerudung. Saya mulai tidak enak, berpikir
kalau bau badan saya sangat mengganggu. Gadis di depan muntah-muntah. Saya
mulai tak tenang karena tidak merasakan apa-apa.
“Bau kemenyan,” seseorang
di belakang berceletuk. Bulu kuduk saya mulai merinding.
Jalan menurun menuju ke
jembatan Seunapet mulai mengganggu. Mobil yang kami tumpangi terbatuk-batuk
seperti rusak mendadak. Saya melirik sopir dari spion depan. Wajahnya pucat.
Dalam hati saya berdoa agar tidak mati muda dengan sebab kecelakaan. Saya masih
ingin kuliah, sarjana, bekerja, dan menikmati hidup saya sebagai single happy sebelum menikah.
Tepat di jembatan, mobil
berhenti beberapa puluh detik. Sopir mulai menjalankan mobilnya lagi dengan
mulus. Aura di dalam mopen L300 ini tidak menyenangkan. Aroma minyak nyong
nyong dan kemenyan menguar. Sesekali ada bau busuk. Seperti ada yang membuang
angin. Kerudung yang membantu menutupi hidung juga tidak mempan. Aromanya masih
menusuk hidung.
Mobil berhenti di dekat
perumahan penduduk. Supir tidak mematikan mesin, tapi membiarkan saja mobil
berhenti. Tidak ada yang turun di sana. Akan tetapi aroma tak sedap dan aneh
itu menghilang tiba-tiba. Perjalanan ke Banda Aceh berlanjut.
Tidak ada yang membahas
keanehan ini di perjalanan sampai tiba giliran supir antar penumpang. Saya dan
gadis yang duduk di samping saya bertujuan ke Darussalam. Tiba di Beurawe dia
bertanya, “mau pulang kemana?”
“Ke Darussalam,” kata
saya. Tidak lupa senyum dan suara yang ramah.
“Aku juga. Untung ada
kawan ke Darussalam. Kalau nggak kan ngeri,” komentarnya.
“Kenapa?” saya penasaran
karena tampaknya dia ketakutan.
“Tadi di jembatan Seunapet
ada yang ikutin. Dia duduk di belakang. Baunya... Ya Alah, mau muntah aku.”
Saya mengingat-ingat siapa
yang mengikuti. Tidak ada yang naik. Kemudian saya baru ngeh yang dimaksud
gadis itu bukanlah hal yang normal. Mengingat ada aroma kemenyan dan parfum
aneh.
Tidak semua aroma parfum berenergi positif. [Photo: Pexels] |
“Abang sopirnya nggak
bilang apa-apa,” kata saya.
“Alah, kalau sopir udah
biasa kek gitu. Makanya dia diam saja.”
Kami diam. Tidak
melanjutkan pembahasan sensitif ini. Apalagi kos saya di dekat kuburan.
Meskipun yang dikubur di sana bergelar profesor kan tidak menutup kemungkinan
mereka tidak menampakkan diri.
Justru sopir antar ini
yang usil memancaing cerita, “kalau sopir sudah biasa, dek. Hantu apa yang
tidak pernah dilihat? Kalau Cuma hantu Seunapet itu udah biasa kali itu, dek.”
“Hantu pakai baju pink
masih muda ya, Bang?” tanya saya memastikan.
“Bukan itu saja. Banyak
lagi jenisnya. Itu saja biasa, dek. Kan di situ banyak sekali orang meninggal
tidak wajar.”
Saya berusaha tidak
mendengar dengan pura-pura tidur. Untungnya kami masih tinggal di daerah yang
sama walau beda lorong. Saat sopir mengantar saya ke kos, dia malah bertanya, “kalau
model adek ini cepat kali diganggu. Tinggal saja dekat kuburan.”
Fix!
Malamnya saya tidak tidur
karena terbayang kejadian di perjalanan. (B E R S A M B U N G).
2 Komentar
Ditunggu kelanjutannya kak. Saya penasaran walau serem. 😌
BalasHapusSudah ada lanjutannya, Kak. Ada tiga bagian. Silahkan dibaca ya, Kak. Terima kasih sudah berkunjung.
Hapus