Cina Hargai Orang Asing

 Dipublikasikan di rubrik Citizen Reporter harian Serambi Indonesia pada tanggal 27 September 2012

-o0o-

Bagian depan kampus Xiada
[Photo: Search by Google]

Malam mulai gelap ketika Xiamen Airlines mendarat di Xiamen Airport, Provinsi Fujian, Cina. Bersama 46 warga Indonesia lainnya kami menuju bagian kedatangan dan langsung ke imigrasi. Berbeda dengan di bandara internasional Changi Singapura, bahasa Inggris hampir tidak terdengar dari petugas bandara Xiamen.

Hampir semua peserta Indonesia yang berangkat ke Xiamen dalam training bahasa Mandarin ini berasal dari etnis Cina. Sebagian besar malah sudah pernah ke Cina. Bersama seorang teman lain dari Aceh, saya hanya mendengar cerita mereka yang pernah ke sini.

Kebanyakan orang mengatakan Cina itu tidak bersahabat terhadap muslim. Selain makanan halal yang sukar didapat, kondisinya juga sulit untuk orang asing untuk beradaptasi.

Tapi beberapa hari di Cina, saya merasakan kebalikannya. Pada awal perkenalan kampus, kami dibawa oleh dua orang panitia dari Hanban untuk tur kampus. Satu persatu gedung dijelaskan dengan detil.

Kampus besar ini memiliki fasilitas seperti layaknya sebuah kota. Kebanyakan dosen dan mahasiswa berjalan kaki. Di salah satu sudut kampus, terdapat sebuah minimarket yang menjual kebutuhan harian. Buka hingga larut malam. Kami membeli beberapa makanan yang mampu mengganjal perut. Teman saya memberi tahu mana yang layak disentuh dan yang tidak.

Ketika keluar dari mini market, seorang guide mendatangi saya.

“Ni shi muslim ma?” dia bertanya, apakah saya muslim. Saya mengangguk dan berkata ‘dui’  yang berarti benar.

Dalam sekejap dia sudah menjelaskan kepada saya bahwa di kampus ini tersedia rumah makan muslim. Dulunya berada di salah satu gedung lantai satu. Tapi sekarang sudah pindah ke lantai tiga. Ia mengeluarkan peta dan menunjukkan kepada saya rute yang harus saya lalui menuju restoran muslim itu. Semua makanan di tempat ini dijamin halal, karena diolah oleh muslim.

Saya mengangguk-angguk saja. Sebelumnya Rizni, alumnus magister pendidikan bahasa Mandarin di Xiamen University sudah menjelaskan kepada saya. Guide kami bebricara sangat cepat dan saya tidak mengerti apapun yang dia ucapkan. Tapi mengetahui intinya saja sudah cukuplah.

Xiamen University adalah kampus berstandar internasional yang menduduki peringkat kesepuluh di China. Kampus ini dulunya bernama Universitas Amoy, sebutan untuk warga Xiamen. Maka, jangan heran jika setiap sudut kampus tertulis Universitas Amoiensis. Nama Amoiensis dilakapkan oleh orang-orang Eropa yang mendirikan kampus ini. Tetapi sekarang dunia lebih mengenalnya dengan nama Xiamen University atau Xiamen Daxue. Orang-orang kerap menyingkatnya dengan nama Xiada.

Lambang Xiamen University
[Photo: Search by Google]

Banyak orang asing yang berkuliah di sini. Tidak hanya dari belahan benua Asia dan Eropa, tapi juga Afrika. Beberapa muslim dari belahan bumi kerap saya temui di kantin muslim.

Salah seorang peserta yang banyak mengetahui tentang akulturasi budaya di Xiamen menjelaskan, “pemerintah China mewajibkan setiap kampus menyediakan kantin muslim. Selain agama Tao dan beberapa agama lainnya, agama Islam salah satu agama yang diperhatikan di China. Meskipun tak ada masjid, tapi antara satu agama dengan agama lainnya saling menghargai di sini. Orang-orang China juga sangat menghagai kehadiran orang asing, meski mereka tak sedikit pun menggeser budaya aslinya karena pengaruh budaya pendatang.”

Mendengar penjelasan itu, saya langsung teringat saat pertama masuk Xiada bahwa kepada saya diberitahu letak kantin muslim.

-o0o-

Kontributor Aceh Feature, sedang ikut pendidikan Bahasa Mandarin untuk orang asing di Xiamen, melaporkan dari Cina.

Posting Komentar

0 Komentar