Ramadhan Pertama Bersama Goshujin

“Apakah ini puasa pertamamu bersamanya?” pertanyaan itu kerap diajukan oleh para teman kepada saya. Seolah pernikahan yang terlewati dengannya sudah beberapa tahun lalu. Padahal kami baru melewati hidup bersama selama lebih kurang tujuh bulan.

“Ya, ini puasa pertama kami bersama” jawab saya acuh tak acuh. Jawaban antusias biasanya akan menghasilkan nasehat yang membebani. Menerima nasehat itu bagus, tapi terkadang nasehat juga seperti menenggak obat. Jika meminum obat yang tidak dibutuhkan akan menjadi penyakit.

Nah, Ramadhan pertama kami hanya lebih excited dari pada biasanya saja. Selama ini saya menghabiskan waktu berpuasa bersama keluarga saya, teman-teman dan saudara. Jauh dari rumah sudah tentu, menu dari luar bukan hal yang luar biasa. Ketika berada di luar atau sedang tidak di rumah, kami biasanya memang lebih senang yang praktis. Selain menetralisir kelelahan, dana yang dikeluarkan akan sama saja.

Menu ketika masih sendiri boleh apa saja.
Roll Crab, nasi putih, sawi, telur ayam dan saus.
Begini saja cukup. Berkah.
[Photo: Ulfa Khairina]

Itulah Ramadhan sebelum melewati bersama si abang.

Ada hal yang berbeda dan cukup berat bagi saya. Ketika alarm di ponsel berdering pada jam 3.30 AM, saya harus bangun dan tidak boleh mengantuk. Saya harus memasak, mempersiapkan apa saja untuk sahur. Kemudian saat mata dan tubuh lelah, saya juga harus menyiapkan bukaan sesuai dengan permintaan si abang pula.

Saya sangat jijik dan anti dengan agar-agar, apapun itu jenisnya. Sekalpun nutri jell. Sementara si abang sangat menyukainya. Hal yang harus saya lakukan adalah mengikuti keinginannya. Membuat nutrijell untuk berbuka puasa. Ketika dia inginkan boh rom rom, saya juga harus merelakan mengukur kelapa sendirian, mencari tahu yang mana breuh lekat (tepung ketan) dan mulai membuat boh rom rom.

Tidak ada kesulitan dalam membuat boh rom rom.  Ketika melewati ulan Ramadhan di rumah, saya sering membuatnya. Dalam jumlah yang banyak pula. Untunglah hanya itu saja. Tapi jangan suruh ke bagian pastry, saya sama sekali tidak bisa. Itu bukan keahlian saya.

Apa yang menjadi kendala di Ramdhan pertama?

Terkadang saya suka miris ketika menyadari bahwa si abang tidak peka. Ia seperti tidak peduli jika keahlian istrinya menulis ulasan makanan, bukan mempersiapkan makanan. Istrinya akan sangat lihai dan piawai memainkan kata dalam mengulas makanan agar pembaca meneteskan liur sebelum menikmatinya. Tetapi tidak ketika mengolah bahan mentah menjadi makanan yang dia inginkan. Istrinya sangat bodoh dan lamban dalam memahami prosesnya. Ia tidak mampu bersabar untuk menunggu minyak panas dan mencemplungkan adonan bakwan ke dalam minyak.


Itulah sekilas Ramadhan pertama bersama goshujin (suami).

Posting Komentar

0 Komentar