Tragedi Duren dan Rambutan

Durian bagian timur Aceh.
Dagingnya tebal, manis dan aromanya tajam.
[Photo: Ulfa Khairina]

Musim duren dan rambutan di Indonesia bukanlah hal yang terlalu istimewa. Akhir tahun, pasti banyak mobil yang terparkir di pinggir jalan secara illegal.  Tumpukan ikatan buah durian atau durian berwarna menghiasi lokasi tidak biasa. Apalagi aroma durian yang menguar seantero kampung.

Jika sebuah durian saja dibawa masuk ke rumah, esoknya aroma rumah sudah berubah drastis. Bau durian.

Sebagai orang Indonesia, saya cukup bangga memperkenalkan buah durian sebagai buah asli Indonesia. Bahkan dengan lantang saya akan berkata, “Duri is thorn. Durian is thorny. This is our language.”

Meskipun banyak yang mengangguk-angguk palsu, setidaknya saya merasa sudah mencuci otak mereka tentang buah durian dan asal usulnya. Di Thailand, buah durian ini sudah dikembangkan dengan berbagai cara.

Apapun ceritanya, "Durian Indonesia tetap lebih baik!"
[Photo: Ulfa Khairina]
Menurut Adipon Euharusphan, seorang mahasiswa PhD bidang komunikasi agibisnis pertanian, para petani Thailand sudah dibekali untuk pengembangan dan perkawinan buah-buah terkenal dan menjadi komoditas unggulan seperti durian. Saat ini Thailand memiliki durian berdaging tebal berwarna merah.

Durian terbaik Thailand tidak dijual di negara asalnya. Mereka mengekspor ke luar negeri. Tiongkok adalah salah satu negara yang mendapat imporan durian terbaik dari Thailand.

“Tahu nggak?! Sudah tiga tahun di China, aku baru makan durian terbaik dari Thailand di sini. Itu juga karena aku ikut tim peneliti kerajaan Thailand dan study banding ke China Agriculture University. The taste is very good. Very different with other durian all over Thai.” Cerita Adi tentang pengalamannya memakan durian terbaik.

Meskipun sudah tiga tahun di Beijing, saya juga tidak pernah makan durian di sana. Saya punya satu kelemahan ketika makan durian. Panas badan saya akan naik. Jika makan terlalu banyak bisa mengalami drop dan mimisan. Seringnya langsung sakit. Itu salah satu alasan kenapa saya tidak mau makan durian di Beijing.

Duren dan rambutan yang pernah menjadi bagian dari tragedi.
[Photo: Ulfa Khairina]

Suatu hari di awal musim dingin, saya dan bersama seorang perempuan asal Thailand pergi berbelanja ke pasar. Sepanjang jalan buah durian dijual. Tentunya tidak semeriah musim durian di Indonesia.

Teman saya berkata, “Ini durian dari Thailand. Orang China suka mengimpor buah-buahan dari Thailand. Karena rasanya enak dan kualitasnya bagus.”

Menurut saya dan diperkuat oleh Adi, alasan Tiongkok mengimpor buah-buah tropis dari Thailand karena lebih dekat. Bukan saja karena bagus. Kalau soal bagus, itu soal harga dan siapa yang akan membeli. Tepatnya memang karena lebih dekat secara geografis dibandingkan dengan Indonesia.

Sudah lama saya tidak makan durian. Apalagi baru awal bulan, saya baru menerima beasiswa. Keinginan untuk mencicipi durian Thailand di Tiongkok pun menggoda. Saya menawar pada si penjual.

Akhirnya saya dapat satu bilah dengan harga termurah, 20 yuan. Saking semangatnya saya membawa pulang. Niat saya membuat ketan durian menggoda. Tapi setelah melihat isinya saya urungkan dan buang jauh-jauh niat tersebut.

Durian yang saya bawa ke rumah hanya kulitnya saja. Di dalamnya menyelip sebiji anak dengan daging tipis dan mulai kecoklatan. Saking inginnya makan durian itu, saya paksakan untuk makan. Rasanya hambar. Seratnya banyak. Beda sekali dengan durian Indonesia yang selama ini saya makan. Khususnya durian di Aceh.

Saya kecewa tingkat dewa. Teman saya hanya tertawa dan menatap kasihan. Esoknya kami kembali ke si penjual dan dia marah pada penjual. Dia bertanya,”Hei laoban, kenapa menjual kulit durian kepada dia?”

Si laoban berkata, itu bukan kesalahannya. Sebagai bentuk maafnya, dia mengurangi belanjaan saya sebanyak 2 yuan.

Pada awal musim panas, ketika berjalan-jalan di pasar San Yuan Li, saya melihat durian dan tidak ingin membelinya. Apalagi harga yang disebut oleh penjual sangat fantastis. Tapi buah rambutan yang terpajang di gantungan sangat menggoda.

Satu ikat berisi lima buah dengan harga 25 yuan. Artinya 1 buah rambutan seharga 5 yuan. Teman saya mengingatkan, “Jangan beli. Sebentar lagi kita akan kembali ke tanah air. Makanlah sepuasnya di sana.”

“Saya ngidam” kata saya padanya.

Saya membeli rambutan itu. Si laoban  malah memberi bonus tiga butir anggur merah bulat yang manis untuk saya cicipi. Di Tiongkok, penjual sangat pelit untuk memberi calon pembeli mencicipi buah yang dijual. Memilih buah yang akan kita beli saja tidak bisa, apalagi sampai menicipi.

Saya tidak tahu kenapa laoban (bos, penjual) ini merelakan tiga butir anggur untuk saya. Entah pun karena dia sudah tahu apa yang terjadi, ataupun dia memang berniat hendak bersedekah.

Ketika tiba di asrama, tragedi durian di awal musim semi terjadi lagi. Rambutan yang besar-besar, merah-merah isinya hanya selapis daging. Tidak tebal. Tipis sekali. hanya anaknya yang besar. rasanya asam dan lengket. Tidak sama dengan rambutan Indonesia. Totally different.

Saya merasa seperti membeli lima biji rambutan berbungkus kulit merah seharga Rp 50 ribu. Sejak hari itu, saya menanamkan di hati untuk makan buah yang sedikit mahal di Indonesia ketika berada di Beijing. Seperti buah naga, anggur hijau, apel, persik, apricot, cherry, leci. Bukan makan papaya, manga, nenas, jeruk, apalagi duren dan rambutan. Sudah mahal, kecewa pula.

Posting Komentar

0 Komentar