Kak, O Beauty sudah sampai, Ninit letakkan di meja, ya. Semuanya 290 ribu.
Aku membaca pesan Ninit yang
dikirimkan ke WA. Aku hanya membalas ya dan terima kasih. Seperti biasanya, aku
akan turun ke bawah untuk mengambil pesananku. Skincare Swedia yang
pemesanannya memakai sistem katalog. Kosmetik yang aku tumpuk walau aku sadari
tidak benar-benar membutuhkannya.
Aku meletakkan uang sejumlah yang dia
sebutkan di atas meja. Membarter barang dan uang. Kemudian kembali ke kamar,
mengecek pesananku. Ada krim siang dan malam, krim tangan, gincu merah yang
ternyata tidak cocok di bibirku, dan body
lotion yang akan aku pakai bersama suami.
![]() |
[Photo: Search by Google] |
Sejak kejadian itu, hubunganku dengan
Ninit hanya begini saja. Bisnis atau kepentingan. Tentu saja kepentingan Ninit,
bukan aku. Seberapa besar pun aku merasa memiliki kepentingan pada Ninit,
sebisa mungkin aku menghindarinya. Terlalu banyak goresan yang diciptakan dalam
hatiku oleh sikap dan kata-katanya.
Berbelanja di bawah member O Beauty
yang dia miliki adalah salah satu caraku menjaga silaturahmi. Bayangkan kalau
aku tidak berbelanja, aku bisa menjamin kami tidak pernah bicara satu sama
lain. Aku tidak mengerti apa yang ada di dalam pikirannya tentang aku yang
sudah dia kenal bertahun-tahun. Apa yang membuat dia membenciku sedemikian rupa
setelah dinikahi abangnya. Apa?! Aku tidak tahu. Benar-benar tidak tahu.
Setiap bulan aku berbelanja dua ratus
ribu lebih sedikit. Ini angka minimal belanja agar aku bisa melihat senyumnya.
Dia yang mata duitan dan menilai orang dari tampilan luar memang berhasil
kuambil hatinya. Sebentar saja. Hanya saat aku berbelanja padanya. Sisanya dia
tetap seperti semula. Seolah berbicara denganku dosa besar, dia sangat peduli
untuk berkomentar seolah aku adalah sesuatu yang harus dia komentari dalam
masalah apapun.
“Pakai seri WhiteAge, kak. Memang sih
harganya lumayan mahal, sejuta setengah lebih. Jaminan glowing kayak aku,” percakapan kami sebatas begini saja. Itu
terjadi ketika aku memesan skincare ini. dia menawarkan produk lain yang lebih
bagus katanya.
Aku hanya tersenyum. Meskipun kulitku
lebih gelap dan tergelap di antara mereka, aku tidak tertarik menggunakan
produk pemutih. Aku hanya butuh kosmetik untuk menjaga kulit agar tidak kering.
Aku sudah memperhatikan perkembangan kulit Ninit sejak pertama kali berkenalan
dengannya. Ninit yang dulu aku kenal memiliki kulit lembab dan segar. Perlahan
kulitnya berubah menjadi kusam. Apalagi sejak dia mengenal kosmetik berkedok
dokter. Aku juga bisa menjamin, setelah Ninit berhenti memakai krim mahal ini,
kulit wajahnya akan kembali kusam.
Aku mengenal Ninit setelah beberapa
bulan dekat dengan abangnya. dia menghubungiku lewat SMS. Mengajak bertemu,
kemudian kami berkenalan. Aku mengenalnya yang gonta ganti pacar dengan polisi,
pengusaha muda, tentara, sampai dengan suaminya sekarang.
Hubungan kami sangat harmonis sebagai
teman dan calon adik ipar. Sampai aku menikah dengan abangnya, dia mengambil
peran cukup besar untuk meluluhkan hati emak. Emak Ninit tipikal pemilih dalam
hal menikahkan anaknya. Meskipun anaknya bukan siapa-siapa, tapi emak ingin
anaknya menikah dengan siapa-siapa.
Sayangnya aku tidak memiliki kriteria
yang emak inginkan. Terutama dua hal, aku bukan Aparatur Sipil Negara dan aku
bukan lulusan pondok pesantren. Entah bagaimana caranya, Ninit berhasil
meyakinkan emaknya. Inilah sisi positif Ninit. Dia punya kuasa di dalam
keluarga. keputusan berjalan mulus di tangannya. Meskipun tidak selalu keptusan
yang baik. ninit punya kekuasaan membuat keputusan apapun yang dia mau.
Hubungan kami justru terguncang ketika
aku dan Ninit tinggal di rumah keluarga besar mereka. Tiga Kepala Keluarga
dalam satu rumah. Gaya hidup berbeda, cara pandang berbeda, pengelaran berbeda.
mungkin semua yang dia harapkan dari aku tidak bisa dia dapatkan. Dia yang
mencintai perawatan tidak bisa cocok dengan aku yang terlalu santai.
Aku tidak suka menghamburkan uang di
salon hanya untuk disentuh-sentuh kepalaku. Berbeda dengan dia yang selalu
memilih tempat mahal meskipun kualitas bisa aku dapatkan dengan harga tiga kali
lebih murah dengan kualitas yang sama. Menghamburkan uang untuk hal-hal tidak
penting bukanlah tipeku.
Belakangan dia lebih peduli kepada
dosa-dosaku daripada kebaikanku. Ibaratnya, aku membeli skincare darinya untuk
menghapus sincare yang dariku. Penawaran yang tidak adil memang, tapi aku juga
tidak punya pilihan lain saat ini.
[*]
Lantana mulai berpenghasilan. Dia
mendapat tiga juta rupiah dari beasiswanya setiap bulan. Dia juga masih
mendapat suntikan uang jajan dari emak. Luar biasa Lantana. Gaya hidupnya
seketika berubah. Gajinya lebih besar dari gajiku dan Ayden. Aku tahu Ninit
diam-diam iri padanya.
Sebagai kakak, Ninit mulai mengatur
dan mengubah penampilan Lantana. Dia mengajari Lantana memakai skincare,
beralih pada cara berpakaian, cara bicara, sampai idealism lain yang menurutku
berlebihan. Lantana juga punya prinsip sendiri selain mengikuti idolanya.
Sebagai penghapal Alqur’an, dia tidak mau berpenampilan membungkus. Berpakaian
tapi setengah telanjang seperti Ninit.
Sore Minggu hujan turun lebat. Ninit
dan keuarga kecilnya baru saja meninggalkan rumah untuk ke pantai. Emak merepet
panjang lebar. Lantana dan Nessa diam saja. tidak menyahut apa yang emak
omelkan tentang gaya hidup Ninit yang jelas bertolak belakang dengannya.
“Kei, si Ninit berhutang pada saya 25
juta. Sampai sekarang belum lunas. Lihat saja gaya hidupnya. Boros sekali.
belanjaannya banyak yang tidak penting. bahkan cenderung foya-foya. Kapan dia
bisa membangun rumah kalau masih begitu?” emak menurahkan isi hatinya padaku
sekaligus mempertanyakan hidup anaknya.
Aku tersenyum saja. tidak merespon
apapun. Emak menyambung lagi, mengungkapkan semua dosa Ninit. Aku baru tahu
jika cerita Ninit tentang pernikahan mewahnya itu Cuma omong kosong. emak
memang memberinya uang puluhan juta, tapi bukan Cuma-Cuma. Emak menghutangi Ninit
dengan status pemutihan jika memang dia tidak bisa membayarnya.
“Kalian juga, kenapa rumah Griya Abdul
Aziz tidak ditempati? Buang-buang uang saja. disewakan tidak, dijual tidak.
Lama-lama rumah itu rusak. Kalian keterlaluan sekali,” omel emak.
Aku masih diam. Tidak punya kuasa
menjawab mewakili Ayden. Bukan emak saja, aku juga kesal sebenarnya. Apa yang
bisa aku perbuat jika anaknya leih memilih diam dan merahasiakan daripada
menjelaskan padaku?
Tidak aku sangka, emak bahkan mencatat
dosa-dosa kecil. Emak kali ini bertanya, “Berapa honormu dari menulis yang
sudah kamu simpan?”
Aku terkejut, tapi memilih tetap menjawab, “Tidak banyak, mak. Sudah banyak
terpakai. Insyaallah saya bisa menyelesaikan sarjana karena menulis juga.”
“apa orang tuamu tidak tahu kalau
mereka berhak untuk ditanggung pendidikannya?”
Aku diam. Malas membantah apa kata
orang tua. Takut kualat. Emak sampai segitunya.
“Orang tuamu bukan orang yang paham
agama, ya?! Makanya dia membiarkan kamu di rantau dengan bekerja. Kalau kamu
laki-laki tidak masalah. Ini kamu perempuan, tidak bagus perempuan di lepas ke
rantau tanpa muhrim.” Kata emak lagi.
Astaghfirullahal azim!
Aku sudah tidak tahan sebenarnya. Aku
ingin membantah dan mengungkapkan semua dosa-dosa Ninit yang aku tahu. Aku
memang bekerja pontang panting untuk menghidupi diriku di rantau, tapi aku
tidak menjual diri. Di saat aku berjuang, aku tahu Ninit sibuk bergonta ganti
lelaki. Pindah ke satu pelukan ke pelukan lain untuk memenuhi gaya hidup dan gengsi
di depan teman-temannya. dia memang tidak menjual diri. Untuk sekedar gaya
hidup. Ya, gaya hidup agar di terima lingkungan.
“Mereka mengirimi saya uang setiap
bulan. semampu mereka karena adik saya juga sekolah dan kuliah. mereka
menanyakan SPP saya, tapi biaya kuliah saya sudah ditanggung beasiswa. Mereka
membayar kos saya, tapi saya punya penghasilan sendiri yang mewajibkan saya
sebagai anak harus meringankan beban orang tua saya. jadi, dimana salah mereka?
jika saya sebagai anak juga ingin melihat orang tua saya tidak banyak pikiran,”
aku menjawab emak.
Emak diam. Aku melanjutkan, “Sampai
saya sarjana. Adik-adik saya sarjana, orang tua saya tidak pernah terlibat
hutang dengan status pendidikan kami. Kami memang tidak punya kendaraan, tiak
punya rumah mewah. Sampai saat ini kami tinggal di rumah sendiri, tidak menumpang
pada rumah orang lain. kami juga tidak berhutang. Ibu saya bisa menghabiskan
masa tuanya dengan ibadah dan tidur nyenyak.”
Emak terdiam telak. Tertohok.
0 Komentar