"Zaman sekarang kalau suami istri tidak PNS mau makan apa? Hidup nggak akan cukup, Kak." Aku menghentikan gerakan lembut memarut wortel untuk campuran bihun.
Aku tidak pernah berpikir seperti itu. Aku juga tidak pernah berpikir harus menjadi Pegawai Negeri Sipil untuk hidup mapan. Ada banyak jalan meraih rizki-Nya. Bukan PNS satu-satunya jalan. Akan tetapi aku tetap memilih diam. Membiarkan Raisha berkutat dengan opininya tentang pekerjaan yang menjanjikan.
![]() |
[Photo: Ulfa Khairina] |
"Untuk apa sekolah tinggi-tinggi sampai S2? Ke luar negeri lagi? Ujungnya cuma jadi dosen. Memang jadi dosen bisa kaya kalau nggak PNS?" intonasi Raisha meninggi di antara tanya yang diajukan ntah untuk apa. Aku yakin dia tidak butuh jawaban.
Oh, Allah!
Kenapa merembes ke S2 di luar negeri?
Rasanya ingin aku hentikan saja jadi koki dadakan ini. Jika tujuannya membuat suasana hatiku buruk. Sungguh, kalau bukan mempertimbangkan dia iparku, aku lebih memilih mempersiapkan foto flatlay untuk review produk terbaru. Lebih menjanjikan. Hatipun tenang. Sekalian kubuktikan padanya apa itu fungsi gelar magister. Tentu saja yang paling penting dia tahu, kaya itu nggak mesti jadi PNS.
Bahagia itu sederhana. By the way, menikmati hidup yang disukai juga bahagia. Sesimpel itu.
Tampaknya tidak begitu dengan Raisha. Karena dia terus mengoceh. Kali ini lebih menohok dan membuatku ingin menelungkupkan wajan berisi taoco udang tempe ke kepalanya. Biar pedas sampai memelas.
"Lihat dirimu, Kak! Apa yang kamu banggakan dari lulus S2 di Singapura. Nggak ada apa-apanya. Kamu di rumah saja. Jangankan menikmati hidup, cukup saja nggak!"
Wahai diri, bersabarlah.
"Bang Bram sudah suruh aku lanjut S2, lho, Kak. Akunya nggak mau. Ngapain, sih, kuliah S2 cuma ngabisin duit. Nggak guna. Ya, kan? Lihat aja kakak sekarang. Pengangguran juga. PNS juga nggak." Raisha memaksakan idenya.
"Kalau disuruh ya kuliah saja. Kenapa mesti ragu. Malah lebih bagus lagi kalau dapat beasiswa," kutekan kata beasiswa untuk mengingatkan Raisha bahwa aku lulus S2 dengan beasiswa.
"Aku bilang sama Bang Bram. Daripada uangnya dipakai buat S2 terus hasilnya nggak jelas. Mending uangnya dipakai buat ngamanin posisi saja," katanya bangga. Seolah idenya itu sangat luar biasa. Kepemilikan uang untuk mengamankan posisi itu sangat lumrah.
Ya Allah, hindarkan aku dari pikiran buruk.
Nggak bisa! Pikiran burukku sudah terlanjur masuk ke otak dan mulai bekerja.
"Mengamankan posisi di..." Aku menggantung kalimatku. Aku memang tahu dia tidak ada pantangan soal sogok menyogok, tapi dimana?
"Kami ikut CPNS tahun ini, Kak. Biar hidup aman dan makmur. Mau buat rumah yang besar, anak biar masuk kedokteran, naik haji," tukasnya. Mimpi-mimpinya sengaja diucapkan dengan nada tegas dan besar suara.
Wow! Naik haji dengan uang yang dasarnya saja sudah syubhat. Eh, mungkin sudah haram.
Aku tidak berkomentar. Akan tetapi kalimatnya sungguh menamparku, "pokoknya kami nggak mau kayak kakak. Ijazah S2. Pengangguran. Tuh, suami kakak! Motor saja nggak sanggup ganti."
Ya, Allah! Suamiku itu abang kandung dia, lho. Ntah apa lagi yang dia katakan selanjutnya. Aku tidak mendengar lagi. Pikiranku terpecah pada obrolan-obrolan yang intinya aku garis bawahi untuk kupertimbangkan.
"Satu-satunya cara agar kamu dihargai di rumah itu kalau kamu berstatus PNS, Lin." Tampaknya kalimat ini ada benarnya.
0 Komentar